Ganjar dan Pak Edi baru saja tiba di kediamannya, setelah selesai mengerjakan aktivitasnya di ladang, melangkah bersama menuju beranda rumah. "Assalamu'alaikum," ucap Ganjar dan sang Bapak serentak.
"Wa'alaikuam salam." Bu Ratna bangkit dan bergegas membuka pintu menyambut hangat kedatangan sang Suami dan putra semata wayangnya itu.
Pak Edi dan Ganjar langsung melangkah masuk ke dalam, Ganjar tampak lelah dan duduk di kursi ruang tengah dengan posisi sedikit bersandar ke kursi tersebut. Sementara, Pak Edi saat itu langsung ke belakang rumah untuk memberi makan ternak ayam yang ia pelihara. Bu Ratna melangkah menghampiri putranya itu. "Tadi ada temanmu ke sini, Nak," ucap Bu Ratna mengarah kepada Ganjar yang sedang duduk.
Ganjar bangkit dan sedikit menggeser posisi duduknya lebih mendekat ke arah sang Ibu. "Siapa, Bu?" Ganjar tampak penasaran terus memandang wajah sang Ibu.
"Aisyah, Nak," jawab ibu paruh baya itu.
"Oh, Aisyah. Ada perlu apa ya, Bu?" Ganjar tampak tersenyum-senyum.
"Tidak bicara apa-apa, Aisyah hanya menitipkan sesuatu kepada Ibu," jawab Bu Ratna lirih. "Barangnya, Ibu simpan di meja di dalam kamarmu," sambung Bu Ratna lirih.
Ganjar bangkit dan langsung pamit kepada sang Ibu untuk segera masuk ke dalam kamar.
"Barang apa yah, yang dititipkan Aisyah?" gumam Ganjar meraih bingkisan tersebut yang ada di atas meja kamarnya.
Setelah dibuka isinya adalah sebuah sajadah berukuran besar warna hijau tua. "Ya Allah, Aisyah kok tahu yah. Sajadahku sudah usang?" bisik pemuda tampan itu, raut wajahnya tampak semringah.
Di dalam bingkisan tersebut terdapat secarik kertas putih yang menempel, Ganjar penasaran kemudian meraih kertas tersebut dan langsung membacanya.
"Bukan kemewahan yang akan membuatmu bahagia karena disukai olehku. Tapi kesederhanaan yang akan membuatmu tampak istimewa dalam pandanganku. Ini sajadah sengaja aku belikan untuk kamu, sebagai pengganti sajadah kamu dulu, yang tidak sengaja aku hilangkan di Musala sekolah, karena kelalaianku. Hari minggu aku mau ke rumah kamu, aku harap kamu ada di rumah. Aisyah sahabat pengagummu," tulis Aisyah di atas secarik kertas tersebut.
Ganjar merasa senang dan bahagia membaca isi surat tersebut, ternyata Aisyah masih ingat kepadanya, setelah hampir empat tahun tidak pernah bertemu, karena selama empat tahun terakhir. Aisyah mengenyam pendidikan di Kairo.
Ganjar merebahkan tubuh di atas tempat tidur, bola matanya terus bergulir mengamati sekeliling ruang kamar yang berukuran sempit itu, sudut demi sudut ia pandangi. Dalam benaknya terbayang sosok Aisyah dengan paras cantik tersenyum ke arahnya. Entah kenapa saat itu Ganjar merasakan kerinduan yang sangat kuat, tumbuh perasaan yang tidak biasa ia rasakan. Ganjar bangkit dari tempat tidurnya dan langsung melangkah keluar menuju ke kamar mandi dengan membawa handuk yang ia selendangkan di leher. "Kamu belum salat, Nak?" tanya Pak Edi menatap Ganjar.
"Belum, Pak. Ini baru mau mandi," jawab Ganjar berlalu masuk ke dalam kamar mandi.
"Ganjar kenapa, Bu?" tanya Pak Edi mengarah kepada sang Istri yang ada di sebelahnya.
"Jatuh cinta, Pak," jawab Bu Ratna menduga-duga sembari tersenyum-senyum.
Pak Edi tampak penasaran dan heran dengan ucapan sang Istri. "Kok, bisa. Kan dia jarang keluar rumah?"
"Iya, orangnya jarang keluar rumah. Tapi diam-diam ada yang suka dan mencintai anak kita," terang Bu Ratna yakin dengan dugaannya.
"Siapa, Bu?" Pak Edi meluruskan pandangannya ke wajah sang Istri.
"Tadi, ada Aisyah ke sini, dia memberikan sesuatu untuk Ganjar," ungkap Bu Ratna dengan lirihnya.
"Oh, pantas saja, Ganjar wajahnya berbinar-binar." Pak Edi tertawa kecil.
***
Selesai mandi, Ganjar langsung berwudlu untuk segera melaksanakan Salat Zuhur. Sementara kedua orang tuanya sudah lebih dulu melaksanakan salat, mereka sedang berbincang di pertengahan rumah. Usai salat Ganjar keluar kamar dan menghampiri kedua orang tuanya, Ganjar langsung duduk di samping sang Ibu. "Aisyah memberikan kamu apa, Nak?" tanya Bu Ratna memandang wajah putranya.
"Sajadah, Bu" jawab Ganjar lirih.
"Seandainya, kamu jadi kekasih Aisyah. Ibu dan Bapak setuju, Nak," seloroh Bu Ratna.
Ganjar hanya tersenyum, ia hanya menyimak apa yang dikatakan oleh ibunya itu. "Menurut Bapak sih, kamu jadikan calon istri saja" timpal Pak Edi mendukung ucapan istrinya tersebut.
"Bapak ada-ada saja, belum tentu Aisyah itu suka kepada Ganjar." Ganjar sedikit tersipu dengan ucapan kedua orang tuanya itu.
Sejatinya, Ganjar memang menginginkan dan berniat untuk menjadikan Aisyah itu sebagai tambatana hatinya. Namun, semua belum ada kepastian, karena Ganjar belum tahu perasaan Aisyah yang sesungguhnya. "Bapak harap kamu bisa memperjuangkan, agar Aisyah luluh kepangkuanmu!" saran Pak Edi penuh dukungan.
Pak Edi dan Bu Ratna, terus-menerus memberikan dukungan kepada putra semata wayangnya itu, sesekali terdengar gelak tawa di antara mereka. Ganjar hanya tersenyum-senyum menyimak perbincangan kedua orangtuanya itu.
* * *
Minggu pagi sekitar pukul 08:00, Ganjar sedang rebahan di sebuah kursi panjang yang ada di beranda kediamannya. Hari itu, ia sengaja tidak berangkat ke ladang, karena Ganjar sedang menunggu Aisyah. Seperti apa yang ditulis Aisyah di secarik kertas beberapa hari yang lalu, bahwa hari itu ia akan berkunjung ke kediaman Ganjar.
Beberapa saat kemudian, tampak dari kejauhan sebuah mobil sedan warna merah, melaju dengan kecepatan rendah memasuki halaman rumah dan berhenti tepat di depan beranda rumah tempat Ganjar sedang merebahkan tubuhnya, lalu Ganjar bangkit bola matanya terus mengamati mobil tersebut. Seorang gadis berkacamata dengan balutan busana Muslimah dengan mengenakan kerudung, terlihat cantik dan anggun dengan gaya pakaian Muslimah yang trendi. Ganjar sangat bahagia melihat kedatangan gadis tersebut yang sedari tadi ia nantikan di beranda kediamanya itu.
Dengan lirih Aisyah mengucap salam.
"Assalamualaikum," lembut menggetarkan hati dan jiwa Ganjar, Ganjar tampak semringah balas menjawab ucapan dalam tersebut penuh kelembutan. "Wa'alaikum salam." Ganjar melontarkan senyum ke arah gadis tersebut.
Sontak Aisyah membalas dengan senyum manisnya, empat mata beradu tatapan saling menebar kebahagian jelas terlihat dari raut wajah keduanya. "Apa kabar, Jar?" sapa Aisyah dengan suara lembutnya, mengulurkan tangan seraya mengajak bersalaman.
"Alhamdulillah, baik , Ay," jawab Ganjar meraih uluran tangan dari Aisyah.
Getaran-getaran cintapun bergejolak di antara keduanya saat telapak tangan mereka saling bersentuhan. Terlihat di antara keduanya saling mengamati satu sama lain.
"Silahkan duduk, Ay!" ucap Ganjar mempersilahkan Aisyah untuk duduk. Seperti janzi Aisyah yang tertulis di secarik kertas waktu itu, hari Minggu ia akan datang, Aisyah menepati janjinya. Dua sejoli kembali dipertemukan setelah sekian lama mereka terpisah.
"Kamu mau minum apa, Ay?" Ganjar bertanya dengan lirihnya.
"Tidak usah, Jar!" jawab Aisyah dengan meraih plastik kresek putih yang ia bawa. "Aku tadi mampir di mini market, sekalian beli minuman dan sedikit makanan untuk Ibu dan Bapak," sambung Aisyah mengeluarkan dua botol minuman dingin dan beberapa kaleng biskuit dan makanan ringan lainnya untuk ia berikan kepada orang tua Ganjar.
"Yang ini, untuk orang tua kamu ya, Jar!" Aisyah memisahkan bingkisan beberapa makanan ringan dalam kemasan kaleng ukuran sedang.
"Iya, Ay. Terima kasih banyak." Ganjar tampak bahagia menatap biasa wajah cantik gadis berkerudung yang duduk di sampingnya itu
"Tidak apa-apa, lagipula tidak setiap hari aku ke sini," jawab Aisyah.
"Ngomong-ngomong, kedua orang tuamu pada ke mana, Jar. Perasaan sepi?" sambung Aisyah menengok ke dalam rumah yang pintunya terbuka.
"Ibu dan Bapak sedang ke rumah kerabat di kampung sebelah," jawab Ganjar tak hentinya menatap wajah Aisyah.
Antara Ganjar dan Aisyah tampak begitu akrab, mereka tidak merasa kaku meskipun dalam empat tahun terakhir tidak dipertemukan. Ganjar dan Aisyah saling bercerita dengan diwarnai senda gurau, mengenang masa lalu ketika mereka masih duduk di bangku sekolah lanjutan tingkat atas.
Tidak terasa hari sudah semakin siang, Aisyah bangkit dan menghela napas panjang.