Azam dan Isabel memasuki kamar.
Isabel langsung memilih kasurnya sendiri untuk ia tempati.
"Isabel," ucap Azam.
"Hn."
"Kenapa kamu memilih kasur ganda? Bukankah kita bisa tidur seranjang?"
"Hanya masalah kasur saja kamu repot banget, Mas," kesal Isabel.
"Apa kamu begitu tidak inginnya berdekatan dengan, Mas?"
"Cukup, Mas! Tolong jangan memulai perdebatan denganku!" bentak Isabel.
"Kamu sungguh sangat tidak menghargai Mas, sebagai suami kamu. Jujur, Mas kecewa."
Isabel terdiam mencoba mencerna ucapan Azam barusan, tapi dia sama sekali tidak merasa bersalah. Menurutnya dia tidak melakukan kesalahan apapun. Jadi Isabel cuek saja dengan perkataan Azam.
Terlihat tegar, namun sebenarnya terluka. Matanya tidak berair, tapi hatinya menangis. Bibirnya diam seribu bahasa, tapi pikirannya berkecamuk.
Azam menjadi tidak yakin dengan dirinya, apa dia bisa mendapatkan cinta Isabel?
Jika saja dia boleh berucap, maka dia akan mengucapkan segala keluh kesah hatinya.
Jujur Azam ingin sekali mengakui cintanya, menunjukan rasa cintanya dan mengungkapkan perasaannya. Tapi semua itu hanya angan semata, Azam tidak memiliki keberanian untuk melangkah lebih jauh.
Sekarang yang bisa Azam lakukan hanya bersabar dan bersabar. Dia akan terus berdo'a semoga kelak dia bisa dicintai oleh istrinya.
Isabel terduduk dilantai, karena memang didalam kamar mereka tidak tersedia kursi ataupun sofa. Isabel membuka tas yang berisikan keperluaanya. Ia mengambil kapas untuk membersihkan wajahnya.
Meski tangannya aktif melakukan ritual bersih-bersih wajah, tapi matanya tak henti menatap Azam. Isabel heran kenapa Azam langsung diam seperti itu. Padahal dia merasa perlakuaannya pada Azam biasa saja, tidak berlebihan.
Isabel sungguh tidak memperdulikan perasaan dan rasa sakit yang Azam rasakan saat ini karena ulahnya.
Merasa dia yang benar, dan Azam lah yang terlalu berlebihan. Terkadang Isabel memang memiliki sifat egois dan tidak tahu diri yang menjadikannya buruk dimata orang lain.
Sedari kecil memang Isabel memiliki sifat yang ingin menang sendiri. Maklum saja, dia adalah putri semata wayang. Sangat dimanja dan diperhatikan.
Azam membuka ponselnya, melihat apakah ada pesan masuk yang berhubungan dengan pekerjaan. Dia lihat tidak ada pesan masuk satupun. Akhirnya dia putuskan untuk tidur saja. Tetapi sebelumnya dia pergi untuk mebasuh wajahnya yang sudah terasa lengket.
"Tunggu Mas," ucap Isabel.
"Ya," sahut Azam singkat.
"Aku duluan, Mas belakangan," tutur Isabel.
Azam tidak mengerti dengan maksud ucapan Isabel barusan.
"Apa?"
"Aku duluan yang kekamar mandi. Mas tunggu di sini dulu."
"Oh, silahkan."
Isabel langsung masuk kedalam kamar mandi dengan terburu-buru. Sepertinya ada sesuatu yang sudah tidak dapat ditahan lagi.
Azam menggelengkan kepalanya melihat Isabel berlaku seperti barusan.
Azam kembali duduk dikasur dan menyandarkan kepalanya disandaran ranjang.
Termenung kembali, memikirkan kembali semua perkataan dan perlakuaan Isabel terhadapnya.
"Apa aku bisa merebut hati Isabel? Bagaimana cara aku mendapatkan cintanya? Apa yang harus aku lakukan? Cinta seperti apa yang Isabel inginkan? Lelaki yang bagaimana yang menjadi iadamannya? Apa aku termasuk kedalam pilihannya?" Azam terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Seperti orang yang gila karena cinta, Azam terus berbicara sendiri. Memikirkan banyak cara agar cintanya terbalas oleh wanita pujaannya.
Azam tidak sadar bahwa Isabel sudah begitu lama didalam kamar mandi.
Didalam sana Isabel sedang kebingungan. Dia begitu gugup dan cemas. Ingin meminta bantuan, tapi dia bingung harus minta bantuan pada siapa.
Mondar-mandir tidak jelas, hanya itu yang dapat Isabel lakukan. Bukannya mencari solusi untuk masalahnya. Dia malah seakan ingin menghindari masalah tersebut.
"Ya ampun, aku harus ngapain? Kenapa bisa sekarang? Tidak bisakah lain waktu saja," celotehnya.
Berjinjit mencoba melihat keluaran sana. Dilihatnya Azam yang sedang termenung.
"Apa aku harus minta tolong pada Mas Azam? Ah, tidak mau. Nanti dia akan merasa diatas angin. Malas aku."
Isabel menempatkan jari telunjuknya diatas dagu. Sambil mengoyang-goyangkan bibirnya. Memutar otak untuk berfikir bagaimana cara mengatasi masalahnya. Dia jadi bingung sendiri. Padahal dia bisa saja meminta bantuan Azam. Mungkin Azam tidak mungkin menolak untuk memberinya bantuan.
Rasa gengsi yang begitu tinggi membuatnya tidak berani untuk meminta tolong.
"Isabel tolong cintai aku! Jadikan aku cintamu, walau aku bukan yang pertama bagimu, tapi aku bisa memberikan cinta yang begitu indah untukmu," ucap Azam yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
"Mas Azam, tolong bantu aku! Bisa kah kamu membantuku? Untuk saat ini aku butuh kamu, maksudnya bantuanmu," celoteh Isabel didalam kamar mandi.
Azam mendekat kearah pintu kamar mandi. Menempelkan tangannya di sana. Begitu pula dengan Isabel, dia melakukan hal yang sama seperti Azam.
"Mas Azam."
"Isabel."
Kini mereka berdua memiliki masalah dan keluh kesah masing-masing. Diantara keduanya tidak ada yang mau mengatakan masalahnya kepada satu sama lain.
Berdekatan tapi terasa ada jarak. Itu yang mereka alami untuk saat ini.
Seandainya salah satu diantara mereka ada yang mau bicara, mungkin masalahnya tidak akan terkesan begitu rumit dan sulit.
"Mengertikah dirimu? Cinta ini mengusik jiwaku."
"Pahamilah Mas, keadaan ini menggangu aktivitasku."
Sama-sama berbicara sendiri dibalik pintu kamar mandi.
"Rasa ini semakin membara. Waktu kewaktu kian membesar. Rasanya aku terbakar oleh api cintamu."
"Rasanya sangat tidak nyaman. Semakin banyak yang keluar."
"Ku tunggu dengan ragu kepastian darimu mencoba bersabar selalu namun semuanya terasa kaku."
"Sekarang tubuhku jadi semakin kaku. Tidak nyaman bergerak."
Kedua umat manusia ini begitu konyol. Hanya mampu berucap pada diri sendiri tanpa mau mengungkapkan kepada orang yang dituju.
"Duh," Azam menepuk jidatnya. "Aku berasa jadi orang gila, berbicara sendiri. Untung ga ada yang liat."
"Rasanya aku hampir gila karena masalah ini. Coba ini dirumah, mungkin tidak akan sebesar ini masalah yang aku alami."
Azam menyadari bahwa Isabel sudah begitu lama berada didalam. Ingin mengetuk dan sekedar memanggil, tapi tidak jadi. Dia urungkan niatnya. Tidak ingin Isabel marah kembali padanya. Maka Azam putuskan untuk membiarkan Isabel berada didalam sana sesuka hatinya.
Isabel sudah bosan berada didalam. Mencoba meyakinkan dirinya untuk keluar dan bicara pada suaminya. Hanya saja kembali pada rasa gengsi yang dia miliki.
Isabel dan Azam kembali bertingakah konyol dengan mengetuk pintu secara pelan. Begitu pelan sampai semut saja tidak mungkin untuk mendengarnya.
Azam putuskan untuk menunggu Isabel sembari duduk saja dilantai. Tubuhnya ia sandarkan dibalik pintu.
Mulai menguap, Azam begitu mengantuk. Rasa kantuk mulai terasa dalam dirinya. Isabel semakin gelisah. Dia merasa tidak nyaman.
"Sebenarnya apa yang Isabel lakukan didalam? Lama sekali," ungkap Azam.
"Ih ... kenapa Mas Azam tidak memanggilku? Aku bosan didalam sini," keluh Isabel.
Keduanya hanya bisa menunggu satu sama lain. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka ditunggu. Menunggu bukan karena tidak ingin mengganggu.