Chereads / Menikahi Bening / Chapter 48 - Masalah Demi Masalah

Chapter 48 - Masalah Demi Masalah

Sore ini aku pulang dengan cepat. Setelah datang siang ke kantor aku pulang lebih dulu untuk memastikan jika Bening masih ada di rumah dan tak pergi lagi. Pesan yang aku kirimkan tadi siang tidak dibalasnya. Malahan seseorang yang ingin aku lupakan terus membombardir ponselku dengan pesannya.

"Den Aslam, tumben maghrib udah di rumah?" Mbok Narti menyambut kedatanganku.

"Assalamualaikum, Mbok."

"Waalaikumsalam..."

"Bening di mana, Mbok?" Aku celingukan mencari sosok itu.

"Dari sepulang tadi siang, Mbak Bening gak turun-turun dari kamar."

"Dia gak bantuin Mbok masak?"

"Nggak, Den..."

"Oh, ya sudah. Aku ke atas dulu ya, Mbok."

Setelah pamit pada mbok Narti, aku pergi ke atas menuju kamarku. Pintunya masih tertutup rapat.

"Assalamualaikum..." Aku membuka pintu lalu mengucapkan salam. Berharap seseorang di dalamnya menyambut kepulanganku.

"Yank? Sayang?" dengan berirama aku memanggil istriku. Namun, yang kupanggil tidak menyahuti. Rasa cemas langsung menjalari seluruh tubuhku. Aku melangkahkan kakiku lebar-lebar. Mencari dirinya ke seluruh ruangan. Kamar mandi, ruang ganti dan yang terakhir...balkon.

Huft, beruntung sosok itu ada di sana. Tirai putih yang menutupi kaca jendela pembatas antara kamar dan balkon membuat sosok itu tidak terlihat. Menjelang maghrib dia duduk termenung sendiri di luar balkon. Menatap lurus tanpa menyadari kedatanganku. Aku menghampirinya. Lalu memeluk serta mencium pipinya dari belakang. Tubuhnya berjingkat akan kehadiranku.

"Ya Allah! Aku kira siapa, Mas."

"Assalamualaikum..." Aku menatap wajahnya lekat-lekat dari samping, mengucapkan salam dengan lembut.

"Waalaikumsalam." Dia menyalimi tanganku. Hahh...sungguh damai. Rasanya lama sekali aku tidak merasakan setentram ini.

"Lagi ngapain di sini menjelang maghrib? Ayok, masuk ke dalam," ajakku kemudian.

"Tadi aku cuma menghirup udara segar sore hari aja kok, Mas."

"Sambil melamun?"

"Melamun?" keningnya berkerut.

"Tadi Mas panggil gak nyaut-nyaut. Mas kira kamu pergi lagi."

"Ah..kayaknya aku terlalu larut. Maaf aku gak denger."

"Ayok masuk, nanti masuk angin." Memapahnya, mengajak masuk ke dalam.

Setelah membersihkan diri, sholat magrib lalu makan malam bersama. Aku menemani istriku menonton tv. Erina menyusul duduk di antara kami. Suasana canggung yang tercipta mulai sejak makan malam bersama membuat kami benar-benar seperti musuh.

"Mau ke mana?"

Bening beranjak ketika Erina duduk bersama kami. Lihatlah, Bening benar-benar menghindari kami.

"Aku udah bosan nonton. Kalian lanjutkan saja."

"Kamu gak ngehindarin aku, 'kan? Sepertinya kamu gak suka aku ke sini," sindir Erina.

Suara bel berbunyi. Siapa yang datang di jam segini?

"Hai, kalian lagi nyantai rupanya."

Argh, manusia tak diundang tiba-tiba nongol.

"Hai, manis. Apa kabar? Eh, Kamu mau ke mana?" Sapa Frendian pada Bening.

"Aku mau istirahat_ Om."

"Om? Hahaha." Frendian tertawa terbahak-bahak. Aku memberikan tatapan tajam padanya. Kulihat Erina juga memandang Frendian dengan sinis, namun sedih.

"Manis, kamu memang mood booster terbaik," pujinya kemudian.

"Namaku Bening. Bukan manis_ Om." Selalu diakhiri kata Om dan berhasil membuat Frendian tertawa lagi.

"Sayang, bukankah kamu mau istirahat? Pergilah ke atas duluan, nanti mas nyusul." Aku menginterupsi agar Bening segera naik ke atas dan tak usah meladeni Frendian.

"Tunggu!" menahan Bening dengan menarik tangannya. Apa-apaan Frendian ini?

"Aku lapar. Bisakah kamu memberiku makan malam terlebih dahulu? Bukankah tidak sopan bila ada tamu tapi gak dijamu?"

Sungguh menyebalkan. Mengapa aku dikelilingi orang-orang seperti Erina dan Frendian yang selalu berbuat sesuka hatinya.

"Naiklah. Biar Mbok Narti yang siapin makanannya," perintahku pada Bening.

"Tidak. Aku hanya ingin si manis yang nyiapin."

"Aku bukan si manis. Apalagi dari Jembatan Ancol!"

Lagi lagi Frendian tertawa. Entah mengapa setiap bertemu Bening, suasana hati Frendian membaik. Dia seperti Frendian lain yang tidak aku kenal sebelumnya. Frendian yang dingin dan tak kenal ampun itu melunak ketika bertemu Bening. Dia menunjukkan sisi lembut dari sifatnya, dan aku yakin itu bukan pura-pura. Hal itu membuatku tak suka saat melihatnya.

"Ayolah, pliiss...aku hanya ingin kamu yang kasih aku makan," mohonnya seperti anak kecil yang manja dan berhasil membuat Bening pergi ke dapur, diikuti Frendian yang mengekorinya.

Sayang, kenapa kamu semudah itu bersikap baik padanya?

***

"Makanan yang kamu bikin selalu berhasil menggugah seleraku," puji Frendian tak berhenti mengunyah makanannya.

"Bukan aku yang masak. Mbok Narti yang masak," ujar Bening yang duduk bersedekap di sebrang Frendian.

"Tapi kamu yang nyiapin semua ini."

"Om, cepat habiskan makanannya. Sampai kapan aku duduk di sini nemenin Om yang terus-terusan bicara sambil makan?" Sembur Bening kemudian merasa kesal.

"Jutex amat, sih. Gak sopan lho sama tamu ngomongnya gitu..."

"Om yang gak sopan. Udah datang gak diundang, makan gratisan!"

"Hahaha kamu beneran lucu banget sih."

"Makan gak usah ngomong. Nanti keselek!"

"Oke oke."

Frendian melanjutkan makannya dalam hening. Dalam hati ia senang menggoda Bening untuk tetap menemaninya. Ucapan Bening yang ceplas ceplos berhasil membuat suasana hatinya membaik. Hal itu memicu obsesinya untuk mendapatkan Bening.

"Kapan kamu pulang?" Menenggak minumannya setelah selesai makan. "Kemarin-kemarin kamu ngilang. Kenapa?"

"Kep-po."

"Haha kamu tuh ya, emang paling bisa bikin orang terhibur."

"Aku gak lagi lawak. Kenapa Om tertawa?"

"Berapa umurmu?"

"Kurasa kita gak lagi interview. Kenapa Om ini kepo sekali?"

"Haha kenapa kamu menggemaskan sekali?"

"Ehem." Aslam berdehem memecah obrolan antara Frendian dan Bening.

Setelah menahan diri untuk tidak mengikuti apa yang mereka lakukan karena menghargai Erina yang tak ingin ditinggalkan, pada akhirnya Aslam melangkahkan kakinya menuju ruang makan dan mendapati Frendian yang lagi-lagi tertawa lepas saat bersama Bening.

Disusul Erina yang mengikuti dibelakangnya. Ia merasa geram melihat pria yang pernah mengisi hampir seluruh waktunya itu tersenyum tulus serta tertawa lepas di hadapan wanita yang menjadi istri mantan kekasihnya.

Cemburu? Erina tak mengerti dengan perasaannya. Dibalik sikap takut jika berhadapan dengan Frendian, ia juga merasa kesal sendiri. Perlakuan kasar Frendian padanya tak dapat dipungkiri jika ada rasa yang tak bisa Erina jelaskan. Ia memang perempuan yang tak pernah puas dengan satu pasangan. Tapi Frendian adalah pria pertama yang merenggut kesuciannya. Bahkan waktu yang ia habiskan bersama Aslam dulu, Frendian tetap hadir menghilangkan jejak Aslam dalam aroma tubuhnya.

Namun begitu, Erina juga tak ingin kehilangan sosok Aslam yang menurutnya adalah pria penyayang yang bisa memenuhi segala kebutuhannya. Walau bagaimanapun, Aslam pernah memperlakukan Erina sebagai ratunya. Bahkan hingga sekarang, ia meyakini perasaan Aslam padanya tetap sama. Padahal Erina tahu, perasaan Aslam terhadap Bening bukan sekedar rasa kasihan atau ikatan paksa semata. Perasaan itu adalah cinta yang tulus dari seorang suami terhadap istrinya. Tak pernah Erina melihat cinta yang dalam di mata Aslam seperti tatapannya kepada Bening.

Seperti tatapan kagum yang diberikan Frendian pada Bening, Erina tak ingin kedua pria di hadapannya menyimpan cinta kepada perempuan remaja yang baru mereka temui. Bahkan Rudy, duda anak satu itu pun menaruh hati kepada Bening. Dan juga Mario yang merupakan kakak angkatnya pun, sama-sama mencintai perempuan bernama Bening.

Apa istimewa dan hebatnya perempuan itu? Mengapa semua pria-pria dewasa dan mapan itu menyukainya?

"Apa sekarang lo udah ngerasa kenyang?" Tanya Aslam.

"Tentu saja. Apalagi makan ditemani cewek manis kayak Bening." mengedipkan sebelah matanya pada Bening.

Aslam mengepalkan kedua tangannya, mencoba agar tidak lepas kendali.

"Kalo udah kenyang, sebaiknya lo pulang. Kami akan beristirahat," usir Aslam masih menahan diri.

"Ini masih jam setengah sembilan, Bro. Masih terlalu siang untuk malam. Iya 'kan, Manis?"

"Gak tau. Aku capek. Aku ke atas dulu."

Bening beranjak dari tempat duduknya. Namun tangan Frendian dengan sigap menahannya saat Bening melewatinya.

"Tunggu. Aku masih pengen kamu temani. Kalo kamu masih belum ngantuk, mau gak kalo kita hangout sebentar buat nyari udara segar?"

"Jangan kurang ajar!" Aslam melepas kasar pegangan tangan Frendian pada lengan Bening.

"Sebenarnya siapa lo yang bisa datang seenaknya ke mari? Jaga sikap lo dan tolong jangan ganggu istri gue lagi!"

"Istri? Apa selama ini lo anggap dia istri lo? Lalu siapa Erina?" Pertanyaan Frendian membuat Aslam kehabisan kata-kata.

Mengapa ia tak bisa tegas pada dirinya sendiri? Mengapa ia masih saja luluh ketika melihat titik sendu pada mata Erina? Perasaan apa yang ia rasakan terhadap perempuan itu? Aslam melihat ketakutan serta ingin dilindungi dari tatapan Erina.

Sedang istrinya, bukan tidak mungkin ia berpura-pura tegar dan tak peduli akan apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Usianya masih sangat belia untuk menghadapi semua beban yang harus ditanggungnya. Senyuman ceria itu dalam sekejap menghilang ketika Erina memasuki kehidupannya lagi. Di saat Aslam mulai membuka hati dan menerima Bening sebagai istrinya, mengapa perempuan yang bernama Erina itu kembali?

Rasanya masalah demi masalah datang silih berganti. Sepertinya Tuhan memang memberi tantangan tentang seberapa teguh hatinya memilih orang yang tepat untuknya.

"Sayang, sebaiknya kamu istirahat supaya besok bangun pagi terasa segar kembali. Hari ini kamu pasti lelah. Nanti Mas nyusul kamu ke atas," ucap Aslam memerintah dengan lembut, mengusap rambut kepalanya dengan sayang.

Bening menatap suaminya dengan tatapan yang tak terbaca, seolah memohon agar tidak menuruti ucapan Frendian. Kemudian menatap Frendian yang memelas memohon padanya lalu Erina yang menatap tajam seolah tak suka.

Bening bingung dengan keadaannya saat ini. Kembali ke rumah suaminya sungguh membuatnya pusing serta mual yang naik ke permukaan dan tertahan di tenggorokannya. Menciptakan rona pucat seakan darah tak mengaliri wajahnya. Keringat dingin mengaliri telapak tangan serta pundaknya.

Demi Tuhan, ia ingin mengeluarkan isi perutnya saat itu juga!

Tanpa berkata apapun, Bening menutupi mulutnya kemudian berlari menuju wastafel yang berada di pantry. Ia membuka kran air, kemudian mengeluarkan isi perutnya yang tak tertahan lagi.

"Yank, kamu kenapa? Apanya yang tidak enak?" panik dan cemas seketika membanjiri benak Aslam. Ia benar-benar berlari menghampiri istrinya yang kepayahan lalu membantu mengusap tengkuk istrinya yang masih mengeluarkan isi perutnya.

Tak lupa Frendian yang ikut-ikutan cemas saat melihat Bening dengan kondisi yang seperti itu. Berbeda halnya dengan Erina yang menatap Bening dengan tatapan menyelidik dan penuh kebencian.

TBC