Setelah selesai berbincang dan bercanda bersama Bunda, Isabel memutuskan untuk menemui Ayah mertuanya. Dia berniat untuk menyakan tentang perubahan sikap Ayah Bondan dan mencoba untuk memperbaiki masalahnya.
Dengan sedikit ragu, Isabel mengetuk pintu ruangan kerja Ayah Bondan.
Beberapa kali Isabel mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban dari dalam sana. Isabel mencoba mengetuknya kembali, tapi hasilnya tetap sama.
Akhirnya Ia memutuskan untuk masuk saja tanpa menunggu persetujuan dari Ayah Bondan.
Saat hendak memegang handle pintu, tiba-tiba saja ada yang mencengkram pergelangan tangan Isabel dengan sangat kuat sehingga mengakibatkan Isabel kesakitan dan merintih.
"Aww, sakit," keluh Isabel.
"Sedang apa kamu di sini? Beraninya mau masuk ruangan orang tanpa izin yang punya, apa kamu tidak memiliki sopan santun dan tata krama? Apa dikeluargamu tidak diajarkan hal semacam itu?" bentak seseorang yang mencengkram tangan Isabel.
Ketika Isabel melihat siapa orangnya, dia begitu terkejut dan ketakutan. Isabel sangat gugup dan merasa bersalah.
"Ayah."
"Dasar tidak sopan!"
"Ayah maafkan Isabel, tolong maafkan Isabel. Sungguh Isabel tidak bermaksud seperti itu."
"Pergi kamu dari sini!" bentak Ayah Bondan dengan nada suara yang sangat tinggi.
"Tapi Ayah, Isabel datang ke sini untuk mengatakan sesuatu kepada Ayah," ucap Isabel.
"Saya tidak mau berbicara denganmu. Jadi lebih baik sekarang kamu pergi!"
Ayah Bondan kembali membentak Isabel, bahkan sekarang Ayah Bondan menyeret tangan Isabel dan mendorong Isabel sampai terjatuh.
"Aduh ... sakit, sakit sekali," rintih Isabel.
Sikut tangan kanan Isabel mengeluarkan darah.
Ayah Bondan tidak memperdulikan hal itu. Dia terlihat cuek dan malah masuk kedalam ruangan kerjanya.
"Ayah! Ayah tunggu! Dengarkan penjelasan Isabel dulu," panggil Isabel setengah berteriak.
"Bagaimana ini? Ayah semakin marah padaku. Dia salah paham," ucap Isabel.
Seakan tidak peduli dengan lukanya, Isabel kembali mengetuk pintu ruang kerja Ayah Bondan.
"Ayah, tolong buka pintunya, Isabel ingin bicara."
Tetap saja Ayah Bondan tidak membuka pintunya.
"Sepertinya percuma saja aku bicara sekarang. Ayah sudah benar-benar marah."
Isabel pasrah dan akhirnya dia meninggalkan tempat tersebut.
Dari dalam ruangan terlihat Ayah Bondan begitu marah. Dia melempar barang-barang miliknya.
"Bodoh, mengapa aku begitu bodoh? Kenapa aku harus menikahkan Putraku dengan gadis sepertinya," kesal Ayah Bondan.
"Padahal aku bisa saja mencarikan wanita yang lebih baik lagi dan lebih berkelas. Tidak sepertinya, seperti orang yang tidak berpendidikan."
Kembali menangis, kini keadaan Isabel terlihat begitu menyedihkan.
Tetes demi tetes air mata terus mengalir dipelupuk matanya.
Rasanya Isabel ingin pergi saja dari rumah ini dan kembali kerumah orang tuanya. Di sini hanya Bunda Arin yang masih menyayangi dan menganggapnya. Semua anggota keluarga lainnya telah membenci dan menyalahkannya.
Isabel mengambil kotak P3K untuk mengobati lukanya. Dia mencuci tangannya dengan air. Rasanya sangat perih saat luka itu tersentuh oleh air.
"Ini perih sekali, tapi lebih perih ucapan Anin dan Ayah tadi," lirihnya.
Setelah selesai mencuci lukanya, kini Isabel mulai memberi obat pada lukanya.
Isabel meringis kesakitan saat melakukannya.
"Huh, kenapa rasanya begitu perih. Aku tidak kuat."
"Biar Mas saja yang mengobatimu."
Isabel tersentak saat tiba-tiba saja Azam ada di sana.
"Tidak! Tidak perlu! Aku bisa sendiri," tolaknya kasar.
"Untuk saat ini, tolong jangan membantah dulu. Apa kamu mau lukanya infeksi karena kamu tidak benar saat memberinya obat."
"Aku tidak peduli. Itu urusanku," kekehnya.
Azam pun merebut obatnya dari tangan Isabel. Dengan telaten Azam mengobati luka Isabel.
"Kenapa kamu bisa mendapat luka ini?"
Disela-sela mengobati luka Isabel, Azam sempatkan untuk bertanya.
"Bukan urusan Mas," ketus Isabel.
"Hufh ..." Azam menarik nafas berat.
Ingin sekali Azam marah dengan jawaban Isabel yang terus-terusan membuatnya darah tinggi.
"Dah selesai. Lukanya akan cepat sembuh," ucap Azam.
"Aku tahu."
"Iya, kamu maha tahu segalanya."
Azam melempar kapas yang tadi dipakai untuk mengobati luka Isabel kewajah Isabel. Wajah Isabel memarah, emosinya memuncak.
"Mas!"
"Apa? Mau marah? Ayo marah! Mas suka melihatmu marah," goda Azam.
"Menyebalkan."
"Isabel, tadi Bunda bilang sama Mas, katanya kamu merindukan Ibu dan Bapak ya? Kalau begitu besok Mas akan mengantarmu kerumah Ibu dan Bapak."
"Jangan! Aku mau pergi sendiri!" tegas Isabel.
"Tidak bisa. Ini perintah Bunda, Mas yang akan mengantarmu pergi," tutur Azam.
"Terserah," pasrah Isabel.
"Nah gitu dong, nurut sama Suami."
"Mas, tolong jangan buat aku semakin marah!"
"Mas sudah mempersilahkan jika kamu ingin marah. Mas suka melihatnya," goda Azam semakin menjadi.
Isabel semakin naik pitam mendengar ucapan Azam barusan. Hampir saja Isabel mengangkat tangannya keudara, bersiap untuk memukul Azam. Tapi untungnya dia mengurungkan niatnya itu.
"Pipimu merah, apa karena malu?" lanjut Azam kembali menggoda Isabel.
"Cukup Mas!" bentak Isabel.
Langsung saja Isabel pergi dari tempatnya sekarang berada. Dia tidak mau kalau harus kembali berdebat dengan Azam.
Azam tersenyum ketika Isabel sudah menghilang dibalik dinding.
"Apapun yang terjadi, aku akan tetap berusaha mengambil hatimu."
Suara kicau burung menyambut pagi tiba. Matahari terbit dengan begitu indah. Sepoi angin semakin menambah sejuk pagi hari ini.
Azam dan Isabel bersiap untuk pergi berkunjung kerumah orang tua Isabel.
"Apa semuanya sudah siap?" tanya Azam.
"Iya."
"Kalau gitu kita pergi sekarang," ajak Azam.
"Tunggu, aku ingin menemui Ayah dulu," cegah Isabel.
"Tapi Ayah sudah pergi dari sejak pagi tadi."
"Apa?"
"Ayah sudah pergi dari sejak tadi pagi," ucap Azam mengulang kalimat pembicaraannya.
"Aku dengar."
"Lalu, kenapa harus bertanya kembali?"
Isabel memutar bola matanya malas.
"Kita pergi saja sekarang," ajak Isabel.
"Baik, mari," ajak Azam kembali.
"Tunggu."
"Ya ampun, apalagi?"
"Aku ingin pamitan sama Bunda dulu."
"Sabar Azam, sabar," ucap Azam.
"Drama," tutur Isabel.
Ternyata Bunda Arin sudah menunggu mereka diluar kamar. Kedua tangannya memegang kantong kresek.
"Bunda," ucap Azam dan Isabel bersamaan.
"Cie barengan, jodoh nie," goda Bunda.
"Lah emang jodoh Bun, buktinya kita udah nikah," canda Azam.
"Haha, dasar kamu ya."
Bunda Arin menjewer telinga Azam pelan.
"Aduh, duduh, ampun Bunda, sakit."
"Heleh lebay kamu Zam."
"Nak Isabel sayang, ini Bunda ada oleh-oleh buat keluarga kamu. Bawa ya," ucap Bunda.
"Ya ampun Bun, ga usah repot-repot," sahut Isabel tidak enak hati.
"Apanya yang repot? Biasa aja tuh," ungkap Bunda.
"Sudahlah Isabel terima saja, biar kita cepat pergi," kata Azam.
"Diam kamu, Zam, ga usah ikut campur," jelas Bunda.
"Iya deh iya," sahut Azam pasrah.
"Ini Sayang ambil lah," titah Bubda Arin sembari menyodorkan kantong kresek itu ketangan Isabel.
"Emm ... baik Bun, sini biar Isabel ambil."
"Nih Sayang."
"Terimakasih Bun," ucap Isabel.
"Iya Sayang, kembali kasih."
"Udah kan Bun? Kalau gitu, Azam dan Isabel pamit dulu ya," terang Azam.
"Ya sudah. Hati-hati dijalan ya Sayang-sayangku," ucap Bunda.
Azam dan Isabel mencium telapak tangan Bunda Arin lalu mereka berdua berpamitan dan segera pergi.
Bersambung ....