Mata Bening terpejam di antara nafasnya yang terengah-engah akibat ciummanku. Desahan ringan yang lolos dari bibirnya membuat aku semakin bergelora. Aku meraup oksigen dari kemanisan bibirnya. Menatapnya lekat-lekat. Bibirnya membengkak dan aku mengusap sisa salivaku di bibirnya.
Bening membuka matanya. Kemudian ia menyadari pakaiannya yang sudah tak karuan akibat ulahku. Tinggal beberapa langkah lagi aku bisa menikmatinya.
Tanpa melepas diri untuk tetap mengungkungnya di bawahku, aku menatapnya dengan kabut gairah di mataku. Rasanya sangat gerah. Ingin aku melempar seluruh kain yang melekat pada tubuhku dan tubuhnya.
Awalnya jas yang aku kenakan, aku melemparnya sembarangan. Sialnya, aku memakai sweater turtleneck yang membuatku semakin sesak untuk bernafas. Jika memakai kemeja, mungkin saat ini aku sudah melepas beberapa kancingnya.
"Apa boleh?" Tanganku memegang kancing celana jeans yang ia kenakan. Meminta izin untuk membukanya dan mencari titik sensitifnya.
Bening menggeleng. Aku merasa kecewa sehingga kuputuskan untuk beranjak dari tubuhnya. Namun, kemudian ia menahan tanganku. Aku menahan diri supaya tidak menyeringai di hadapannya. Akal serta tubuhnya sepertinya bertolak belakang. Aku tau, Bening juga menginginkannya.
"Mas, sebaiknya kita pulang. Mama sama papa nanti mencari kita. Aku mau ke toilet dulu." Segera ia turun dari meja dan merapikan pakaiannya. Ia juga manyampirkan jasku di kursi.
Tanpa bisa dicegah aku menatap punggungnya yang menghilang ke dalam pintu menuju ruangan yang sebelumnya belum pernah aku masuki.
Aku mengusap wajahku dengan gusar. Hasrat yang sudah memuncak tak bisa aku kendalikan. Apalagi keadaan yang sudah straight ini sulit sekali untuk diredakan. Bayangan akan kehangatan tubuh serta mulus kulitnya masih sangat terasa di telapak tanganku.
Segera, aku melangkah cepat untuk mengikuti istriku. Tak peduli lagi setan apa yang menguasai. Saat ini yang aku butuhkan adalah pelepasan dan memilikinya.
***
Bening keluar dari dalam toilet ketika aku dengan sabar menungguinya. Rupanya ia mandi. Melihat betapa segarnya dirinya saat keluar, membuat gairahku semakin memuncak.
Awalnya ia berjingkat karena melihatku yang berdiri menunggunya di depan pintu toilet. Seolah tak peduli, kemudian ia melewatiku dengan acuh sambil menggosok-gosokkan handuk ke rambutnya yang basah.
Dongkol? Tentu saja. Hei, kau mengabaikanku? Suamimu sendiri? Tak tahukah dirimu berapa banyak wanita yang berlari dan rela menjerumuskan tubuhnya demi ingin mendapatkanku? Ya...walaupun berujung dengan ditinggalkannya para wanita sialan itu yang mengira aku tidak normal karena si junior tak bisa bangun.
Ah, Bening tak boleh mengetahuinya. Ia tak boleh mengetahui jika aku hampir saja kehilangan keperkasaanku. Itu akan sangat memalukan!
Tapi, lihatlah ini, Sayang! Gara-gara kamu, si junior ini masih saja tak mau tidur kembali dengan nyaman seperti biasanya. Bukankah, kamu harus bertanggung jawab?
Aku mengikuti istriku masuk ke sebuah ruangan yang kurasa bagian dari belakang toko ini. Apa ini sebuah rumah?
Ah ya, apa kini aku akan berhadapan dengan Mario dan keluarganya? Mengingat waktu itu kami datang ke mari untuk mengambil barang-barang Bening.
Tunggu, ruangan dan bentuk rumahnya hampir mirip. Tapi, jelas ini bukan rumah yang dulu aku dan Bening kunjungi. Ini rumah siapa? Jelas-jelas ini menyambung dengan toko. Sedangkan rumah waktu itu...
"Ini rumahku. Rumah peninggalan orang tuaku." Bening menyahut seolah menjawab segala pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku. Kemudian ia menoleh dengan tersenyum. "Rumah tante Lily dan Bang Iyo ada di blok sebelah. Jadi keseluruhan rumah di komplek ini hampir mirip. Kebetulan, rumah ini berada dekat ujung jalan dan tanahnya luas sehingga rumah ini disambung ke toko," jelasnya kemudian.
"Keluarga tante Lily sengaja berpindah tempat tinggal ke daerah sini hanya karena ingin berdekatan denganku. Untuk menjaga dan merawatku. Waktu kecil aku memang tinggal di rumah mereka, tapi setelah SMA aku memutuskan untuk mandiri. Dan meneruskan usaha yang dulu bunda rintis. Sebelumnya Tante Lily yang mengelola dan aku membantunya. Tapi toko kue ini milik bundaku," ceritanya lagi. "Lilyana adalah nama bunda. Sedang tante Lily ya Lily saja."
Aku masih dalam diam mendengar semua ceritanya. Sungguh cerita yang dramatis. Seberapa tegar dirinya yang kehilangan orang tuanya sejak kecil? Perempuan di depanku ini, seharusnya aku bersyukur karena di usiaku sampai saat ini masih diberi kesempatan untuk bisa melihat orang tuaku lebih lama. Dan aku sebagai orang yang lebih tua, sebagai suaminya, seharusnya aku menjaganya, bukan?
"Ayok, mau pulang sekarang?" Ajaknya dengan tersenyum.
Aku tersadar, ini kamarnya. Kamar bernuansa feminim dan sangat terawat. Terkesan berantakan karena banyak sekali foto-foto yang ia pajang di dinding dan meja belajarnya. Buku-buku dan boneka juga masih terpajang rapi di tempatnya. Dan...kamar ini begitu wangi. Walau begitu, semuanya tertata dengan rapi dan indah. Kamarnya membuat siapapun yang singgah ingin terus berlama-lama di sini. Apa begini kamar cewek?
Mengenai foto, aku mengepalkan tanganku. Foto itu mendominasi kebersamaannya dengan Mario. Berdekatan dan...mesra?
Apa ada kakak dan adik bersikap mesra seperti itu?
"Apa bang Iyo-mu itu sering ke mari?" Tanyaku menahan sikap impulsif yang tiba-tiba menggelayuti.
"Lumayan sering. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Kadang ia juga menginap di sini," jawabnya polos.
Sungguh istri gak peka. Apa ia berucap karena baginya, Mario adalah kakaknya?
"Lalu kalian tidur bersama di sini?" Pekikku tak percaya, Bening mengangguk kemudian. Membuat aku hilang kendali lagi.
"Tidur di sini? Di kasur yang sama?" Aku menyergap tubuhnya. Menelusuri keseluruhan dirinya. Menarik pingganggnya dengan sikap yang possesif.
"Kalo begitu, aku juga mau tidur di sini, di kasur ini. Bersamamu, menidurimu!" Aku menggesek-gesekkan bibirku di kelembutan bibirnya.
"Agar jejak Mario takkan membekas di tempat tidurmu. Digantikan denganku agar kamu bisa merasakan aromaku, di tempat tidurmu..."
"Mas, maksudku--"
"Ssst...tadi aku menahan diri karena aku tak ingin bercinta dan melakukan malam pertama kita di atas meja yang tentu saja bisa lebih menyakitimu. Itu bisa kita lakukan, nanti. Jika kamu sudah pintar membuatku senang. Tapi sekarang, kita berada di dalam kamar, bukan?" masih berbisik, aku menggodanya dengan penuh maksud. Aku mendekapnya semakin erat tanpa mau menjauhkan jangkauan nafasnya yang tersendat karena menahan deru nafasku pada wajahnya.
"Aku menginginkamu. Tak tahukah kamu, jika sedari tadi aku menahannya? Bolehkah?" Tanganku menyusup ke belakang celana jeansnya. Merasakan kehangatan di baliknya.
Bening berjingkat dan hendak melepaskan tanganku. Namun, aku bergeming dan keras kepala tak ingin ia menjauhiku lagi.
Aku menenggelamkan wajahku di ceruk lehernya. Menghirup aroma shampo pada rambutnya yang masih basah. Lalu mengecup sisi lehernya, mengisap dan menggigitnya hingga tanda kepemilikan itu lebih nampak lagi.
Tubuh Bening bergetar. Sepertinya ia tak bisa menopang kakinya dengan benar. Aku menahan dirinya yang hampir jatuh. Dan benar saja, ia terlihat lunglai akibat ulahku.
Tak bisa menahan diri lebih lama lagi, aku membenamkan kembali bibirku pada bibirnya. Memagutnya dalam dan begitu menuntut. Apalagi di depanku saat ini terlihat jelas foto kebersamaannya dengan Mario. Aku menangkis foto-foto itu dengan sebelah tanganku yang bebas tanpa melepaskan pagutanku. Aku melangkahkan kakiku mengajaknya ke sana ke mari demi menyingkirkan foto-foto yang menggangguku.
Ruang kamarnya menjadi berantakan akibat foto yang berserakan. Aku tak peduli. Yang penting saat ini foto itu tak mengganggu penglihatanku ketika kami akan bercinta saat ini. Aku menggiringnya ke atas tempat tidur. Dan dalam sekejap kami sudah melepaskan kain yang melekat satu-satunya pada tubuh kami. Lebih tepatnya aku yang melepaskannya, dengan susah payah. Karena si junior sudah tak sabar ingin segera keluar dari tempat yang menyesakkannya.
Oh, aku bisa gila! Melihat tubuhnya yang polos membuatku semakin tak terkendali.
"Bolehkah?" Tanyaku sekali lagi. Memastikan istriku mengizinkannya dan menerimaku.
Bening mengangguk perlahan. Kesempatan ini tak ingin aku sia-siakan. Kabut gairah sudah memenuhi mata kami. Perlahan aku memasukkan masa depanku ini pada kesempitan yang tak terduga sama sekali. Aku berusaha membelahnya di bawah sana. Sulit dan merasa tertantang. Tapi...ini sungguh nikmat sekali.
Ada setetes air mata di sudut matanya ketika aku mulai memasukinya. Aku mengusapnya dengan ibu jari, kemudian menciumm bibirnya agar ia rileks. Ohh...benar-benar nikmat sekali. Lebih nikmat dibanding bersama Erina dulu.
Cukup lama kami bergumul dalam percintaan panas yang kami lakukan. Hingga puncak itu datang. Aku memacunya dengan cepat dan seolah tak ingin berakhir aku berusaha menahan yang tak bisa kutahan. Pada akhirnya, kami saling melepaskan kenikmatan yang luar biasa ini. Nikmat Tuhan yang hakiki untuk pasangan halal seperti kami.
Aku berguling di sebelah tubuhnya. Mengatur nafas yang melegakan. Kemudian aku memandang wajahnya. Matanya terpejam dan ia masih mengatur nafasnya. Aku mengecup keningnya yang penuh dengan keringat.
Tubuhnya menegang ketika aku mengelap cairan yang bercampur bercak merah yang berada di area selangkangannya. Apa ini yang disebut dengan keperawanan? Mengapa aku merasa senang dan bangga mengetahui jika istri yang aku nikahi itu masih begitu suci?
"Apa ini menyakitkan? Maafkan aku. Dan..terima kasih..." bisikku penuh rasa syukur.
Aku mengecup bibirnya. Oh, junior, begitu saja kau bangkit lagi?!
Aku kembali mengecup bibirnya, hingga kecupan-kecupan itu berubah menjadi lummatan dan sessapan.
Percintaan itu terulang kembali. Aku menikmati pergumulan kami sepanjang malam. Seakan ini memenuhi rasa lapar dan dahaga yang terpendam. Aku menikmatinya hingga batas di mana istriku meringkuk tak berdaya di bawah kungkunganku.
Matanya terpejam dan aku putuskan mengakhiri percintaan yang kesekian kalinya dengan melakukan gerakan cepat untuk pelepasan.
Berkali-kali, aku tak henti-hentinya bersyukur akan nikmat yang Tuhan berikan.
Aku mengecupnya lagi dan lagi. Mengabsen seluruh wajahnya. Hingga pada akhirnya akupun ikut terlelap di dalam kehangatan tubuhnya yang lengket, bergelung dalam dekapanku.
Aku, menyayangimu...
Tanpa sadar aku mengucapkan rasa sayang itu berkali-kali dalam syukurku. Rasa sayang yang entah sejak kapan muncul dalam hatiku.
Hari ini, malam ini tepatnya. Setelah sekian lama, aku merasa menjadi pria yang paling sempurna dalam hidupku. Semoga kebahagiaan selalu melengkapi hari-hari yang kami jalani. Aku putuskan, aku akan menjadi suami seutuhnya untuk istriku. Istri yang lama-lama aku sayangi dan mungkin aku cintai setelahnya.
***
EPILOG
Mengguyur seluruh tubuhku adalah hal di mana aku harus mewaraskan kembali akal sehatku ketika tadi Mas Aslam mencoba meminta haknya. Dan kali ini aku tak berdaya.
Malam ini, aku menyerahkan hal yang paling berharga dan aku jaga selama ini. Awalnya aku takut, takut jika Mas Aslam meninggalkanku setelah ini. Dan aku takut, akibat ini dia menjadi buruk di mata Erina, kekasihnya.
Sentuhan Mas Aslam mematikanku. Akal sehat dan tubuh ini seolah bertentangan. Tak munafik, aku menginginkannya. Lagipula, tak apa bukan? Toh, kami sudah sah dan halal.
Aku merasa lelah setelah Mas Aslam melakukannya berkali-kali seolah tak ada puasnya. Sebagai istri yang berbakti, aku harus menerimanya, bukan? Tapi sungguh, tubuhku terasa remuk sekali.
Lakukan! Lakukanlah sesukamu! Aku mengantuk dan ingin tidur!
Mas Aslam...entah sejak kapan perasaan sayang ini tumbuh tanpa bisa dicegah.