Suasana kamar yang sudah seperti kapal pecah, dibarengi dengan suara-suara lemparan benda dan tangisan.
Malam ini adalah malam pernikahan Azam dan Isabel, bisa dikatakan ini adalah malam pengantin mereka berdua. Tidak seperti malam pengantin-pengantin pada umumnya yang bahagia, malam ini justru malam yang sangat buruk untuk Azam. Bagaimana tidak buruk, jika pengantin wanita terus mengamuk dan menangis.
Sudah hampir semua benda yang berada didalam kamar mereka hancur karena dilempar kesembarang arah oleh Isabel.
Isabel terus saja menangis dan mencaci Azam, seolah Azam yang menyebabkan pernikahan ini terjadi. Padahal pernikahan ini terjadi karena desakan kedua orang tua mereka. Orang tua Azam yang menginginkan anaknya segera menikah, karena mengingat usia Azam yang sudah cukup untuk menikah bahkan memiliki seorang anak. Begitu juga dengan orang tua Isabel yang menginginkan pernikahan ini terjadi, karena merasa tidak tega melihat anaknya yang terus bersedih meratapi kepergian suaminya.
Satu buah tamparan mendarat dipipi kanan milik Azam, seketika itu juga wajah Azam berubah menjadi memerah menahan amarah. Azam sudah mengangkat tangannya keudara, bersiap untuk membalas tamparan dari Isabel, tapi beruntung Azam dapat mengontrol kembali emosinya.
Kesal, marah, sedih bercampur menjadi satu. Seandainya saja Azam tahu akan seperti ini akhirnya, lebih baik dari awal dia tidak menerima perjodohan ini.
"Hiks ... hiks ... aku benci dirimu! Sangat benci!" bentak Isabel.
"Kenapa kamu harus menikah denganku? Aku tidak mau dimiliki oleh lelaki manapun kecuali suamiku, Arav! Apa kau mengerti apa yang aku ucapkan barusan?" ungkap Isabel dengan nada suara tinggi.
"Bahkan aku pun tak sudi memiliki istri sepertimu," balas Azam tak kalah sinis.
Bagai tertusuk duri, hati Isabel sangat sakit mendengar ungkapan seperti itu dari lelaki yang belum lama ini telah menjadi suaminya.
"Lalu kenapa kamu menikahiku?" tanya Isabel.
"Karena paksaan dari kedua orang tuaku, tidak lebih!" entah mengapa seperti ada kebohongan saat Azam mengatakan hal tersebut kepada Isabel.
"Seharusnya kamu menolak saja perjodohan ini. Apa kamu tidak memiliki mulut untuk berbicara?" ketus Isabel.
"Aku tidak hanya memiliki mulut untuk berbicara, tapi aku memiliki hati yang akan terluka jika orang tuaku merasa kecewa padaku," ucap Azam.
Perkelahian adu mulut mereka berdua terus berlanjut, sampai akhirnya Azam merasa lelah meladeni keluh kesah Isabel yang tidak akan ada habisnya.
Azam masuk kedalam kamar mandi, membasuh wajahnya yang sudah sangat merah karena amarah.
Baru kali ini ada seorang wanita yang berkata begitu kasar terhadapnya dan berani menamparnya.
Tanpa sadar air mata Azam menetes, butiran bening yang dari tadi terus ditahan Azam, akhirnya keluar begitu saja dengan sendirinya.
"Seandainya kamu tahu Isabel, aku menikahimu bukan semata-mata karena paksaan dari kedua orang tuaku, melainkan aku juga mencintaimu! Sangat mencintimu!" ucap Azam dengan penuh keyakinan.
"Aku mencintaimu sejak kita masih sekolah dulu. Saat itu aku sudah mencintaimu. Tapi sayang kamu lebih memilih Arav dibanding diriku." Air mata itu terus mengalir.
Sekarang Isabel sudah lebih tenang, dia terdiam membisu dengan air mata yang terus berjatuhan membasahi pipinya.
"Mas Arav, maafkan aku yang tak setia padamu, aku sudah menikah dengan laki-laki lain selain dirimu. Aku tak setia padamu, maafkan aku Mas Arav," ungkap Isabel.
Meskipun sudah lebih baik dari sebelumnya, tapi tetap saja kesedihan dilubuk hati Isabel masih ada.
Hingga beberapa saat kemudian Azam keluar dari dalam kamar mandi, Ia melihat kondisi Isabel sudah lebih baik.
Azam merebahkan dirinya diatas ranjang pengantin mereka berdua. Azam membuang bunga-bunga yang bertaburan diatas kasurnya.
Isabel melirik Azam sekilas, lalu berdiri dan keluar dari kamar tersebut.
Hingga diluar kamar, Isabel bertemu dengan Bunda Azam. Isabel tersenyum kepadanya, namun sepertinya dia enggan menyapa seseorang yang sekarang sudah menjadi ibu mertuanya itu.
Bunda Azam berinisiatif untuk menyapa menantunya terlebih dahulu.
"Nak, kenapa kamu berada diluar?" tanya Bunda Arin, ibunya Azam.
"Mmm ... sebenarnya aku haus Bun, aku mau ambil minum dulu," ucap Isabel sedikit berbohong.
"Oh, biar Bunda yang ambilkan, kamu kembali lagi saja kedalam kamar ya, Nak!" titah Bunda Arin.
"Tidak usah Bunda, biar aku saja yang ambil."
"Gapapa sayang, biar Bunda aja. Lebih baik sekarang kamu temenin Azam saja didalam ya," titah Bunda Arin dengan sangat lembut.
"Ya udah deh Bun, kalau gitu. Maaf ngerepotin Bunda," ucap Isabel.
"Engga ngerepotin kok Sayang," ucap Bunda sambil tersenyum dengan begitu manisnya.
Dengan sangat terpaksa, Isabel kembali kedalam kamarnya bersama Azam.
Terlihat Azam sudah tertidur dengan lelapnya diatas ranjang.
Isabel yang melihat itu merasa kesal, bisa-bisanya Azam tertidur ditempat tidur.
"Kenapa dia harus di sana? Lalu aku bagaimana?" ucapnya berbicara sendiri.
Isabel kemudian segera membereskan sofa untuknya tidur. Dia tidak mau kalau harus seranjang dengan Azam.
Belum lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dari luar.
"Nak, Isabel, ini Bunda," ucap seseorang dari luar sana yang tak lain adalah Bunda Arin.
"Aduh ... gimana ini, kamarnya berantakan sekali, bisa-bisa Bunda curiga dan mengetahui aku dan Mas Azam bertengkar," jelas Isabel.
Dengan sangat tergesa-gesa Isabel mencoba membereskan kamarnya kembali.
Hanya beberapa barang saja yang kembali terlihat rapi, tidak mungkin sempat jika Isabel harus membereskan semuanya.
Bunda Arin terus saja mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban dari dalam.
"Apa mereka sedang tidur? Atau jangan-jangan ..." Bunda Arin tidak melanjutkan ucapannya, Bunda terlihat tersenyum mesem, seperti sedang membayangkan sesuatu.
"Ihihihi ...." Bunda Arin cekikikan sendirian.
Bunda pun memutuskan untuk kembali lagi kedalam kamarnya.
Saat membuka pintu, Isabel kebingungan karena Bunda tidak ada lagi di sana.
"Lah ... Bunda ke mana?" ucapnya.
"Apa tadi aku terlalu lama ya? Hmm ... mungkin saja Bunda kesal menunggu terus diluar. Ya sudah lah, tak apa. Cape-cape aku beresin kamar, eh tahunya Bunda malah ga ada," ungkapnya sedikit kecewa.
Isabel masuk kembali kedalam kamar, dan siap-siap untuk merebahkan tubuhnya disofa.
"Hoam ... aku sangat mengantuk dan lelah," ucap Isabel.
Tak terasa sudah waktunya shalat subuh, suara adzan berkumandang dengan sangat indah.
Isabel terbangun dari tidurnya, tetapi dilihatnya ketempat tidur, Azam sudah tidak ada lagi di sana.
"Kemana Mas Azam pergi?" tanya Isabel pada dirinya sendiri.
Saat hendak bangun, tak lama kemudian Azam keluar dari dalam kamar mandi.
Azam tersenyum lembut pada Isabel, seolah tidak terjadi apa-apa semalam.
"Assalamualaikum Isabel, selamat pagi," sapa Azam lembut.
Isabel kebingungan dengan perubahan sikap Azam tersebut. Tidak ingin ambil pusing, Isabel pun mengabaikan sapaan Azam dan segera pergi kedalam kamar mandi.
Belum sempat Isabel melangkah Azam langsung berbicara kembali padanya.
"Jika ada seseorang mengucap salam, alangkah baiknya salam itu dijawab," ucap Azam.
"Waalaikumsalam," sahut Isabel dengan begitu ketusnya.
Tidak ingin lama-lama berdebat, akhirnya Isabel segera masuk kedalam kamar mandi.
Azam hanya bisa tersenyum melihat tingkah Isabel yang seperti itu.
"Aku akan segera mendapatkan hatimu Isabel," ucap Azam.
Bersambung .....