Diperjalanan terasa begitu hening. Tidak ada yang berkata sepatah kata pun.
Diantara keduanya hanya saling lirik tapi tidak ada yang berucap.
"Isabel," ucap Azam.
"Hmm."
Percakapan mereka berdua hanya sebatas itu saja.
"Apa kamu mau minum," tanya Azam.
"Tidak."
"Makan," lanjut Azam kembali bertanya.
"Tidak."
Hanya itu jawaban yang Azam dapatkan.
"Mari bernyanyi!" ajak Azam
"Hentikan Mas, tolong diam lah," ucap Isabel masih dengan nada suara yang normal.
"Emm ok," ucap Azam pasrah.
Terdiam kembali. Jujur saja Azam benci suasana hening.
"Bagaimana kalau kita manpir sebentar di sana?" tanya Azam.
Isabel menggaruk hidungnya yang tidak gatal dan memutar bola mata. Pusing sekali meladeni Azam yang sangat menyebalkan menurutnya.
"Hallo," tegur Azam dengan melambai-lambaikan tangannya didepan wajah Isabel.
"Ih, apa sih?"
Isabel menepuk tangan Azam dengan cukup keras.
"Aww ... sakit Isabel," rintih Azam.
"Bodo amat," jutek Isabel.
"Jadi gimana? Mau mampir ga?" tanya Azam lagi.
"Terserah lah, atur saja atur," kesal Isabel.
"Baik, kalau gitu mari kita mampir!"
Kini mereka berdua turun dari dalam mobil menuju kesebuah kedai kopi.
Duduk berdua saling berhadapan. Sekarang mereka telah berada dikedai kopi tersebut.
"Mau pesan apa?" tanya Azam.
"Ga mau," tolak Isabel.
"Ck ... biar Mas saja ya, yang pilihkan untukmu," tawar Azam.
"Hn."
Azam memanggil pelayan di sana dan memesan sesuatu.
Tak lama kemudian pelayan datang kembali dengan membawa dua cangkir kopi hitam pesanan Azam.
Isabel membulatkan matanya saat melihat pesanan Azam yang dibawa seorang pelayan.
"Apa? Kenapa harus kopi hitam?" tanya Isabel.
"Kenapa? Ada apa?" ucap Azam berlaga sok polos.
"Ingin rasanya aku mati saja," celoteh Isabel.
"Jangan! Kalau kamu mati, nanti mas bisa mati. Tapi mati rasa. Haha," lelucon Azam terdengar sangat garing.
"Haha, ga lucu," ledek Isabel.
"Biarin," sahut Azam sembari menjulurkan lidahnya.
"Ihh, sumpah kekanakan sekali."
"Berarti Mas lucu ya? Kan kekanakan."
"Hentikan!"
Isabel menekankan nada bicaranya. Dia sudah semakin kesal dengan ucapan Azam.
"Siap, Istriku," goda Azam kembali sembari meletakan tangannya didahi tanda memberi hormat.
"Mas!"
Isabel membentak Azam dan menggebrak meja. Semua orang yang ada di sana dibuat kaget oleh prilaku Isabel barusan. Semuanya melirik kearah Azam dan Isabel.
Azam terdiam, dia menggigit jarinya karena takut dan malu. Takut terhadap Isabel dan malu kepada semua orang yang melirik mereka.
"Ssttt ... Isabel," ucap Azam dengan menempelkan jari telunjuk kebibirnya.
Isabel menyesali perbuatannya barusan. Tidak seharusnya dia berbuat begitu didepan umum.
Keringat dingin mulai bercucuran didahi Isabel. Dia sangat malu sampai akhirnya pergi meninggalkan tempat itu begitu saja.
Azam yang melihat Isabel pergi, ia segera membayar pesanan mereka dan ikut pergi mengikuti Isabel.
Sekarang mereka berdua telah berada didalam mobil. Isabel hanya menatap kearah kaca mobil saja. Dia enggan untuk menatap Azam.
"Isabel, maafkan Mas," sahut Azam tiba-tiba.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan saja yang saat ini menemani mereka.
"Isabel, maaf. Mas salah, tolong maafkan Mas ya."
Masih tidak ada jawaban dari Isabel.
"Ayolah, jangan seperti ini."
Azam terus saja mengoceh sendirian.
"Sudah Mas, cukup!" tegas Isabel.
"Upsss ... baiklah," turut Azam.
Azam tidak berani lagi untuk berkata-kata. Dia memutuskan untuk diam saja, tidak mau mengganggu Isabel lagi.
Waktu terasa begitu lama bagi Azam dan Isabel. Ingin rasanya mereka berdua segera sampai ketempat tujuan mereka. Jarak rumah Azam dan Isabel memang cukup jauh, sekitar 4 jam lebih.
Mobil mereka berhenti dilampu merah. Isabel melihat anak kecil sedang berjualan bunga. Isabel membuka kaca jendela mobil dan memanggil anak tersebut. Si anak yang dipanggil Isabel melirik dan berlari kearah mobil Azam dan Isabel.
"Berapa harga bunganya, Nak?" tanya Isabel kepada anak si penjual bunga.
"Dua puluh ribu saja, Bu," jawab si anak.
"Kalau gitu saya beli dua bunga."
"Baik, Bu."
Si anak penjual bunga merasa begitu senang, akhirnya ada yang mau membeli dagangannya.
Isabel mengeluarkan uang kertas berwarna biru dan memberikannya kepada si anak.
"Tapi Bu, saya tidak punya kembaliannya."
"Tak apa, kembaliannya ambil saja," ucap Isabel.
"Beneran, Bu?" tanya si anak tidak percaya.
"Iya, ambillah!" titah Isabel.
"Terimakasih banyak, Bu."
Hati Isabel terasa begitu senang saat melihat senyuman kebahagian terpancar diwajah si anak penjual bunga. Walau tidak banyak uang yang dia berikan, tapi itu mampu membuat si anak penjual bunga senang.
Azam hanya melihat kejadian itu. Dia bangga kepada Istrinya. Rasa cinta Azam terhadap Isabel semakin besar.
Sudah hampir 2 jam mereka terjebak kemacetan. Hingga ada seorang petugas Polantas yang menghampiri mobil mereka.
Polantas tersebut mengetuk kaca mobil mereka. Azam membuka kaca jendela mobilnya.
Seorang petugas Polantas tersenyum ramah kepada Azam dan Isabel.
"Permisi Pak, Bu, mohon maaf perjalanannya harus terhenti dikarenkan jalanan terkena longsor."
"Apa Pak? Terus sekarang kami harus bagaimana?" tanya Azam.
"Sebaiknya Bapak balik arah, atau Bapak bisa singgah dulu dihotel atau persinggahan dekat sini," ucap petugas Polantas tersebut.
"Kira-kira kapan jalannya bisa diperbaiki?" tanya Azam kembali.
"Mungkin besok atau lusa Pak, Bu."
"Oh baik Pak. Terimakasih infonya."
"Iya Pak, sama-sama."
Petugas Polantas itu pergi meninggalkan mobil mereka dan menuju kemobil-mobil lainnya untuk memberi tahukan hal yang sama.
Sekarang Azam dan Isabel kebingungan. Tidak mungkin kalau mereka harus kembali lagi kerumah, mengingat mereka sudah cukup jauh dari rumah, dan sekarang sudah sangat sore, sebentar lagi malam.
"Bagaimana Isabel? Apa kita harus kembali kerumah atau menginap dihotel?" tanya Azam meminta pendapat Isabel.
"Terserah," hanya kata itu yang keluar dari mulut Isabel.
Azam semakin kesal kepada Isabel, namun harus tetap dia tahan kekesalannya.
Azam memberhentikan mobilnya disebuah penginapan kecil.
"Apa kita akan bermalam di sini?" tanya Isabel tiba-tiba.
"Iya, kenapa? Apa kamu tidak suka tempatnya?"
"Tidak juga. Aku sih suka-suka saja."
"Hn ... kalau gitu, mari," ajak Azam.
Isabel menganggukkan kepalanya sebagai pertanda setuju.
Mereka menghampiri meja resepsionis untuk memesan kamar kosong.
"Permisi, mbk. Kami ingin memesan kamar di sini," ucap Azam.
"Oh, baik Pak, sebentar," jawab petugas resepsionis dengan begitu sopan.
"Mohon maaf, jenis ruangan apakah yang ingin anda pilih? sebuah kamar berkasur satu atau kamar yang berkasur ganda?," tanyanya kembali.
"Kasur ganda," sahut Isabel cepat.
Azam melirik kepada Isabel. Dia kecewa karena Isabel ingin memilih kasur ganda.
"Baik, Bu."
Mereka berdua menunggu beberapa saat, hingga akhirnya si petugas resepsionis memberikan sebuah kunci kamar penginapan.
"Bapak, Ibu, silahkan. Ini kunci kamar kalian."
"Baik, terimakasih," ucap Azam dan Isabel bersamaan.
Azam dan Isabel pergi kekamar yang mereka pesan dipenginapan tersebut.