Selepas magrib, Ganjar pamit kepada kedua orang tuanya. Saat itu Ganjar hendak berkunjung ke kediaman Aisyah yang sudah resmi menjadi tunangannya. Untuk sampai di kediaman Aisyah, Ganjar mengendarai sepeda motor matic.
Setibanya di depan kediaman Aisyah, Ganjar langsung mengetuk pintu rumah tersebut dan mengucapkan salam.
"Tok, tok, tok Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam," jawab Haji Mustofa dari dalam rumah dan berbegas membuka pintu.
"Silahkan masuk, Nak!" sambut pria paruh baya itu.
"Iya, Pak." Ganjar meraih tangan calon mertuanya itu, lalu menciumnya dengan penuh rasa hormat.
Ganjar langsung berjalan masuk ke dalam rumah mengikuti langkah Haji Mustofa, setelah berada di dalam, pria paruh baya itu langsung mempersilahkan Ganjar untuk duduk dan ia langsung memanggil putrinya yang sedang berada di dalam kamar.
Selang beberapa menit kemudian, Aisyah keluar dari dalam kamarnya. Menyambut hangat kehadiran kekasihnya dengan senyum kebahagiaan, tampak berbinar-binar raut wajahnya gadis cantik itu. "Kok, tidak menelpon dulu?" tanya Aisyah lirih.
"Sengaja, aku mau bikin kejutan," jawab Ganjar tersenyum manis memandang keindahan wajah gadis pujaan hatinya itu.
Aisyah bangkit dan berkat lirih kepada Ganjar. "Sebentar ya, aku mau buatkan kopi!"
"Iya, Ay," jawab Ganjar.
Aisyah melangkah dan berlalu dari hadapan Ganjar, untuk segera membuatkan kopi hitam kesukaan kekasihnya itu.
Usai membuatkan kopi, Aisyah kembali menghampiri Ganjar. "Ini, kopinya Aa!" ucap Aisyah lirih, raut wajahnya tampak semringah tersenyum manis menampakkan keindahan bentuk wajah yang dimiliki gadis cantik berkerudung itu.
Ganjar mengerutkan kening ia tampak bingung dengan ucapan Aisyah yang tiba-tiba memanggilnya dengan panggilan Aa. "Kamu aneh, aku panggil Aa. Atau tidak suka?" Aisyah memandang Ganjar dengan biasnya, putih gigi berbaris rapi menghiasi senyuman manisnya.
"Tidak, Ay. Aku senang kok." Ganjar balas tersenyum dan merasa bahagia dengan panggilan manja dari gadis cantik pujaan hatinya.
Aisyah sudah mulai menghormatinya dengan memanggil Aa dan Aisyah sudah mulai beradaptasi dengan status hubungannya bersama Ganjar. Karena sebentar lagi kedua pasangan kekasih itu akan segera mengikat hubungan mereka lebih erat lagi yakni dengan sebuah ikatan pernikahan.
"Bapak ke mana, Ay. Barusan ada di sini?" Ganjar mengamati sekitar ruangan rumah tersebut, bola matanya bergulir mencari tahu keberadaan pria paruh baya itu.
"Bapak ada di belakang, sedang merapikan pagar kebun." Aisyah tersenyum dan meletakkan telapak tangannya di atas bahu Ganjar.
Selang beberapa saat kemudian, Ganjar meminta Aisyah untuk memanggil ayahnya, karena Ganjar ingin mengembalikan uang yang dulu diberikan oleh Haji Mustofa untuknya. Aisyah bangkit dan langsung memanggil sang Ayah. Tidak lama setelah itu, Aisyah sudah kembali menghampiri Ganjar bersama sang Ayah yang melangkah mengikuti Aisyah dari belakang.
Setelah, Haji Mustofa duduk, Ganjar langsung mengutarakan niatnya di hadapan calon mertuanya tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, Pak. Ganjar ingin mengembalikan uang yang dulu Bapak berikan kepada Ganjar," kata Ganjar lirih.
"Kenapa harus dikembalikan, Bapak kan sengaja memberikan uang itu untuk modal kalian, jadi bukan meminjamkan." Haji Mustofa tersenyum dan menggeser kembali plastik yang berisi uang tersebut ke arah Ganjar. "Ingat yah, Bapak itu memberi modal untuk kamu, Nak. Jadi bukan meminjamkan!" tambah pria paruh baya itu menegaskan.
Ganjar tampak terharu dengan ucapan calon mertuanya itu. Sejatinya, ia menganggap uang itu adalah pinjaman dari orang tua Aisyah. Namun, Ganjar salah menduga. Ternyata, Pak Haji Mustofa sengaja memberikan uang tersebut untuk modal Ganjar mengembangkan perkebunannya.
"Terima kasih ya, Pak." Bola mata pemuda itu tampak berkaca-kaca, menahan haru yang membumbung dalam jiwa dan pikirannya saat itu.
"Bapak harap, kamu jangan terbebani dengan uang yang Bapak berikan!" tandas Haji Mustofa tersenyum menatap calon menantunya itu.
***
Satu jam kemudian, usai berbincang Ganjar langsung pamit kepada Haji Mustofa dan kepada Aisyah. "Ganjar pulang dulu ya, Pak."
"Oh, iya, Nak. Hati-hati ya!" jawab Haji Mustofa lirih.
Ganjar langsung mencium tangan pria paruh baya itu.
"Ay, aku pulang sekarang yah." Ganjar meluruskan pandangan ke wajah Aisyah.
Aisyah tersenyum dan langsung meraih tangan kekasihnya itu, dengan penuh rasa kasih sayang ia mencium tangan Ganjar.
Setelah mengucapkan salam, Ganjar langsung melangkah keluar dan berlalu dari kediaman tersebut dengan iringan tatapan bola mata indah seorang gadis yang saat itu sudah menjadi bagian dari kehidupan Ganjar.
Setibanya di depan rumah, tampak kedua orang tuanya sedang duduk santai di teras. Turun dari motor, Ganjar langsung melangkah menghampiri kedua orang tuanya. "Assalamu'alaikum," ucap Ganjar tampak semringah.
Pak Edi dan Bu Ratna, menjawab dengan lirih ucapan salam dari putranya. "Wa'alaikum salam.
"Bagaimana, Nak. Calon mertua dan kekasihmu sehat?" tanya Pak Edi meluruskan pandangan ke wajah Ganjar.
"Alhamdulillah, Pak. Mereka baik-baik saja." Ganjar langsung bersalaman dengan kedua orang tuanya dan duduk di sebelah sang Ayah.
Setelah itu, Ganjar langsung menceritakan prihal uang yang hendak ia kembalikan itu kepada kedua orang tuanya.
"Kok, bisa?" Bu Ratna tampak tercengang mendengar penuturan Ganjar.
"Belum menjadi mertua saja sudah baik apalagi nanti kalau sudah resmi," sahut Pak Edi berdecak kagum.
"Iya, Pak. Alhamdulillah semoga saja Aisyah menjadi jodoh yang terbaik untuk Ganjar." Ganjar tersenyum ke arah sang Ayah, raut wajahnya tampak berbinar-binar dan menaruh harapan besar agar kelak bisa berjodoh dengan Aisyah.
"Percayalah, jodoh, bahagia dan kematian sudah ditentukan oleh Allah, yang penting kamu berusaha dan percaya kepada Allah!" ungkap Pak Edi lirih.
Bulir bening mengalir dari kelopak mata sang Ibu, ia merasa terharu dan merasa bangga dengan sikap Ganjar yang gigih dalam berusaha.
"Ibu, Kok menangis sih?" Ganjar meluruskan pandangan ke wajah sang Ibu.
"Tidak, Nak. Ibu bahagia dan bangga bisa melihat kamu berkembang," kelit Bu Ratna menyeka air mata yang menganak sungai mengalir di kulit wajahnya yang sudah sedikit keriput itu. "Kamu mau ngopi tidak, Nak?" sambung Bu Ratna menatap putranya.
"Ganjar sudah ngopi di rumah Aisyah," jawab Ganjar lirih. "Ganjar mau Salat Isya dulu ya, Pak, Bu," sambung Ganjar. Kemudian bangkit dan melangkah ke arah motor, Ganjar langsung memasukan motornya ke dalam rumah.
Setelah berada di dalam rumah Ganjar bergegas ke kamar mandi untuk berwudlu dan langsung melaksanakan Salat Isya di dalam kamarnya.
Setelah itu, Ganjar langsung membenamkan tubuhnya dalam selimut dan terlelap tidur menikmati suasana malam.
***
Pagi harinya slelepas Salat Subuh, Ganjar hanya duduk santai di teras rumah menikmati suasana pagi yang indah. Sementara kedua orang tuanya sedang santai di ruang tengah menikmati tayangan berita di televisi.
Pukul 07:30, usai sarapan Ganjar langsung pamit kepada sang Ibu untuk berangkat ke kota, Pagi itu Ganjar hendak membeli pupuk dan pestisida.
Sepulang dari kota, Ganjar menyempatkan diri untuk singgah terlebih dahulu ke rumah pamannya untuk menyerahkan sebagian uang dari hasil panen perkebunan yang ia kelola.
"Tok, tok, tok Assalamualaikum," ucap Ganjar lirih.
"Wa'alaikum salam," jawab Hajah Mae bangkit dan bergegas melangkah menuju arah pintu untuk segera membukanya.
"Ganjar. Silahkan masuk, Nak!" sambut Hajah Mae tersenyum.
Ganjar balas tersenyum dan menganggukan kepala, berjalan mengikuti langkah sang Bibi masuk ke dalam rumah.
"Silahkan duduk, Nak!" Hajah Mae langsung melangkah ke arah dapur segera membuatkan kopi untuk keponakannya itu.
Tak lama kemudian, wanita setengah baya itu kembali ke ruang tengah dengan membawa secangkir kopi hitam untuk Ganjar. "Ini kopinya, Nak?" Hajah Mae meletakkan secangkir kopi hitam di atas meja di hadapan Ganjar.
"Iya, Bi Haji. Terima kasih," jawab Ganjar. "Ngomong-ngomong Paman Haji sedang ke mana, Bi?" sambung Ganjar bertanya kepada sang Bibi.
"Pamanmu tadi pagi berangkat ke rumah Haji Gufron. Katanya mau pesan bibit tanaman kelengkeng," jawab Hajah Mae lirih.
Setelah itu, Ganjar langsung menyerahkan uang sebesar 8 juta kepada sang Bibi, sebagai pembagian hasil dari penjualan sayuran dan yang lainnya dari panen perkebunan yang Ganjar kelola.
"Memangnya untuk gaji para buruh dan untuk bagian kamu sudah?" tanya Hajah Mae meraih amplop besar dari tangan sang Keponakan.
"Bu Haji jangan khawatir, semua sudah beres. Gaji para buruh sudah selesai dibayar kemarin sore," terang Ganjar menjawab pertanyaan sang Bibi.
Ganjar meraih cangkir kopi yang ada di hadapannya dan ia langsung meminum kopi tersebut. Setelah itu, Ganjar langsung bangkit dan pamit kepad Hajah Mae untuk segera pulang, karena siang itu Ganjar harus segera ke ladang untuk memantau panen cabai merah