Bening membuka matanya di pagi hari setelah ia tak sadarkan diri sejak kemarin sore. Aku yang tak bisa tidur karena menunggunya, benar-benar merasa lega ketika mata itu terbuka.
"Sayang..." Aku menggenggam erat telapak tangannya yang bebas dari jarum infus. Mencium punggung tangannya bertubi-tubi sebagai rasa syukurku.
Bening mengerjapkan mata berkali-kali untuk mengumpulkan kesadarannya. Hingga senyuman terbit dari bibirnya.
"Aku tidurnya lama banget, ya?" ucapnya parau.
"Kenapa aku berakhir di sini? Udah aku bilang kan, aku gak mau ke sini. Aku baik-baik aja..." lanjutnya kemudian.
"Baik-baik aja apanya kalo kamu sampai pingsan begitu? Dan...tanganmu, Yank. Tanganmu, yang terdapat pen..." Rasa kesal karena kekeraskepalaan istriku tak bisa membuatku melanjutkan kata-kata.
Aku berusaha selembut mungkin berbicara padanya karena tak setega itu memarahinya di saat ia baru saja tersadar.
"Ah...apa dokter mengoperasi lenganku ini?" Mengangkat lengan tangannya yang sudah di gips. Sepertinya luka itu bukan hal yang parah, istriku malah bersikap santai.
"Tidak." Aku menggeleng.
"Dokter hanya membenarkan posisinya saja. Pennya bergeser. Dan itu disebabkan karena kamu terlalu banyak bekerja dan Byan yang menarikmu dengan keras," jelasku kemudian dengan nada tak enak di ujung pembicaraan.
"Anak sekecil itu kuat juga ternyata," lirihnya dengan tersenyum dan tanpa penyesalan.
Aku tak bermaksud menyalahkan Byan. Tapi sikapnya yang possesif terhadap istriku, yang seolah Bening adalah ibunya membuatku muak. Apalagi mengingat jika Rudy yang dengan berani menyentuhkan tangannya pada tubuh istriku.
Aku mengepalkan tangan lalu mengalihkan pandanganku agar Bening tidak melihat kemurkaan yang terpancar dari raut wajahku.
"Mas, jangan nyalahin Byan." Telapak tangannya yang dingin menangkup tanganku yang terkepal.
"Jangan menyalahkan dia dan juga ayahnya, karena ini memang udah waktunya aja aku sakit. Bahkan sebelum mereka datang, aku memang udah sakit, kan? Maafin aku..."
Aku menatapnya dengan tatapan murka, merasa sebal karena Bening terus saja membela mereka. Namun, senyuman di wajahnya yang pucat melelehkan hatiku. Dan entah mengapa setiap kali melihat wajah ayunya, senyum manisnya, hatiku selalu saja menjadi mellow. Aku ingin menangis, tapi tak mengerti mengapa aku ingin menangis.
"Maafin aku karena selalu merepotkan Mas Aslam. Dan...maafin aku karena belum bisa jadi istri yang patuh dan selalu membantah Mas Aslam. Maafin aku yang keras kepala dan sok kuat ini."
Aku menggenggam telapak tangannya. Matanya berkaca-kaca. Ingin rasanya aku mendekap erat dirinya saat ini jika ia sedang tidak berbaring. Yang bisa kulakukan sekarang adalah mengecup punggung tangannya kembali dengan bertubi-tubi. Menyalurkan kehangatan pada telapak tangannya yang dingin. Tak lupa aku mengecup kening dan juga bibirnya.
"Jangan pernah bicara seperti itu lagi," lirihku di depan wajahnya. Bening mengangguk.
Aku mengusap setetes cairan yang mengalir di sudut matanya. "Maafin mas juga yang selalu membuat kamu tertekan."
Bening menggeleng, "Aku yang salah...Mas, aku haus," pintanya kemudian yang segera kuambilkan dan kuberikan padanya.
Aku membantunya untuk duduk dengan beralaskan bantal di punggungnya. Kemudian ia minum dalam sekali tegukan.
"Apa kamu mau makan?" menunjuk catering makanan yang disediakan rumah sakit dengan daguku.
Sekilas, Bening melirik. Dari tatapannya yang memucat, kurasa ia tak berselera.
"Mau mas belikan bubur yang enak?" Tawarku membuat matanya berbinar.
"Mau mau mau," angguknya dengan antusias. "Rasanya enak kalo makan seblak campur level 10. Suegerrr kayaknya, deh. Ditambah minumannya milky boba rasa coklat. Aww!" Kusentil keningnya karena membayangkan apa yang ia inginkan.
"Apa kamu pengen cepet mati? Kamu masih demam gini." Mengecek suhu tubuhnya.
"Hehe...kan' Mas yang nawarin tadi pengen makanan yang enak."
"Mas kan' nawarin bubur yang enak. Bukan makanan yang lain!"
"Iya...iya...tapi kan' gak ampe mati juga kali Mas kalo beneran aku makan sama minum yang tadi..."
"Ya...takdir Allah siapa yang tau."
"Mas ngedoa'in aku kayak gitu?"
"Ya gak gitu juga, Yank..Abisnya kamu ini ada-ada aja."
"Ih, nyebelin banget ngomongnya! Tapi seriusan sakit banget ini, Mas..." cebiknya mengusap dahinya yang kusentil tadi.
Aku mengusap keningnya yang memerah lalu mengecupnya, "Maaf. Tunggu di sini, Mas mau cari sarapan dulu. Sekalian beliin bubur yang enak buat kamu."
"Lho? Mas belom sarapan juga?"
Aku mengangguk, "Gimana mau sarapan, Mas cemas kamu belum bangun-bangun," mengusap pipinya dengan sayang.
"Kasian banget tuami aku..." membalas mengusap pipiku dengan tangan dinginnya.
"Ya udah, Mas pergi dulu. Kamu gakpapa kan' Mas tinggal sendiri?"
"Hm. Jangan lama-lama."
"Kamu gak mau mas tinggalin, ya?"
"Iwyuhh...Mas kali yang gak mau jauh-jauh dari aku..." jengahnya, kemudian kami tertawa.
Memang iya, aku gak mau jauh-jauh darinya saat ini.
Seseorang membuka pintu dengan cukup kasar. Hampir seperti mendobraknya. Membuat aku dan Bening berjingkat karena kaget.
"Bey! Bey, kamu gakpapa, kan?" Mario berlari, memeluk istriku dengan cemas.
Hei! Dia istriku!
"Bang Iyo? Aku gakpapa Bang..." Membalas pelukan Mario.
Hei, apa yang kamu lakuin, Yank? Mas aja tadi menahan diri supaya gak meluk kamu karena kalo meluk, mas gakkan lepasin kamu. Ups!
Tapi, apa ini? Kamu memeluk pria lain di depan suamimu sendiri?
"Gakpapa gimana? Kalo kamu gakpapa, gak mungkin masuk rumah sakit? Apanya yang sakit, hm? Kenapa bisa pingsan, sih? Liat nih, tangan kamu kenapa? Kamu mengangkat sesuatu yang berat? Badan kamu juga masih panas gini." Bertubi-tubi, Mario membombardir pertanyaan dengan cemas. Tangannya tak lepas menyentuh istriku. Ckckck...
Tak bisa kupungkiri, rasa sayang yang Mario tunjukkan memang tulus. Aku bisa melihat bagaimana perasaan Mario saat ini. Ya, walaupun kesal karena aku seperti makhluk yang terabaikan, aku harus menahan diriku.
Tapi jangan lupakan jika aku suami sah dari perempuan yang sedang kamu cemasi dan kamu pegang erat telapak tangannya itu, Yo!
"Ehem." Aku berdehem mencemari suasana syahdu antara kakak beradik angkat itu.
"Lam, sorry, gue cuma khawatir aja. Gue benar-benar cemas pas denger Cibey masuk rumah sakit kemarin sore. Gue udah nahan diri, tapi gak bisa untuk pagi ini," jelasnya, membuat raut wajah Bening menjadi sendu di belakangnya.
"Oh ya, mama dan papa juga sedang menuju ke mari," tuturnya berbalik menatap Bening.
"Abang gak bareng mereka?" Bening bersikap riang.
"Iya, tadi Abang sempat pergi ke kantor dulu. Trus..." Mario terjeda, merasa tak enak.
"Wah, aku jadi ngerepotin semuanya. Padahal Abang jangan kasitau tante sama om soal ini." Bening berusaha mencairkan suasana.
"Mereka harus tau, Bey. Walau gimanapun mereka berhak tau apa yang sedang menimpa kamu."
"Iya...tapi jadi ngerepotin..."
"Gak ada yang merepotkan demi kamu, Bey..."
"Ehem," aku berdehem lagi, menginterupsi kegiatan mereka yang sebenarnya menggangguku.
"Mas beli makanan dulu ya, Yank." sengaja, aku mencium puncak kepala istriku lalu mengusap lembut rambutnya di depan Mario dengan sikap yang defensif.
"Yo, gue minta tolong jagain istri gue bentar. Gue ke depan dulu," pintaku yang diangguki Mario.
"Lo mau titip sesuatu, gak?"
"Gak usah, Lam."
"Oke, tolong jagain bini gue bentar, ya," pamitku kemudian. Walau sebenarnya merasa berat.
***
Setelah kepergian Aslam, dokter datang bersamaan dengan suster untuk memeriksa keadaan Bening. Dokter Baskoro, dokter paruh baya yang dulu menangani patah tulang saat Bening kecelakaan tahun lalu. Dan sekarang, dokter Baskoro memeriksa kembali perkembangan tulang lengan Bening yang sedikit bergeser akibat tarikan kuat dari Byan dan banyak mengerjakan orderan cake dan bunga yang membanjir akhir-akhir ini.
"Cibey baik-baik aja kan, Dok?" Tanya Mario ketika dokter Baskoro selesai memeriksa keadaan Bening.
"Untungnya cedera di lengannya tak begitu parah. Walau begitu, tetap saja kamu harus menjaga lenganmu. Kamu tau sendiri kan' kalo tanganmu saat ini istimewa, Nak?" dokter Baskoro menatap Bening dengan tersenyum.
"Demamnya terjadi karena kamu terlalu memporsir dirimu. Dan...dari hasil lab ditemukan jika saat ini ada yang sedang bertumbuh di dalam rahimmu," jelas dokter Baskoro dengan tersenyum.
"Bertumbuh di rahimku?" Bening membeo.
"Selamat ya, Mbak. Anda akan menjadi ibu," sahut sang suster. menjelaskan maksudnya.
"S-saya hamil, Dok?" Bening tak percaya.
"Ya, dari hasil lab menerangkan mungkin saat ini kurang lebih usia kandungannya lima minggu," terang dokter Baskoro.
"Untuk lebih jelasnya, kamu bisa baca hasil lab ini." Menyodorkan amplop map berlogo rumah sakit kepada Bening.
"Dan kamu bisa memastikannya kembali pada dokter spesialis kandungan."
Dengan gemetar Bening menerima amplop itu lalu mengeluarkan isinya. "A-aku benar-benar hamil?" Lirihnya tak percaya.
Sama halnya dengan Bening yang merasa terkesiap saat mengetahui kabar yang sebenarnya mengembirakan, Mario yang saat itu berada di dekatnya merasakan hal yang sama. Bahkan hatinya benar-benar kecewa karena pupus sudah harapannya. Bening adiknya, perempuan yang ia cintai, memang bukan untuk dia miliki.
"Apa...mas Aslam mengetahuinya? Maksudku apa suami saya sudah tau, Dok?" tanya Bening.
"Belum. Saya berniat memberitahunya karena saya kira suamimu ada di sini. Seharusnya ini kabar yang_"
"Jangan beritahu dia!" Bening menyela. Memungkas rangkaian kata yang hendak diucapkan dokter Baskoro.
"Tolong jangan beritahu suamiku," mohonnya kemudian.
"Lho, kenapa?" dokter Baskoro mengening.
"Maksudku, biar aku yang mengatakannya sendiri, nanti. Aku mau beri kejutan padanya," pintanya beralasan dan diangguki dokter Baskoro.
"Kapan adik saya bisa pulang, Dok?" Tanya Mario.
"Saya sarankan tiga hari ini untuk dirawat di sini. Mengingat kondisi Nak Bening masih sangat lemah," saran dokter Baskoro.
"Tidak bisakah pulang sore ini?" Bening memelas.
"Kamu harus pulihkan kondisimu, Nak," tegas dokter Baskoro.
"Baiklah..." Pasrahnya kemudian.
Tak lama kemudian dokter Baskoro pamit beserta suster asistennya.
"Bang, tolong jangan beritahu mas Aslam kalo aku hamil. Aku mau kasih kejutan untuknya," mohonnya kali ini pada Mario yang masih enggan percaya akan apa yang tadi didengarnya.
"Y-ya." Mario mengangguk.
Tak lama kemudian, Aslam tiba dengan membawa beberapa bungkusan makanan di tangannya. Beserta orang tua Mario yang menyusul masuk kemudian.
***
Dua hari kemudian...
"Mas, aku ingin pulang..."
Ini sudah yang kesekian kalinya Bening merengek hanya ingin pulang. Setelah kutahu dari Mario bahwa dokter yang menangani istriku menyarankan agar dirawat di rumah sakit selama tiga hari, aku memutuskan untuk menaati peraturan yang sudah ditetapkan oleh sang dokter.
Namun, di hari pertama, sore harinya, Bening terus-terusan merajuk dan merengek hanya ingin segera pulang. Dan ini, sudah hari kedua dirinya dirawat. Sudah tak terhitung berapa banyak rengekan ingin pulangnya.
Kalau boleh memilih, aku juga ingin merawat istriku di rumah saja. Namun, jika di rumah belum tentu terjamin kualitas perawatannya seperti yang diberikan rumah sakit padanya. Ruang VIP rumah sakit ini cukup membantu memungkinkan kita melakukan apapun yang kita inginkan tanpa gangguan apapun juga. Dan menurutku, ruang VIP ini cukup nyaman.
"Tetap aja lebih nyaman di rumah sendiri. Walau ini kamar VIP ato VVIP sekalipun, ini tuh rumah sakit. Dan aku gak suka baunya," celetuk Bening dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. Ia memalingkan muka dan mencebik kesal karena aku tak menggubris keinginannya.
Dan lagi-lagi, kenapa ia tau apa yang sedang aku pikirkan? Padahal aku tak membahas soal kamar VIP ini padanya.
"Sabar ya, Sayang. Sehari lagi besok, kok. Kamu kan tau sendiri dokter bilang apa untuk memulihkan kondisimu? Dan ini coba kamu rasakan, badan kamu tuh masih anget," bujukku dengan suara lembut dan bersabar menghadapinya.
Ya, suhu badannya memang masih terasa hangat. Terkadang, di tengah malam suhunya bisa tinggi dengan tiba-tiba hingga membuatnya menggigil kedinginan. Aku sudah meminta agar istriku diperiksa lebih teliti akan apa penyakitnya yang sebenarnya. Namun, Bening bersikeras jika ia baik-baik saja. Dokter bahkan tidak memberi tindakan lebih lanjut lagi dan malah berpendapat sama seperti yang istriku bilang - baik-baik saja.
Baik-baik saja dari mananya, coba?
Bahkan, kerap kali istriku muntah di pagi hari atau mencium sesuatu yang menurutnya bau.
Seperti sekarang, memakai parfum adalah larangan mutlak baginya saat ini. Aku hanya diperbolehkan memakai minyak telon, minyak kayu putih atau parfum yang berbau bayi.