Tidak terasa, satu bulan sudah berlalu. Ganjar semakin bersemangat dalam mengelola perkebunan yang dipercayakan oleh sang Paman kepadanya, Ganjar bekerja dengan sungguh-sungguh demi cita-cita yang selama ini ia impikan, tidak sedikitpun rasa cintanya pudar terhadap pertanian. Karena itu sudah menjadi keinginan Ganjar yang bercita-cita luhur ingin menjadi seorang petani muda yang sukses dan mandiri yang bisa bermanfaat untuk kedua orang tuanya dan masyarakat yang ada di desa tempat tinggalnya.
Berkat kerja kerasnya tersebut, orang tua Aisyah sangat terpincut dan mengagendakan rencana besar untuk Ganjar. Haji Mustofa secara diam-diam, berniat untuk memberikan modal besar berupa uang untuk membiayai pengelolaan perkebunan Ganjar yang saat itu sudah menjadi kekasih putri semata wayangnya.
"Aisyah!" panggil pria paruh baya itu mengarah kepada putri semata wayangnya.
Aisyah bergegas bangkit dan menjawab lirih panggilan sang Ayah. "Iya, Pak." Aisyah melangkah menghampiri Haji Mustofa yang saat itu sedang berada di ruang tengah kediamannya tersebut.
"Ada apa, Pak?" Aisyah duduk di samping pria paruh baya itu.
"Bapak mau bicara penting, Nak!" ucap Haji Mustofa dengan penuh kelembutan.
"Tentang apa, Pak?" Aisyah bertanya penuh rasa penasaran dengan menatap wajah sang Ayah.
Haji Mustofa menghela nafas panjang, kemudian berkata lirih di hadapan putrinya itu. "Kamu kan sudah dewasa dan sudah bisa menentukan hidupmu sendiri, Bapak sudah tua dan sangat berharap di sisa umur yang Allah berikan ini, Bapak bisa menyaksikan kamu bahagia dengan jodoh pilihanmu,"tutur pria berkopiah putih itu dengan penuh kelembutan. "Bapak harap kamu bersungguh-sungguh untuk menjadikan Ganjar sebagai calon imam kamu!" sambungnya lirih dengan menatap wajah Aisyah.
Aisyah tertunduk merasa haru mendengar ucapan orang tuanya itu, tampak dari bola mata gadis cantik itu mulai mengeluarkan bulir bening yang perlahan menetes membasahi wajah cantiknya itu. "Iya, Pak. Insya Allah jika Allah berkehendak, Aisyah akan bersungguh-sungguh memilih Ganjar menjadi calon imam Aisyah," jawab Aisyah dengan mengangkat wajah menatap sang Ayah.
Ia menangis bukan karena bersedih, tangisan Aisyah merupakan tangis bahagia merasa terharu dengan sikap bijaksana dari orang tuanya tersebut. "Bapak berencana untuk memberikan modal kepada Ganjar, untuk bisa mengembangkan usaha perkebunannya itu, dengan harapan kelak Ganjar akan menjadi suami kamu yang sukses yang bisa memberikan kecukupan untukmu dan anak-anak kalian," ujar Haji Mustofa penuh harap.
Aisyah terperanjat dan sedikit terkejut dengan ucapan sang Ayah. "Ya Allah, Ya Rabb. Terima kasih ya, Pak." Aisyah mencium tangan sang Ayah berulang-ulang sebagai ungkapan rasa terima kasihnya terhadap orang tuanya itu.
"Ya sudah, sekarang kamu temui Ganjar dan bicarakan semua niat Bapak ini!" pinta Haji Mustofa.
"Iya, Pak. Nanti sore Aisyah ke rumah Ganjar," jawab Aisyah tersenyum manis.
Haji Mustofa bangkit dan langsung melangkah keluar untuk mengontrol sawahnya yang saat itu sudah mulai panen. "Terima kasih ya Allah, semoga aku bisa berjodoh dengan Ganjar."
***
Siang itu, Ganjar sedang sibuk di perkebunan. Karena hari itu mulai dilaksanakan penanaman cabai rawit dan kedelai hitam. "Min!" Ganjar memanggil salah satu pekerja yang sedang merabuk tanah tanaman cabai rawit.
Amin bangkit dan bergegas menghampiri Ganjar. "Ada apa, Kang?" tanya Amin dengan sikap hormatnya.
"Kamu lihat, Pak Danu tidak, Min?" Ganjar balas bertanya dengan menatap wajah Amin yang berdiri di hadapannya.
Amin mengusap peluh yang bercucuran di wajahnya dengan menggunakan handuk kecil. "Aku tidak tahu, Kang. Soalnya sedari pagi aku tidak melihatnya."
"Pak Danu sedang ke rumah kita, tadi Bapak yang minta untuk mengambil pupuk," timpal Pak Edi lirih.
"Oh, iya, Pak. Ganjar kira ke mana," pungkas Ganjar berlalu dari hadapan Amin dan juga Pak Edi.
Saat itu Ganjar langsung mengontrol semua area yang ada di perkebunannya itu, usai berkeliling Ganjar langsung beristirahat di sebuah saung yang baru seminggu dibangun, sebagai sarana istirahat para pekerja buruh tani yang ada di perkebunannya itu. Amin dan Pak Edi pun melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi.
Beberapa menit kemudian, Pak Danu sudah tiba di saung dengan membawa pupuk yang baru ia ambil dari kediaman Ganjar. Pak Danu langsung meletakkan karung pupuk itu di atas bebalean yang ada di dalam saung tersebut.
"Nak Ganjar, pupuknya ini untuk dipakai hari ini apa besok?" tanya Pak Danu duduk di samping Ganjar.
"Untuk hari ini, Pak. Tapi nanti habis zuhur saja!" jawab Ganjar lirih. "Pak Danu bantu Amin saja, merabuk tanaman cabai rawit!" sambung Ganjar.
"Iya, Nak." Pak Danu langsung berlalu dari hadapan Ganjar untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.
Ganjar tampak bersemangat mengelola perkebunan tersebut, ia sangat teguh dengan niat dan keinginannya untuk mengembangkan usaha pertanian di perkebunannya itu. Selain menanam kedelai dan brokoli, Ganjar pun mulai mencoba menanam cabai rawit dan cabai merah memenuhi pemintaan dari sang paman untuk dipasok ke pasar-pasar yang ada di daerahnya itu.
***
Pukul lima sore, Ganjar sudah berada di beranda rumah, ia baru saja melaksanakan Salat Asar. Sementara kedua orang tuanya sedang santai di ruang tengah menikmati tayangan televisi kegemaran mereka, dari kejauhan terlihat sebuah mobil sedan melaju rendah mengarah ke halaman rumah Ganjar. Mobil berhenti tepat di depan teras rumah itu. "Aisyah!" bisik Ganjar dengan raut wajah semringah, bola matanya terus terarah ke mobil tersebut.
Aisyah keluar dari dalam mobil, kemudian melangkah menghampiri Ganjar. "Assalamu'alaikum," ucap Aisyah dengan suaranya yang lembut.
"Wa'alaikum salam," jawab Ganjar tersenyum menyambut kedatangan gadis cantik berkerudung putih itu. "Silahkan duduk, Ay!" sambung Ganjar.
Aisyah langsung duduk di sebuah kursi yang ada di hadapan kekasihnya itu."Kedua orang tua kamu pada ke mana?" tanya Aisyah mengamati sekitaran kediaman sederhana itu.
"Mereka sedang menonton televisi di dalam," jawab Ganjar lirih.
"Aku masuk ke dalam yah, mau menemui Bapak dan Ibu!" pinta Aisyah menatap wajah Ganjar.
"Iya, silahkan!" Ganjar tersenyum bahagia melihat sikap Aisyah yang sudah mulai beradaptasi dengan keluarganya.
Aisyah bangkit dan langsung masuk ke dalam, hendak menemui kedua calon mertuanya itu.
Ganjar merasa bangga bisa mempunyai kekasih yang senantiasa menghormati kedua orang tuanya. Meskipun belum resmi jadi istrinya, akan tetapi Aisyah sudah menunjukkan sikap baiknya terhadap Pak Edi dan juga Bu Ratna.
"Assalamu'alaikum," ucap Aisyah menghampiri kedua pasangan paruh baya yang sedang duduk santai di ruang tengah kediamannya tersebut.
"Wa'alaikum salam," jawab Pak Edi dan Bu Ratna tersenyum menyambut kehadiran calon menantunya itu.
Aisya dengan sikap ramah dan penuh rasa hormat langsung berjabat tangan dan menciumi kedua tangan pasangan paruh baya itu. "Ganjar, kan tadi ada di teras, Neng," terang Bu Ratna tersenyum memandang paras cantik calon menantunya.
"Iya, ada, Bu." Aisyah balas tersenyum.
"Duduk dulu, Neng!" pinta Pak Edi lirih.
"Iya, Pak." Aisyah langsung duduk di samping Pak Edi.
Bu Ratna bangkit dan segera melangkah ke dapur untuk segera membuatkan minum bagi tamu spesialnya itu dan Ganjar pun saat itu sudah berada di ruang tengah duduk bersama sang Ayah dan juga kekasihnya yang sore itu datang dengan niat memberi kabar baik untuk Ganjar yang diamanatkan oleh ayahnya.
***