Chereads / Menikahi Bening / Chapter 39 - Slow But Sure

Chapter 39 - Slow But Sure

Skip yang masih di bawah umur ya!

Aku mengejar Bening yang berjalan dengan tergesa-gesa memasuki rumah. Ia terburu-buru tanpa sempat aku membantunya untuk turun dari mobil ketika kami sampai di pelataran rumah. Ia pun menanggapi sapaan mbok Narti dengan seperlunya. Tak ada sikap ramah ataupun senyuman ceria seperti biasanya. Dengan cepat ia menaiki anak tangga lalu memasuki kamar. Membanting pintunya dengan cukup keras.

Aku yang biasanya gampang tersulut emosi, melihatnya seperti itu membuat hatiku menciut. Perlahan aku membuka pintu kamar, hal pertama yang aku lihat adalah istriku berbaring dengan meringkuk di tepian tempat tidur.

Matanya terpejam rapat dengan tangannya yang di bebat perban. Kakinya kotor, mungkin dia langsung merebahkan tubuhnya tanpa mempedulikan telapak kakinya yang harus di cuci terlebih dulu.

Apa tubuhnya merasa tak enak sehingga ia kesakitan lagi atau kepalanya terasa pusing sehingga membuat ia ingin cepat-cepat rebahan?

Aku meletakkan plastik obat di atas meja kaca di dalam kamar. Kemudian aku membawa air dalam wadah dan handuk kecil untuk membersihkan telapak kakinya.

Istriku berjingkat ketika aku mengelap kakinya.

"Ah, maaf. Apa mas mengganggu tidurmu?" Merasa tak enak karena membangunkannya.

"Apa yang Mas lakuin?" Ia beranjak dari tidurnya dan langsung terduduk dengan kaki menggantung di atas kasur. Ia menunduk, melihat ke arah kakinya.

"Maaf, aku jorok, ya. Kalo gitu aku cuci kaki dulu. Nanti sepreinya aku cuci, takutnya banyak kuman." Beranjak hendak ke kamar mandi.

"Gak usah." Aku menahannya. "Duduklah dan biar mas saja yang mengelap kakimu. Ke kamar mandi mungkin akan membuat kamu kedinginan. Dan sepreinya gak perlu di cuci. Ini belum kotor. Baru tadi pagi bukan, ini di ganti?" tuturku lembut padanya.

"Apa ada yang terasa sakit?" tanyaku kemudian.

Bening tak menyahut. Ia hanya bergerak untuk mengambil air minum di atas nakas. Aku bergegas dengan cepat membantu menuangkan air lalu memberikan gelas minumnya. Kembali aku berjongkok, meneruskan membersihkan telapak kakinya. Kulihat Bening memperhatikanku. Entah mengapa aku senang ketika diam-diam dipandangi istriku?

Aku menaruh wadah air dan handuk ke kamar mandi setelah selesai membersihkan kakinya. Kemudian mengambil gelasnya yang kosong dari tangan yang ia taruh dalam tangkupannya. Kini, ia tengah duduk berselonjor di atas tempat tidur dan bersandar pada kepala ranjang.

"Kok gelasnya yang di peluk, sih?" Mendudukan diri di sampingnya. Aku bersikap anak kecil manja kepada ibunya.

"Yank, kamu...marah, ya?" Menenggelamkan kepalaku di dadanya sambil memeluknya.

Hening...

Kediamannya membuatku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak membalas pelukan atau meresponku. Aku bagaikan memeluk guling yang kaku. Mengapa hatiku sesedih ini?

"Yank?" Aku mengangkat wajahku lalu menatap wajah istriku yang ternyata sedang menatapku.

Tatapannya sendu dan aku tak bisa membacanya. Antara kekecewaan dan juga binar cinta bersatu dalam manik matanya.

Kemudian ia menatap bibirku. Kali ini ada binar kesedihan dalam matanya.

Wajahnya tertunduk dan semakin dekat. Dan aku pun tak lepas dari bibirnya yang pucat namun manis itu. Teringat kembali ketika Erina mengecup bibirku tadi. Rasanya salah tingkah dan aku sungguh berdosa di hadapan istriku.

Bibirnya dingin, dengan ragu bibir itu melummat bibirku. Aku merasa terkesiap ketika menyadari bibir yang sedang tertanam di bibirku adalah bibir Bening, istriku. Ia mendesakkan dirinya dengan tidak sabar. Ada emosi amarah dalam ciummannya. Menuntut dan sedikit memaksa.

Entah apa yang membuatnya berinisiatif seperti itu?

Aku terlanjur terbuai akan perlakuannya yang secara tiba-tiba itu. Bahkan bayangan ketika Erina mengecup serta memelukku ingin aku singkirkan dari jejak-jejak dosa itu. Dengan gerakan cepat namun hati-hati aku membalas ciummannya. Aku menangkup rahang dan mengelus leher serta daun telinganya dengan sensual. Mendominasi ciummanku padanya yang berujung dengan posisiku berada di atasnya.

Ciumman itu begitu lama. Hingga desahan nafasnya terdengar ketika aku melepas ciummanku. Ia meraup oksigen yang telah habis aku hisap dari kemanisan mulut dan bibirnya. Aku memandang wajahnya, mata kami terselebungi kabut gairah yang sudah bercokol di antara kami.

Aku yang sudah hampir seminggu ini 'berpuasa', rasanya begitu kegirangan seolah mendapatkan sumber mata air untuk memuaskan dahagaku. Dengan melihat kondisinya sekarang tak memungkinkan aku untuk memaksakan kehendakku.

Namun, aku sungguh tak bisa menahannya lebih lama lagi. Bukankah ada cara lain tanpa harus melepas kain yang membebat di tangannya hanya karena aku ingin melepas kain yang membaluti seluruh tubuhnya?

Otak gesrekku benar-benar memikirkan segala macam cara agar aku terpuaskan tanpa harus menyakitinya.

Tanpa ba bi bu lagi, aku kembali meraup bibirnya dengan ciumman lembut namun menuntut. Istriku tak menolaknya. Apa dia sudah tak marah lagi padaku? Apa sekarang tubuhnya sudah sehat lagi?

Masa bodoh! Tak apa jika aku dibilang egois, karena saat ini juga, aku ingin bercinta dengan puas bersama istriku. Salah istriku yang memulai menggodaku lebih dulu :)

Dengan tergesa-gesa dan sedikit tak sabaran, aku menyingkap rok dasternya. Beruntung sekali ia memakai baju itu sehingga aku bisa menyingkapnya melewati paha dan perutnya lalu mendarat hanya sampai bagian favorit yang pas ditanganku. Dan aku bisa menurunkan satu-satunya kain yang menutupi gua kenikmatanku yang sekarang masih terhalang short pants tipisnya. Tak sabar aku melepas kain yang menutupi masa depanku itu. Melemparnya entah di mana.

Aku menunduk dan menikmati miliknya yang menjadi favoritku di bawah sana. Ia mendesah pelan serta tubuhnya mengelinjang, membuatku semakin bersemangat. Setelah pelepasan pertamanya, perlahan dan dengan sekali hentakan aku memasukinya. Menikmati masa-masa 'puasa' yang aku tahan seminguan ini.

Oh, ini sungguh luar biasa!

***

Siang itu, kami terjaga dengan saling memuaskan diri. Tidak, mungkin hanya aku. Karena hanya dengan bercinta dengan istriku membuat aku ingin menghilangkan jejak-jejak Erina dari tubuhku.

Untungnya tak ada Mama yang bisa saja setiap saat membuka pintu dengan tiba-tiba karena aku tidak mengunci pintunya ketika masuk ke dalam kamar.

Akan sungguh memalukan jika Mama melihat tindakan mesum anaknya ini yang sedang menggauli istrinya di saat kondisinya seperti itu.

Aku sungguh gila! Aku menggila!

Berkali-kali aku menaburkan benih ke dalam rahim istriku yang rasanya tak pernah puas. Aku menginginkannya lagi dan lagi. Bak gayung bersambut, istriku tak pernah menolak hasratku yang menggunung padanya. Dengan percintaan yang slow but sure atas permintaannya tak membuat hasratku menyurut.

***

Sore hari ketika aku terbangun setelah percintaan kami tadi siang. Ketukan pintu itu membangunkanku dan membuat aku berdecak sebal. Aku melepas pelukanku pada istriku yang sedang tertidur lelap. Melihatnya sedang tertidur saja membuat yang di bawah sana bangkit kembali. Bagaimana bisa seminggu kemarin aku benar-benar menahannya?

Sekarang, setelah penyatuan kembali, rasanya tak bisa aku tahan-tahan lagi.

Tanganku menjelajah pada bagian bawahnya yang hanya tertutup rok daster yang sedikit tersingkap itu. CD-nya tak sempat dipakai lagi karena rasa lelah membuat kami terbuai ke alam mimpi. Pakaianku bercecer di ujung dan di bawah ranjang. Aku tersenyum akan kelakuanku sendiri. Tapi tak apa, bukan?

Toh, aku bebas melakukannya saat ini. Bahkan saat ini saja aku masih 'polos'.

Ketukan di pintu terdengar lagi. Aku berdecak, rasanya menyebalkan sekali.

"Ada apa, Mbok?" Teriakku dari dalam.

"Maaf, Den ada yang nyariin," teriakan mbok Narti dari luar.

"Siapa?" Teriakku lagi.

"Anu, Den. Itu..." Mbok Narti terdengar ragu.

"Suruh tunggu saja, Bi. Aku akan menemuinya di bawah nanti!" perintahku tak ingin dibantah.

Aku menatap istriku yang masih tertidur pulas. Untungnya teriakanku tidak membangunkannya. Melihatnya terpejam seperti itu saja membuat kabut gairah dalam mataku menutupi akal sehatku.

Aku benar-benar gila! Aku lebih memilih menuntaskan hasratku terlebih dulu yang sudah bergejolak ini daripada harus menemui seseorang yang tak jelas kedatangannya.

"Yank..." Menghidu aroma lehernya. Memberikan gigitan-gitan kecil di leher dan rahangnya sehingga membuat mata Bening mengerjap karena geli yang aku buat.

"Mas..." Suara paraunya terdengar mendesah. Ia menggeser tubuhnya, menghindariku.

Sungguh kesal! Tak suka jika istriku menjauhi atau menolakku. Aku semakin memerangkapnya dalam kungkungan lengan-lenganku.

"M-Mas, bukankah ada tamu yang mencari?" Dia mendengarnya ternyata. Suaranya tercekat tatkala aku semakin liar menggigit titik-titik sensitif di leher dan dadanya yang terekspos. Tak lupa tangan liarku menjelajah dibalik dasternya.

"Mas..."

"Hm..." Tak peduli, aku menyingkap dasternya semakin ke atas. Sungguh risih, ingin kulempar pakaiannya saat ini dan menikmati tubuh polosnya yang merapat pada tubuhku. Menikmati penyatuan kami dengan berguling ke sana ke mari. Namun, keadaan yang tak memungkinkan untuk menahannya. Aku tak setega itu membuat ia terjerat ke dalam fantasi liarku.

Kembali, aku membuat istriku mendesah dan bertukar cairan dengannya.

Sejenak melupakan akan adanya tamu yang datang berkunjung dan menungguiku. Bahkan mengabaikan ketukan di pintu yang ke sekian kalinya oleh mbok Narti.

Hal tak terduga terjadi di saat percintaan kami hampir mencapai klimaksnya. Seseorang membuka lalu mendobrak pintu kamar dengan tak sabar, kemudian menutup pintu dengan membantingnya.

"Honey!"

Sial, Erina masuk ke dalam kamar dan meneriakiku!

Aku menoleh padanya. Dan aku merasa kesal karena pelepasan keduaku hendak keluar. Aku tak peduli Erina memergoki kami yang sedang bercinta. Ada raut emosi yang terpancar dari wajahnya ketika menciduk kami berdua. Ia membalikkan badannya.

Bening menahan serta menjauhkanku yang sedang beraksi di atasnya. Mungkin ia malu. Pliss, Yank. sedikit lagi! Tinggal sedikit lagi sampai aku pecah. Aku menunduk, mendekapnya dengan erat. Memacunya dengan kencang dan sengaja meneriakkan namanya dalam setiap desahan kenikmatanku tak peduli Erina mendengarnya.

"Mas."

Lagi, Bening menahanku. Tatapan matanya yang memohon untuk berhenti karena kesakitan dan kehadiran Erina di dekat kami membuatnya tak nyaman.

Demi apa, hasrat yang sudah di ubun-ubun ini tak ingin berakhir begitu saja tanpa pelepasan.

"Ke-luar..." susah payah aku berucap dibalik desahan kenikmatanku. Aku kesal, Erina masih bergeming di tempat. Bening menahanku lagi, tubuhnya hendak menjauh. Aku menahannya agar ia tetap merasa nyaman.

"AKU BILANG KELUAR! KELUAR DARI KAMAR KAMI SEKARANG JUGA!" Aku berteriak mengusir Erina tanpa melepaskan penyatuan dari tubuh istriku. Teriakanku membuatnya berjingkat lalu terburu-buru keluar dari kamarku dan membanting pintunya.

Aku menatap istriku yang terlihat shock karena teriakanku. Aku tersenyum dan mencoba menenangkannya lalu menikmati penyatuan kami kembali. Setelah beberapa kali ia meringis merasa kesakitan, aku melakukan gerakan pelan seperti yang diinginkannya. Berkali-kali aku dan dirinya melepaskan rasa nikmat dalam penyatuan kami. Terasa hangat dan kami sudah tak mempedulikan betapa basah dan tak karuannya tempat tidur yang kami tempati. Yang penting nikmat dan nikmat.

Bodo amat dengan Erina yang kurasa ia mendengar suara-suara desahan serta teriakan nikmat yang lolos dari bibir kami. Suruh siapa ia dengan kurang ajar menerobos masuk dan kurasa ia masih bergeming di depan pintu kamar pribadi kami.

Hingga puncak itu keluar. Pecah sudah apa yang ada di dalam jiwa. Aku berteriak dengan cukup keras. Rasanya seperti kembang api yang meledak-ledak. Nafas kami terengah. Aku masih berada di atasnya, mengecupi wajah istriku dan berkali-kali mengucap syukur pada-NYA.

***

"Ada apa kalian ke mari?"

Setelah membersihkan diri, aku turun ke bawah. Erina ternyata masih ada, ditemani Frendian mereka duduk di ruang tamu.

Aku melirik ke atas. Bening sedang membersihkan diri. Apa dia bisa mandi dengan kondisi tangannya yang seperti itu?

Erina berdiri, menghampiriku. Tangannya melingkar pada lenganku.

"Rupanya kamu memang masih tetap sama. Tak bisa menahan diri dan kamu melakukannya pada siapa saja?" Erina mengejek.

"Tapi please, Hon. Gak sama pembantu juga, kali. Apalagi kamar itu kelak akan menjadi kamar kita. Dan...lagipula kudengar, kamu gak bisa straight dan on sekeras apapun kamu mencoba. Apa tadi kamu bersikeras memasukkannya tapi nyatanya lunglai? Kamu berteriak tak karuan," lanjutnya terkekeh.

"Karena aku tau, kamu cuma bisa straight kalo sama aku. Ya kan, Hon?"

Aku mengepalkan tangan. Erina salah karena teriakanku tadi adalah teriakan kenikmatan yang tak pernah aku dapatkan saat bersamanya dulu. Aku marah, namun melihat kehadirannya membuatku menjadi goyah. Kedatangannya membuatku dilema ketika melihat wajah Erina seperti ini. Rasa rindu dan benci saling silang bergiliran untuk menggoyahkan hatiku.

***

EPILOG

"Apa ada yang terasa sakit?"

Mas Aslam bertanya lagi. Mungkin dia merasakan perubahan sikapku padanya melebihi seperti biasanya.

Ya, ada Mas. Di sini. Hatiku yang terasa sakit T_T