Mulai bosan dan kesal, Azam akhirnya mau untuk mengetuk pintu dan memanggil Isabel. Azam mulai menghitung waktu untuk memberanikan diri.
"Satu, dua ...."
Berhenti dalam hitungan kedua, Azam kembali diragukan oleh perasaan dan rasa takutnya.
"Arghh ... susah sekali hanya untuk mengetuk pintu. Apa aku harus panggil pemadan kebaran saja? Mereka pasti bisa bantu aku. Dahlah, memang benar-benar sudah gila aku nih."
Azam menarik nafas dan mulai mengaturnya. Keluarkan dan buang, itu Azam lakukan berkali-kali.
Mengacak rambutnya sendiri karena frustasi. Azam mengucek matanya dan mengusapkan kedua tangannya diwajah dengan sangat kasar.
Baru kali ini dia merasa begitu kesulitan hanya karena hal sepele. Biasanya Azam bisa mengatasi masalah apapun. Mudah atau sulit, tetap bisa dia hadapi dan mampu dia selesaikan. Sedangkan untuk masalah yang satu ini, dia merasa begitu kerepotan.
"Jika begini terus, aku bisa-bisa baru bisa tidur setelah pergantian tahun. Isabel menyebalkan, tapi aku tetap sayang. Oh Isabelku, aku mencintaimu, sangat mencintaimu!"
Sempat-sempatnya Azam mengungkapkan cinta saat keadaan seperti ini. Padahal percuma saja dia mengungkapkannya, Isabel juga tidak akan mendengarnya.
Didalam juga suasana yang tercipta tidak jauh beda seperti diluar. Isabel sudah seperti cacing kepanasan. Mulai tidak tenang. Seperti ada seribu warga yang sedang mengejarnya.
Ingin sembunyi tapi tidak bisa. Isabel seperti berada digurun pasir yang tandus, tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Mencari perlindungan atau perteduhanpun sulit, karena Isabel sendirilah yang mempersulitnya.
Tidak begitu susah baginya untuk keluar dan membicarakan masalahnya pada Azam, lalu dia bisa langsung meminta bantuan padanya. Tapi yang dinamakan orang yang menahan gengsi, pasti sulit untuk melakukan apapun. Gengsi seakan membunuh Isabel perlahan.
"Percuma aku berdiam diri di sini. Aku akan keluar," lirih Isabel.
"Tenang, tetap terlihat santai. Jangan buat dirimu seperti orang susah yang sangat membutuhkan bantuan dari orang lain. Ingat harga dirimu mahal, Isabel."
Baru saja Azam akan mengetuk pintu, tetapi sayang dia didahului oleh Isabel.
Isabel melipat tangannya diatas dada dan memperlihatkan wajah angkuhnya.
"Ekhm ..." deheman Isabel sebagai isyarat panggilan pada Azam.
Azam kebingungan, dia tidak tahu mengapa Isabel berdiri terus diambang pintu, tanpa mau melangkah keluar.
"Cepatlah keluar! Mas ingin segera masuk dan membasuh wajah," titah Azam.
"Tunggu dulu, Mas. Mas boleh masuk, tapi ada syaratnya."
"Apa maksudmu, Isabel?" tanya Azam heran.
"Mas harus lakukan sesuatu untuk dapat masuk ke sini. Anggap itu sebagai bayaran. Anggap saja Mas Azam ingin masuk kedalam WC umum. Bukankah Mas harus membayar jika ingin masuk ke sana," ungkap Isabel yang membuat Azam semakin bingung.
"Kamu kenapa? Perlukah Mas belikan obat? Sepertinya penginapan ini ada penunggunya. Kamu pasti digangguin oleh penunggu di sini, makanya kamu aneh seperti ini," tebak Azam asal, sesuka hatinya.
"Ngaco kamu, Mas. Iman aku tebal dan kuat. Ga bakalan ada makhluk yang berani gangguin aku."
"Percaya dirimu terlalu overdosis, wahai istriku," ucap Azam yang kembali membuat Isabel kesal.
Mau marah pun harus Isabel tahan. Saat ini Isabel benar-benar membutuhkan bantuan dari Azam.
"Jadi bagaimana? Setuju dengan penawaranku?"
"Apa sih maksud kamu, Isabel? Bicara yang jelas. Jangan buat Mas bingung."
"Peka dong, Mas. Kalau aku ngomong Mas Azam harus langsung mengerti."
Terkadang perempuan memang seperti itu. Ingin dimengerti tanpa mau mengerti. Dia ingin setiap yang diucapkan langsung dilaksanakan, tanpa pikirkan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Azam bukan tidak ingin melakukan apa yang Isabel perintahkan atau tawarkan. Dia bingung dan tidak tahu sama sekali dengan maksud Isabel. Sudah pusing dari tadi masalah panggil memanggil Isabel. Kini dia harus dipusingkan kembali oleh tingkah laku Isabel yang aneh.
Isabel kesal karena Azam tidak mengerti juga yang dia maksudkan. Wajar saja Azam tidak mengerti maksud dari Isabel, karena dari tadi Isabel tidak mengatakan apapun.
"Mas Azam sekarang pergi keminimarket!" titah Isabel pada akhirnya.
"Hah? Untuk apa?" tanya Azam masih bingung.
"Belikan aku sesuatu. Aku membutuhkan sesuatu."
"Iya, apa yang kamu butuhkan? Mas akan belikan. Tapi kamu bilang dulu yg jelas, apa yang harus, Mas beli?"
"Keperluanku."
"Iya apa? Mas, ga tau apa yang kamu mau."
"Hiih, Mas Azam ga peka-peka."
"Lah, kamu aja ga ngomong apa-apa."
"Aku dari tadi ngomong, kok."
"Iya ngomong, tapi ga jelas. Cepat sekarang katakan. Mas akan pergi sekarang juga."
"Mmm," jujur saja Isabel masih ragu untuk mengatakannya.
"Isabel, ayo lah. Mas udah ngantuk, ingin tidur. Kalau ga jadi beli, ya udah, ga usah. Biarin Mas masuk."
"Eits," Isabel menghalangi pintu masuk dengan merentangkan kedua tangannya. "Jangan dulu, Mas. Belikan dulu yang aku mau," lanjut Isabel.
"Ya udah apa? Cepet Isabel!" Azam mulai kesal.
"Belikan aku ... sini Mas, aku bisikan," ucap Isabel.
Azam menurut saja pada Isabel. Isabel nampak membisikan sesuatu pada Azam. Azam terkejut setelah tahu apa yang Isabel butuhkan.
"Tapi Isabel, Mas ga berani untuk membelinya," tolak Azam.
"Ayo dong, Mas. Demi aku."
Azam menjadi luluh terhadap Isabel. Jika ada pilihan lain, Azam tidak akan memilih permintaan Isabel yang ini.
"Belikan ya, Mas. Aku sih mau aja beli sendiri, tapi ga mungkin. Mas lihat penampilanku sekarang. Sangat tidak memungkin untuk keluar kamar. Apalagi ketempat umum seperti minimarket."
Tidak tega melihat Isabel yang terus meminta dan memohon, walau Azam tahu Isabel tidak benar-benar tulus memohon padanya. Tapi tetap saja Azam menuruti yang diperintahkan oleh Isabel.
"Iya deh, Mas akan belikan," pasrah Azam.
"Nah gitu dong."
Isabel tersenyum lega karena akhirnya Azam mau membantunya. Masalahnya akan cepat selesai.
Azam melangkahkan kakinya keluar kamar. Dengan ragu-ragu Azam tetap pergi. Dia ikhlas melakukannya untuk istri tercinta yang sama sekali tidak membalas cintanya.
Keluar tanpa alas kaki, Azam menjadi bahan perhatian semua orang. Tadi saat akan pergi Azam lupa untuk memakai sandalnya. Ia begitu terburu-buru untuk menjalankan perintah dari Isabel. Untuk pertama kalinya Isabel sangat membutuhkan dirinya. Azam tidak mau melewatkan kesempatan tersebut.
Padahal jalanan begitu berkerikil dan juga basah, karena habis terguyur air hujan. Azam tidak memperdulikan hal itu, dia tetap pergi. Tidak mau kembali lagi kedalam kamar hanya untuk sekedar mengambil sandal, takut membuang waktunya dan Isabel akan terlalu lama menunggu. Azam tidak ingin membuat istrinya menunggu.
Biarlah dia sedikit kesusahan, asal istrinya merasa nyaman. Tidak memperdulikan dirinya sendiri, yang ada dipikirannya hanyalah Isabel, dan akan tetap Isabel.
Cinta telah membutakan Azam. Azam begitu mencintai Isabel. Rasa cintanya terhadap Isabel jauh lebih besar daripada cintanya pada dirinya sendiri.