Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Ganjar Dear Aisyah

๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉGumilar79
143
Completed
--
NOT RATINGS
124.7k
Views
Synopsis
Ganjar seorang pemuda desa, jujur dan pekerja keras. Ia terlahir dari keluarga sederhana tinggal di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota, Ganjar bercita-cita tinggi ingin menjadi seorang petani sukses. Selepas menyelesaikan pendidikan di sekolah lanjutan tingkat atas, ia lebih memilih tetap tinggal di kampung halamannya. Ganjar lebih senang bertani menggarap sebidang tanah milik sang Ayah, berkat kerja keras dan kejujurannya ia dipercaya oleh sang Paman untuk mengelola lahan milik pamannya tersebut. Hingga pada akhirnya Ganjar sukses merubah hidupnya menjadi seorang petani muda yang dihormati oleh masyarakat sekitar dan mempunyai usaha perkebunan mandiri yang banyak mempekerjakan warga di sekitar tempat tinggalnya. Kesuksesan Ganjar bukan hanya dirasakan dalam hal karir saja, dalam urusan asmara pun ia berhasil meluluhkan dua gadis cantik yang ada di kampung halamannya. Aisyah dan Rara sangat mencintai dan mengagumi Ganjar. Namun di antara kedua gadis tersebut, Aisyah-lah yang beruntung. Aisyah menjadi gadis pilihan Ganjar yang jadi pendamping hidupnya. Namun di balik kebahagiaan mereka ada hati yang terluka. Yakni Rara, ia merasa sakit hati karena merasa gagal menjadi pilihan Ganjar yang sangat ia cintai. Rara terus berusaha mengganggu kebahagiaan rumah tangga Ganjar dengan Aisyah. Namun, Aisyah tetap bersabar dan ikhlas menghadapi sikap Rara. Sampai akhirnya Rara pun merasa jera dan depresi, ia jatuh sakit dan mengalami keterpurukan, semua itu dikarenakan cintanya yang tak terbalas oleh Ganjar dan Ganjar lebih memilih Aisyah untuk menjadi istrinya. Hal tersebut diketahui oleh Aisyah, karena rasa kemanusiaan yang tinggi dan rasa iba terhadap Rara. Aisyah memutuskan untuk menjadikan Aisyah sebagai madunya semata-mata demi kesembuhan Rara. Aisyah terus mendesak Ganjar untuk menikahi Aisyah, karena desakan sang Istri Ganjar pun menuruti permintaan istrinya itu. Di usia kehamilan yang ke enam bulan, Aisyah harus ikhlas dan rela berbagi cinta dengan Rara yang merupakan sahabat baiknya. Ganjar atas dukungan penuh dari Aisyah akhirnya menikahi Rara, meskipun itu semua ia lakukan karena keterpaksaan dan desakan dari Aisyah. Mampukah Ganjar berlaku adil terhadap kedua istrinya? Dan apakah Ganjar mampu mempertahankan keutuhan rumah tangganya itu? Aisyah atau Rara yang dapat menemani Ganjar hingga tua? Atau sebaliknya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Kunjungan Aisyah

Ganjar Kurnia nama lengkapnya biasa dipanggil Ganjar, pemuda desa yang hanya berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Ganjar terlahir dari keluarga sederhana yang tinggal di sebuah desa jauh dari pusat keramaian kota, ayah dan ibunya merupakan seorang petani biasa yang mengelola sebidang tanah yang tidak terlalu luas.

Pagi itu, suasana kampung tampak ramai. Banyak anak-anak kecil bermain lari-larian di halaman rumah penuh keceriaaan, gelak tawa pun mewarnai kebersamaan mereka menyambut hari libur sekolah.

Langit tampak cerah dengan sederet keasrian dan keindahan alam pedesaan, udaranya pun masih terasa sejuk bersih dan bebas dari polusi. Hari itu merupakan hari libur nasional.

Ganjar baru selesai membantu ibunya, mengerjakan pekerjaan rumah. Ia bangkit dan langsung melangkah menuju ke ruangan dapur.

"Bu!" kata Ganjar lirih berdiri di hadapan ibunya yang saat itu sedang membersihkan ikan mas yang diambil dari kolam ikan yang ada di belakang rumah.

Ibu paruh baya itu mengangkat wajah dan meluruskan dua bola matanya ke arah pemuda tampan yang berdiri di hadapannya.

"Iya, Nak. Ada apa?" jawab sang ibu.

"Ganjar mau berangkat ke kebun dulu ya, Bu," kata Ganjar bersikap ramah dan penuh kelembutan.

"Tadi pagi sebelum ayahmu berangkat, ia berpesan kepada Ibu. Kata ayahmu, kalau kamu hendak ke ladang jangan lupa bawa cangkul satu lagi!"

"Iya, Bu. Nanti Ganjar ambil ke belakang." Ganjar langsung meraih tangan sang ibu, lalu menciumnya penuh hormat. "Ganjar berangkat sekarang ya, Bu. Assalamualaikum," sambungnya langsung berlalu dari hadapan sang ibu.

"Waalaikumsalam," jawab Bu Ratna menatap langkah putra semata wayangnya.

Ganjar saat itu baru berusia 20 tahun. Dalam setiap harinya, ia habiskan hanya untuk membantu kedua orang tuanya. Sejatinya, Ganjar bercita-cita tinggi. Dia ingin menjadi seorang petani sukses yang bisa memajukan desa tempat tinggalnya menjadi sebuah desa pemasok utama dari hasil pertanian.

***

Setibanya di kebun, Ganjar langsung menghampiri sang ayah yang sedang melakukan aktivitasnya di tengah kebun tersebut, mencangkul tanah yang hendak ia tanami sayuran.

"Assalamualaikum," ucap Ganjar dengan suara pelan.

"Waalaikumsalam" jawab Pak Edi bangkit, kemudian meluruskan pandangannya ke arah Ganjar yang baru tiba itu.

"Pak, kita ngopi dulu, Ganjar bawa pisang goreng!" ajak Ganjar tersenyum lebar.

Pak Edi balas tersenyum dan langsung melangkah menghampiri Ganjar yang sudah berada di samping saung yang ada di pinggir ladang tersebut.

Ganjar bergegas masuk ke dalam saung, dan langsung membuatkan segelas kopi hitam kesukaan ayahnya.

Setelah selesai, ia langsung menaruh segelas kopi itu di atas meja kecil yang ada di dalam saung tersebut.

"Ini kopinya, Pak!"

"Iya, Nak." Pak Edi bergegas masuk ke dalam saung, menghampiri putra semata wayangnya yang sudah lebih dulu berada di dalam saung tersebut.

"Kamu sudah ngopi belum, Nak?" tanya Pak Edi menatap wajah putranya.

"Belum, Pak."

"Ya, sudah. Sekalian saja ngopi bareng Bapak!" ajak Pak Edi.

"Perut Ganjar sedang tidak enak, Pak," jawab Ganjar.

"Sebaiknya, kamu langsung pulang saja, Nak!" kata pria paruh baya itu menatap wajah Ganjar.

"Ganjar mau membantu Bapak, lagi pula di rumah tidak ada kerjaan," jawab Ganjar sambil tersenyum-senyum.

"Tapi sampai zuhur saja ya, Nak. Setelah itu, kita langsung pulang. Besok saja kita lanjutkan lagi!" kata Pak Edi menatap tajam wajah putra semata wayangnya itu.

"Memangnya, kenapa, Pak?" tanya Ganjar tampak penasaran.

"Hari ini, Bapak mau berangkat ke Kota," jawab Pak Edi. "Bapak mau membeli obat hama yang super," tandasnya menambahkan.

"Oh ... ya, sudah. Bapak istirahat saja dulu! Biarkan saja Ganjar yang mencangkul!"

Ganjar bangkit dan bergegas meraih cangkul, kemudian langsung melangkah ke tengah ladang menuju ke tengah ladang.

Ganjar tampak bersemangat dalam membantu pekerjaan orang tuanya, sedikitpun tak ada keluh-kesah dalam diri pemuda tampan itu, ikhlas dan senantiasa bersabar menjadi kunci utama yang ia terapkan dalam kehidupan sehari-harinya.

Beberapa jam kemudian, Ganjar sudah terlihat kelelahan, keringat bercucuran dari wajahnya. Tampak pakaiannya pun sudah dibasahi keringat.

Terik matahari sudah terasa semakin panas. Seiring dengan berjalannya waktu, posisi matahari sudah berada di atas kepala, menandakan bahwa waktu sudah semakin siang, dan hampir mendekati waktu zuhur.

"Nak, ayo kita pulang! Sebentar lagi zuhur," teriak Pak Edi mengajak Ganjar untuk segera pulang.

Ganjar menghentikan aktivitasnya, meluruskan dua bola matanya ke arah sang ayah yang berdiri di samping saung yang ada di pinggiran ladang tersebut.

"Baik, Pak," sahut Ganjar langsung melangkah menuju arah saung.

"Cangkulnya simpan di sini saja!"

"Iya, Pak." Ganjar memasukkan cangkul tersebut ke dalam saung, kemudian mengunci pintu saung tersebut. Setelah itu, mereka segera melangkah menuju arah pulang, karena sudah siang dan hampir mendekati waktu zuhur. Setibanya di rumah, Ganjar dan Pak Edi bergegas mandi karena sebentar lagi mereka akan berangkat ke Musala untuk melaksanakan Salat Zuhur berjamaah.

Selesai mandi dan berganti pakaian, Pak Edi langsung mengajak Ganjar yang sudah rapi mengenakan sarung dan baju koko untuk segera berangkat ke Musala.

"Ayo, Nak. Berangkat sekarang!"

Ganjar hanya tersenyum dan mengikuti langkah pria paruh baya itu, mereka berdua melangkah bersama menuju ke Musala untuk melaksanakan Salat Zuhur berjamaah.

Sepulang dari Musala. Pak Edi langsung berangkat ke kota untuk membeli obat hama dan keperluan lainnya untuk ladang. Sementara Ganjar hanya duduk santai di ruang tengah dengan menikmati tayangan televisi, karena sudah tidak ada aktivitas lagi, ia lebih memilih diam dan tidak ke mana-mana.

***

Keesokan harinya. Sebuah mobil sedan warna merah berhenti di halaman rumah Ganjar, tampak seorang gadis belia dengan mengenakan gamis biru toska selaras dengan hijab yang menutup mahkota rambutnya itu, cantik dan anggun melangkah keluar dari mobil itu, menuju ke arah beranda kediaman tersebut.

"Assalamualaikum," ucap gadis itu sambil mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam," jawab Ibu Ratna dari dalam rumah, bangkit dan bergegas membuka pintu.

Setelah pintu terbuka tampak gadis berparas cantik berkulit kuning langsat berdiri tepat di depan pintu.

"Selamat siang, Bu," ucap gadis itu, tersenyum menatap wajah ibu paruh baya yang tersenyum manis menatapnya.

"Neng siapa, ya?" tanya Ibu Ratna bersikap ramah.

"Saya Aisyah, Bu. Teman Ganjar waktu SMA," jawab gadis itu dengan lembut penuh keramahan.

Aisyah untuk segera masuk ke dalam "Ayo, silahkan masuk, Neng!"

"Iya, Bu," Aisyah menjawab dengan ramah dan penuh kelembutan. Aisyah langsung melangkah masuk ke dalam rumah tersebut.

"Silahkan duduk, Neng. Maaf tempatnya seperti ini!" ucap Bu Ratna. "Sebentar ya, Neng. Ibu ambilkan air minum dulu!" sambung wanita paruh baya itu, berlalu dari hadapan Aisyah.

Beberapa menit kemudian, Bu Ratna sudah kembali menghampiri Aisyah dengan membawa secangkir teh hangat untuk disuguhkan kepada tamunya tersebut.

"Silahka, Neng!" Bu Ratna meletakkan cangkir tersebut di atas meja tepat di hadapan gadis cantik berkerudung biru itu.

Aisyah tersenyum sedikit menganggukkan kepala. "Iya, Bu. Terima kasih, jadi merepotkan," ujar Aisyah.

"Tidak, Neng. Maaf hanya air teh saja, tidak ada apa-apa."

"Iya, Bu," ucap Aisyah langsung meminum air teh yang disuguhkan Bu Ratna.

"Oh, iya, Bu. Ganjar ke mana ya?" tanya Aisyah ramah pandangannya terarah ke wajah Bu Ratna.

"Ganjar sedang di ladang, membantu Bapak," jawab Bu Ratna. "Ibu susul Ganjar dulu ya, Neng!" sambung Bu Ratna.

"Tidak usah, Bu. Aisyah hanya sebentar!" ucap Aisyah. "Aisyah ke sini hanya mau menyerahkan ini untuk Ganjar," sambung Aisyah mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan langsung menyerahkan kepada Bu Ratna.

"Ya sudah, nanti Ibu sampaikan kepada Ganjar," ucap Bu Ratna lirih.

Setelah itu, Aisyah langsung pamit kepada Bu Ratna. "Aisyah pulang sekarang ya, Bu. Salam untuk Ganjar, kapan-kapan Aisyah ke sini lagi!" Aisyah bangkit dari duduknya.

''Tidak menunggu Ganjar dulu, Neng?" Bu Ratna balas bertanya dengan menatap wajah gadis cantik yang sudah berdiri itu.

"Tidak, Bu. Lain kali saja, soalnya masih banyak tugas di pesantren." Aisyah mengulurkan tangan kepada Bu Ratna, lalu menciumnya dengan sikap santun penuh keramahan.

"Assalamu'alaikum," pungkasnya lirih.

"Wa'alaikum salam," jawab Bu Ratna. Aisyah berlalu dari hadapan ibu paruh baya itu, langsung melangkah keluar menuju arah mobil yang terparkir di halaman kediaman sederhana tersebut.

Bu Ratna mengantarkan Aisyah hingga beranda rumah. "Masya Allah, masih muda sudah hidup enak, wajahnya cantik sikapnya sopan," gumam Bu Ratna berdiri menatap ke arah mobil yang dikemudikan Aisyah.

Perlahan mobil merah tersebut melaju meninggalkan halaman rumah tersebut. "Semoga jodoh Ganjar seperti Aisyah!" ucap Bu Ratna penuh harap