"Honey, kamu pulang jam berapa hari ini?"
Erina mengantarku sampai ke teras rumah saat aku hendak berangkat kerja. Tangannya bergelayut manja dan terus menempel padaku. Seolah ia tak ingin memberikan celah bagi siapapun untuk mendekatiku. Termasuk Bening.
"Kamu nanti pergi ke toko di antar Pak Maskun aja ya, sayang. Maaf, mas ada janji sama klien pagi ini, jadi gak bisa anterin kamu ke toko." Aku melepas tangan dan mengabaikan pertanyaan Erina. Memilih mendekati istriku sambil mengelusnya rambutnya dengan sayang.
"Iya, Mas. Gakpapa, lagian aku juga belom siap-siap." Menyalim punggung tanganku lalu kukecup keningnya. Hal yang sudah menjadi kebiasaanku.
"Apa...gak sebaiknya kamu istirahat aja di rumah, Yank?" Cemasku.
"Aaah...Mas, aku 'kan udah cukup lama istirahat di rumah. Aku bete kalo di rumah terus..." rengeknya.
"Tapi muka kamu masih pucat, Yank..." Mengapit kedua pipinya dengan tanganku, gemas.
"Mas tadi udah izinin, 'kan? Fix! No berubah pikiran!" Menyilangkan kedua tangannya di dada membentuk huruf X.
"Kapan mas izinin? Kamu yang maksa."
"Ih...Mas..."
"Haha oke...oke..." Memeluknya. "Tapi kamu harus janji, jangan capek-capek. Diam aja."
"Gak janji, hehe..." Kukecup lagi keningnya.
"Tapi beneran deh, Yank. Kamu tuh pucat banget. Bener, kamu gak sakit?" cemasku kemudian.
"Ehem." Lupa, saat ini ada Erina yang menyaksikan interaksi di antara kami. Bening melepaskan pelukanku padanya.
"Bye, Sayang. Mas pergi dulu." Aku pamit pada istriku dan melambaikan tanganku dengan ragu pada Erina yang berdiri di sampingnya.
Aku pergi, dengan hati yang terasa berat. Kenapa aku bersikap egois seperti ini?
Aku bimbang, Erina kembali namun aku tak mau melepaskan istriku sendiri. Jika kalian menyebut aku seorang yang plin-plan, memang benar. Disaat seperti ini apa yang akan kalian lakukan?
Mengingat dulu hubunganku dengan Erina cukup baik bahkan jauh dari pertikaian di antara kami walaupun hubungan yang kami jalani cukup dengan sekedar saling bertukar keringat dan cairan. Hanya moment terakhir ketika dia tega menolak lamaranku dan malah memilih Paris untuk tujuannya.
Dua tahun itu bukanlah waktu yang sebentar untukku melupakan semua apa yang telah kita lalui bersama. Walau dulu aku yang lebih sering bekerja ekstra hanya demi ingin membahagiakan Erina. Terlepas dari itu semua, memang tak mudah melupakan dirinya begitu saja. Masih sangat basah ketika aku berbicara dengan lantang kepada perempuan yang sudah menjadi istriku itu, jika sampai kapanpun, aku hanya menginginkan Erina dan kembali padanya.
Tapi, saat ini perasaanku bimbang. Ke mana seharusnya hatiku berlabuh?
***
"Udah sampai, Non." Pak Maskun mengingatkan Bening ketika mobil yang dikendarainya berhenti tepat di depan toko.
Sesuai intruksi majikannya tadi, Pak Maskun benar-benar mengantarkan Bening pergi ke tokonya.
"Oh, ya, Pak. Makasih." Membuka pintu mobil untuk keluar.
"Bapak tungguin di situ ya, Non." Menunjuk halaman toko untuk tempat parkir.
"Gak usah. Bapak pulang aja. Nanti kalo mau pulang, saya kabarin Bapak."
"Lha, gimana ini, Non. Den Aslam berpesan sama bapak kalau..."
"Gakpapa nanti biar saya yang bilang sama Mas Aslam."
"Tapi Non..."
"Bapak gak usah khawatir. Mas Aslam gak akan marah karena emang saya yang nyuruh."
"Baik kalau gitu, Non. Bapak pamit. Kalau ada apa-apa hubungi bapak."
"Ya, Pak. Makasih."
Pak Maskun pergi. Sejenak Bening menghela nafasnya saat melihat tulisan OPEN di pintu tokonya. Terlihat Yuni berjalan ke sana ke mari mengurusi pelanggan yang cukup ramai datang pagi ini hingga ia tidak menyadari kedatangan Bening yang sedang berdiri memandangnya dari luar.
Baru beberapa langkah Bening melangkahkan kakinya. Suara teriakan anak kecil membuatnya berhenti.
"Byan?" Bening mengerutkan keningnya. "Byan!" Hebohnya merentangkan tangannya ketika melihat anak kecil yang sudah satu minggu ini tidak bertemu.
"Mami!" Menghambur memeluk Bening. "Mami, kenapa baru datang sekarang? Byan kangen. Byan mau ketemu Mami, tapi papih larang-larang Byan buat ketemuin Mami di rumah Om Aslam..." cebiknya mengadu.
"Mami, gak sayang Byan lagi ya..." Byan menangis dengan sedih.
Bening menganggukkan kepala ketika Rudy mendekati mereka. Kemudian ia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Byan.
"Kakak sayang kok sama Byan. Kakak juga kangen...banget sama Byan." Mengelus sayang rambut kepala Byan.
"Kalo kangen dan sayang, kenapa Mami gak pernah mau angkat telpon Byan?" mengusap air matanya.
Bening melirik ke arah Rudy, bertanya dengan isyarat. Kapan memangnya dia menghubunginya?
"Byan, 'kan Mami Bening seminggu kemarin lagi sakit. Jadi, dia gak boleh diganggu." Rudy menengahi.
"Ah ya, sayang. Maafin kakak, ya? Pas Byan telpon kakak lagi tidur. Jadi gak pernah angkat deh," bohong Bening.
"Oke deh. Tapi sekarang Byan seneng. Karena sekarang ketemu Mami!"
"Iya donk...harus senang!" Riang Bening. "Udah ah, anak ganteng gak boleh nangis! Masa anak cowok cengeng..." ledek Bening membersihkan sisa-sisa air mata di wajahnya Byan.
Hati Rudy terenyuh melihat interaksi kedua orang di depannya.
"Wah wah wah... yang maksa pengen pergi ke toko ternyata ada anak yang kangen ketemu maminya." Seseorang tiba-tiba menyahut.
"Mbak Erina?" Bening terlihat kaget. Tak menyangka Erina akan menyusulnya.
"Apa reaksi Aslam jika tau istrinya ternyata berkumpul bersama keluarga kecilnya? Ada anak kecil yang lucu, mami dan...pap...pi."
Menyebalkan! Erina sungguh menyebalkan. Rasanya Bening ingin terus mengumpat saat itu juga. Tapi mengapa ia ingin mengumpat? Hormon kehamilan membuat emosinya labil.
"Rudy? Kamu Rudy, kan?" Erina terkesiap, sama halnya dengan Rudy yang terkesiap saat melihat Erina.
"Erina?" Salah tingkah saat Rudy melihat ke arah Erina dan Bening bergantian.
"Hai, Rud. Apa kabar?" menghambur memeluk Rudy.
"B-baik," tak bisa berkata apa-apa.
"Tante jangan dekat-dekat papih!" Byan menjauhkan Erina dari papinya.
"Cuma mami yang boleh memeluk papih!"
"Byan." Rudy menahan Byan agar tidak berkata lebih lagi.
"Sebaiknya kita bicara di dalam saja," ajak Bening kemudian.
Pintu toko dibuka. Aroma harum serta manis dari kue serta wangi bunga tercium saat pintu itu terbuka. Membuat Yuni dan Iman yang sedang berkutat dengan pekerjaannya menoleh bersamaan ke arah pintu dan mendapati siapa orang berikutnya yang datang.
"Bey!" Seru Iman.
"Mbak Cibey!" Yuni berlari lalu memeluk majikannya itu. "Mbak, gimana keadaannya? Udah sehat betul? Muka Mbak masih pucat gini... seharusnya Mbak istirahat dulu aja ampe sembuh..." Yuni sudah berkaca-kaca.
"Aku baik kok, Mbak."
"Maafin aku yo, Mbak. Aku belom sempet nengokin pas Mbak sakit..."
"Gakpapa, Mbak. Aku ngerti. Lagian di toko 'kan lagi sibuk banget."
"Mas Aslam tau kalo Mbak ke sini?"
"Tau. Dia yang izinin aku buat ke toko."
"Dan taunya maksa ke toko cuma buat ketemu keluarga yang lain," celetuk Erina membuat percakapan antara Yuni dan Bening teralihkan.
"Siapa dia, Mbak?" Bisik Yuni.
"Mbak Yuni tolong buatkan kami minuman. Aku mau jus jeruk segar." Bening mengalihkan pembicaraan.
Tanpa mau membantah, Yuni segera melaksanakan perintah Bening.
***
"Jadi ini toko kue yang kamu banggain? Cuma segini?" Cibir Erina melihat-lihat sekeliling toko.
Yuni sudah menyajikan minuman di atas meja bulat yang sudah di kelilingi oleh Bening, Rudy dan Erina. Tak lupa potongan carrot cake sudah tersaji di piring masing-masing.
Byan, anak itu di ajak Yuni masuk ke dalam ruangan sebelah karena pas sekali dengan kedatangan Mawar yang pulang dari sekolah langsung datang ke toko menyusul ibunya.
"Ya, terima kasih sudah mau berkunjung ke toko kami yang sederhana ini. Aku gak nyangka Mbak Erina ampe ngikutin nyusul ke mari. Padahal 'kan tadi bisa pergi bareng kalo Mbak mau ke sini." Dingin, Bening berucap seolah tak terjadi apa-apa.
Rudy menatap kedua perempuan yang ada di hadapannya. Banyak sekali pertanyaan dalam pikirannya.
"Kalian udah saling kenal berapa lama?" Menyesap teh yang disuguhkan dengan sikap elegant dan anggun.
"Gue lihat kalian cukup dekat." meletakkan cangkir tehnya.
"Apa Aslam tau kalo anak lo manggil bininya dengan sebutan mami?"
"Ya. Mas Aslam tau." Bening menyela.
"Wah, Aslam cukup baik ternyata."
"Kapan lo pulang?" Tanya Rudy mengalihkan pembicaraan.
"Bukankah ini belum dua tahun ketika lo pergi ke Paris?"
"Ya. Kalo kangen udah menggunung, mana bisa ditahan," jawab Erina tertawa pelik.
"Cih, kangen apanya?" Tanpa bisa ditahan, Rudy tersenyum sarkasme sambil menyesap tehnya.
"Lo ngeraguin gue?" Erina tak terima.
"Ke mana aja ketika Aslam ngebutuhin lo?"
"Gue sibuk."
"Sibuk ngeladenin om om berdompet tebal?"
"Brengsek lo!"
Sruuuptt suara minuman yang telah tandas menginterupsi obrolan antara Rudy dan Erina.
"Ups, maaf. Aku haus." Nyengir kuda tanpa dosa. "Silahkan lanjutkan kembali obrolannya. Aku nyimak aja." Meletakkan gelas minumnya yang menyisakan es batu di dalamnya.
Tanpa bisa ditahan Rudy tersenyum melihat tingkah konyol yang dilakukan Bening. Entahlah, baginya apa yang dilakukan Bening bagaikan mood booster baginya.
Tangannya bergerak, memotong cake yang disuguhkan di depannya lalu menyendokkannya ke depan Bening.
"Buka mulutmu," perintah Rudy yang tak ingin dibantah.
"Mas Rudy nyuapin aku?" Bening menjauhkan badannya.
"Ya, ayo cepat makan."
"Idih, siapa mas berani nyuruh-nyuruh?" Bening mengabaikan tangan Rudy yang masih melayang di udara, berharap Bening membuka mulut dan memakannya.
"Apa salahnya dengan membuka mulut lalu memakannya?"
"Mas Rudy, plis deh! Aku lagi gak mau makan cake itu!" Ketus Bening menyeruput sisa air yang berasal dari es batu yang mulai mencair.
"Jangan sok muna' deh." Erina mencibir kembali. "Padahal kalian mesra."
"Sebaiknya kalian mengobrol saja. Aku tinggal dulu," pamit Bening meninggalkan Rudy dan Erina.
Sungguh menyebalkan!
Tak henti-hentinya Bening mengusap perutnya sambil berkata dalam hati...Amit-amit.
***
"Gila, kerjaan bener-bener gak ada habisnya. Jam segini baru maksi," keluh Mario.
Hp-ku terus bergetar. Erina mengirimku banyak foto. Awalnya aku enggan membukanya karena baru satu suap aku memasukkan nutrisi ke dalam mulutku. Namun, getaran pada hp-ku membuat aku semakin penasaran. Foto apa yang Erina kirimkan?
Tangan kiri memegang hp, membuka salah satu foto yang Erina kirimkan padaku. Tangan kanan yang sedang memegang sendok mengetat. Satu foto lagi aku buka, kali ini pose yang berbeda. Sampai kemudian semua foto yang Erina kirim terbuka. Tanpa sadar aku membanting sendok yang sedang aku pegang pada piring yang masih berisi penuh makan siangku. Ulahku mengakibatkan bunyi berisik yang membuat orang-orang yang sedang menikmati makanannya menoleh padaku. Tak terkecuali Mario yang terkaget karena ia duduk tepat di depanku.
"Ada apa? Why? Selow, Bro. Selow..."
Bukannya tenang, aku malah membanting hp-ku di atas meja. Lalu meremmas rambutku dengan gusar. Aku mengambil hp-ku, lalu berdiri dan berjalan mondar mandir karena seseorang yang aku hubungi tidak menjawab panggilanku. Berkali-kali, hingga panggilan itu terjawab.
"DI MANA KAMU SEKARANG?!"
Bagai orang gila, aku berteriak tak melihat-lihat sekitarku. Mario yang sedang menikmati makanannya terhenti. Ia tercengang akan sikapku yang membentak seseorang pada panggilan telponku.
Sorry, Yo. Tapi ini urusanku bersama istriku...
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera mengambil jas kerjaku dan berlari meninggalkan Mario yang masih dipenuhi pertanyaan.
TBC