Pagi ini seperti biasa aku menikmati sarapan buatan istriku sendiri. Akhir-akhir ini setelah kepulangannya kembali ke rumah, wajahnya tampak tak berseri. Bahkan, di hari pertama setelah bangun tidur, aku melihat memar di pipinya. Namun, dengan ringannya ia bilang, 'Entahlah, mungkin terbentur sesuatu dan tak terasa'.
Dari melihatnya saja aku tau pasti ada apa-apa. Walau didesak apapun juga, ia berhasil menutupinya sampai sekarang.
Dan soal ceritanya tentang kejadian di rumah sakit waktu itu, setidaknya aku lega kalau perempuan yang Mama nikahkan denganku adalah perempuan yang baik. Bahkan, sangat baik.
Aku sungguh tak menyangka jika pasien cerewet dengan penuh luka itu adalah Bening, istriku. Masih begitu ingat dengan jelas, dia adalah seseorang yang berani mengangkat tangannya menyentuh dan mengusap kepalaku. Rasanya begitu familiar, bahkan sebelum pertemuan di taman rumah sakit itu.
"Kamu gak lupa 'kan, Hon? Aku mau ulang tahunku dirayakan. Sekaligus aku mau kita bertunangan lagi dan mengumumkan pernikahan kita." Lagi, Erina membahas soal hal itu dan terus mendesakku.
"Soal ulang tahunmu dirayakan, oke, aku setuju. Kamu bebas memilih tema dan tempat yang kamu inginkan. Dan aku bersedia mensponsorinya."
"Sponsor?"
"Ya, anggap saja begitu."
"Tapi, Hon_" Mengangkat tanganku tak ingin dibantah.
"Tapi untuk bertunangan, maaf aku sepertinya tak bisa. Kamu 'kan tau kalo aku udah nikah. Apa kata orang-orang dan teman-temanku? Mereka pasti akan membicarakan yang tidak-tidak. Terlebih jika ada salah satu kolega papa atau mamaku," ujarku kemudian. Aku berusaha menahan geraman kesal akan Erina yang selalu memaksa.
"Kamu takut jika orang-orang menggunjing dan mengadu pada orang tuamu? Bilang aja kamu udah cerai, kalian gak cocok. Mudah. Bening juga pasti akan mengerti. Iya, kan?" Tanyanya kemudian pada Bening yang sedang mengoles rotinya dengan selai strawberry.
"Hah? Emhh..." Menatapku dan bertanya dengan mimik wajahnya, 'Ada apa?'
Aku menyeringai melihat kelakuannya. Kami bertiga duduk bersama di meja makan, obrolan yang aku dan Erina bicarakan cukup keras dan jelas untuk didengar. Namun, dia sama sekali gak menyimak obrolan yang kami bahas. Sungguh terlalu...Kok ada ya, orang yang cueknya gak ketulungan macam istriku ini, ckckck...
"Kamu gak pura-pura gak tau apa yang kita obrolin, kan?" Erina mendelik.
"Obrolan kita cukup keras untuk didengar."
"Hah? Emhh...maaf, aku gak nyimak, hehe..." kekehnya datar. Kemudian tanpa dosa ia tetap menikmati rotinya.
"Yank, kok kamu cuman makan roti aja? Selai strawberry lagi, bukannya kamu suka coklat?" Aku mengabaikan Erina dengan bertanya pada istriku.
Berdebat hal yang tak penting tapi konyol bersama istriku lebih menyenangkan dibanding membicarakan hal yang tak masuk di akal bersama Erina. Ya...kadang obrolan bersama istriku banyak yang ngaco, sih. Tapi terasa konyol dan seru. Karena ujung-ujungnya selalu berhasil membuat mood-ku membaik. Pagi hari harusnya diawali dengan mood booster yang baik agar ke depannya selalu baik.
"Lagi pengen aja. Aku juga suka strawberry, kok. Malah pagi ini aku pengen makan tteokboki pedas manis, kayaknya enak. Minumnya iced milk cocholate caramel machiatto, unchhh...enak banget kayaknya," ucapnya sambil membayangkan apa yang ia inginkan, membuatku terkekeh.
"Pagi-pagi udah pengen makan yang aneh-aneh." Menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutku. Lalu menyendokkan untuknya dengan maksud menyuapi. Tapi Bening langsung memundurkan tubuhnya serta menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Agak kecewa ia menolak, tapi...ya sudahlah...
"Enak ih, Mas..." menurunkan tangannya.
"Aku mau itu...(makanan yang ia sebutkan tadi)...Lebih enak lagi kalo Mas Aslam yang beliin," lirihnya di ujung kalimat.
"Beneran kamu mau?"
Bening mengangguk dengan antusias, matanya berbinar senang. Sudah cukup lama aku tidak melihatnya seperti itu. Tumben banget dia menginginkan sesuatu yang harus aku belikan. Aku begitu senang ketika ia memintanya.
"Sebentar, coba mas cari di G-food ya."
"Gak mauuu..."
"Lha, tadi katanya mau."
"Iya aku mauu..."
"Trus?"
"Gak mau G-food...Aku maunya Mas yang beliin langsung ke tempatnya. Kalo perlu, aku ikut dan milih," tawarnya memohon layaknya anak kecil yang manja.
"Oke oke...nanti sekalian mas berangkat ke kantor dan anterin kamu ke toko, kita mampir dulu dan beli yang kamu mau. Semoga aja udah buka," ujarku setuju.
Aku mencoba menyuapkan sesendok makan padanya, kali ini mulutnya terbuka lebar dan melahapnya. Disela-sela makanku, aku terus mengulanginya hingga tanpa terasa makanan di piring tandas tak bersisa, padahal aku sengaja menambah porsinya. Sungguh menyenangkan...
Bukan tanpa alasan aku menyuapi dan mengabulkan membeli apapun yang ia mau. Akhir-akhir ini istriku jarang sekali makan. Bahkan, sering sekali apa yang ia makan selalu keluar lagi. Padahal ia begitu sibuk mengerjakan orderan di tokonya.
Erina memasang wajah yang tak suka saat melihat interaksi kami. Aku benar-benar mengabaikannya. Benarkah?
Langkah selanjutnya mungkin aku harus mencoba melepaskannya dan memilih Bening menjadi istriku seutuhnya. Apa aku bisa?
Nyatanya, sampai saat ini aku masih mempertahankan Erina di sampingku. Bahkan, aku masih membiarkan dan menuruti segala apa yang ia mau. Tak jarang pada akhirnya aku selalu lupa jika aku mempunyai istri yang bernama Bening.
Lelaki macam apa aku ini?
***
"Kayaknya hari ini mas bakal pulang malam. Maaf, mas gak bisa jemput," sesalku setelah mengantar Bening ke tokonya.
"Gakpapa, Mas. Nanti aku pulang sendiri aja." Menyalim tanganku.
"Makasih jajanannya. Untung udah buka," girangnya mengangkat bungkusan makanannya ke udara.
"Aku masuk dulu ya, Mas. Hati-hati..." membuka pintu hendak turun dari mobil.
"Tunggu!" Menahan tangannya.
"Ya?" Berbalik dan duduk kembali menghadapku.
Ingin sekali aku bertanya, apa kamu baik-baik saja? Apa dia benar-benar tidak menyimak ucapan Erina?
"Kenapa?" Tanyanya membuyarkan lamunanku. "Mas," Tangannya menggenggam tanganku. "Aku gakpapa..." tersenyum hangat.
Mataku membeliak, "K-kamu..."
"Aku rapopo, hehe...Aku gakpapa kalo Mas mau bertunangan dan nikah lagi sama mbak Erina. Kalo Mas mau kita bercerai juga boleh. Tapi, bisakah tunggu kira-kira sepuluh bulan lagi?"
"S-sepuluh bulan? Kenapa harus sepuluh bulan?"
"Mas mau secepatnya? Kalo gitu...emmbb..sembilan bulan?" negonya setelah berpikir.
"Bukan itu maksud mas."
"Lalu?" menelengkan kepalanya. Ah, kenapa dia menggemaskan sekali?
Tanpa ingin bicara atau membahas ini lagi, aku menangkup kedua pipinya lalu membenamkan bibirku pada bibirnya. Menggigit bibirnya dengan nakal, lalu mendesak masuk lidahku pada kemanisan mulutnya. Aku melu matnya dengan penuh nafsu dalam hasrat yang tertahankan.
Bersama dengannya, membuat aku tak bisa menahan diri. Padahal hampir setiap hari kami melakukannya. Bila malamnya ia tertidur duluan, selalu ada waktu entah subuh atau pagi hari dan bahkan siang hari, aku selalu menginginkannya. Siang hari ketika ia datang membawa makan siangku dan tak jarang aku selalu mencuri waktu 'melakukannya' di dalam kantor dan tentu saja harus membuat Mario pergi dari ruangan.
Oh, SELALU, takkan pernah ada kata bosan ketika melakukan hal nikmat bersama istriku itu.
"Mas." Menjauhkan tubuhku ketika ciummanku semakin menuntut.
"Yank, Mas 'pengen'...Kita lanjut di kamar yuk," parauku mengajaknya. Sial! Junior, kenapa kamu gampangan sekali?
"Mas, tapi 'kan, tadi kita..."
"Kenapa? Kamu gak mau melakukannya?" Menenggelamkan wajahku di ceruk lehernya, menghidu aroma candu lalu menggigitnya kecil membuat tubuhnya menegang.
"Mas, tapi di toko udah ada Mbak Yuni sama Kak Iman, tuh." Tunjuknya pada dua orang yang sedang sibuk di dalam toko.
"Tapi ini gimana, Yank?" memelas, menarik dan meletakkan tangannya pada benda pusaka yang sudah on fire.
"Mas, ih!" Wajahnya memerah dan malu-malu.
"Ayok donk, Yank...apalagi nanti malam mas pulang entah jam berapa..." Cebikku kayak anak kecil.
"NGGAK! Tteokbokki aku nanti keburu gak enak. Mas juga, ini udah siang buat ke kantor. BYE!" Kecupan kilat mendarat di pipi dan bibirku.
Aku mematung akan tingkahnya. Buru-buru ia menutup pintu mobil dan keluar. Melambaikan tangannya kepadaku dengan riang. Oh, junior, sepertinya kamu harus bersabar...
Aku melambaikan tangan pada istriku yang masih menungguiku untuk berangkat. Aku senang, aku selalu senang bila bersama dengannya!
Sesampainya di kantor aku terus menyunggingkan senyuman. Sepanjang perjalanan aku tak henti-hentinya bahagia. Bahagia? Ya, kurasa seperti itu. Bahagia cukup sesederhana itu. Dikecup istri membuat aku sesenang ini.
"Kayaknya ada yang lagi senang," ujar Mario ketika aku sudah duduk di kursi kebesaranku dan meletakkan tas kerjaku.
"Keliatannya gimana? Apa gue kayak orang yang teraniaya?" Mendelik menanggapi ucapannya.
"Tentu aja lo senang kalo orang lain teraniaya," sahutnya menjengkelkan.
"Terserah lo, dah! Gimana file buat Mr Hwang, apa sudah beres?"
"Lo gak percaya sama gue? Trus, gimana dengan sketsanya? Tidur berapa jam lo semalam?" Ledek Mario mengingat dulu aku selalu lembur menyelesaikan proyek yang ingin segera rampung.
"Alhamdulillah, istriku membuat malam-malamku menyenangkan dan aku tertidur dengan lelap tanpa lupa menyelesaikan pekerjaanku." Sengaja, dengan nada yang menjengkelkan aku membuat Mario tak berkata-kata lagi.
Sial, bibirnya komat kamit!
Aku menyambar bolpoint di dalam holder ATK lalu melemparkannya tepat sasaran pada kepalanya.
"ANJ*IMM, LO!" pekiknya kaget sekaligus marah sambil mengusap kepalanya.
Aku yang seharusnya kesal karena ia meledekku, malah membuatku tertawa terbahak melihat ia yang tertindas.
Suasana hati yang baik memang membawa kebahagiaan tersendiri :)
***
Jam 11.00 malam
Hari yang sangat melelahkan dan cukup menguras tenaga dan juga emosi. Klien kali ini cukup rewel dan kami sering salah paham dalam kata-kata karena Mr Hwang belum begitu mahir berbahasa. Pakai bahasa Inggris pun percuma, dia tak begitu paham. Memakai bahasa negaranya? Kurasa Bening lebih paham di banding aku karena ia sering sekali menonton Drama Korea.
Mengingat Bening aku jadi merindukannya. Aku mengambil ponselku lalu mengetik pesan padanya. Berharap dia belum tidur.
Lima menit aku menunggu balasan pesan darinya. Apa dia sudah tertidur?
Aku melajukan mobilku, membelah jalanan ibu kota yang terasa lenggang. Ingin segera sampai rumah dan bertemu istriku.
Hari ini, mungkin saat ini entah awal ataukah akhir dari kisah cinta yang belum terungkapkan. Baru saja mobilku memasuki kawasan komplek, suara dering ponsel membuatku cepat-cepat mengangkatnya lewat earphone bluetooth tanpa melihat siapa yang menelepon. Dipikiranku cuma satu, hanya Bening.
"Hallo, Yank. Kamu belum tidur?" Sapaku girang.
"Den...ini si'Mbok." Suara Mbok Narti bergetar.
"Oh, Mbok. Maaf, aku kira istriku." Cukup malu, aku merasa konyol sendiri.
"Den...cepat pulang, Den..." Mbok Narti hampir menangis.
"Kenapa, Mbok?"
"Non Bening sama Non Erina..."
"Mereka kenapa?"
"Mbak Erina..."
"Erina kenapa, Mbok? Hallo? Mbok?" Panggilan terputus berbarengan dengan suara jeritan yang terdengar samar-samar.
Aku melajukan mobilku seketika supaya cepat sampai di rumah. Rasa panik tiba-tiba menyeruak.
.
.
.
"Mbak, tolong jangan kayak gini. Kita bisa bicarain baik-baik."
"Gak ada yang perlu dibicarain lagi. Selama ini gue udah cukup bersabar melihat Aslam bersikap lembut dan sayang sama lo! Selama lo ada di sini, Aslam cuek sama gue."
"Mbak, Mbak, tolong lepasin. Ini sakit..." Pekik Bening ketika Erina memelintir lengan tangannya yang terdapat pen.
"Non, tolong jangan sakitin Non Bening..." Mbok Narti memohon.
"Sakit? Ini gak sesakit apa yang gue rasain!" Erina menggila.
"Mbak, tolong lepas!" Bening meronta, tarikan tangannya membuat Erina kewalahan dan jatuh terjengkang hingga terbentur mengenai meja makan.
"ERINA!" Suara teriakan itu membuat Bening dan Mbok Narti menoleh bersamaan.
Aslam tiba di saat kejadian tersebut, terlihat seolah Bening mendorong Erina dengan sengaja. Dia berlari karena tepat saat itu Erina tak sadarkan diri.
"Rin, bangun Rin. Rin?"
Entah apa yang terjadi saat itu. Ketika aku masuk Bening mendorong Erina hingga terjengkang dan terjatuh. Kepalanya terbentur ujung meja makan. Dan ia tak sadarkan diri. Aku menepuk-nepuk pipi Erina, berharap ia bangun.
"PAK MASKUN!" Teriakku tak terkendali ketika Erina tak kunjung membuka matanya.
"Mbok, cepat panggil Pak Maskun siapin mobil kita ke rumah sakit sekarang!"
"B-baik, Den." Mbok Narti berlari.
"Mas, gimana Mbak Erina?" Suara Bening bergetar, menghampiri kami dengan perlahan dan takut.
"APA YANG KAMU LAKUKAN, HAH?!" Bentakku saat itu membuat tubuh Bening berjingkat.
"MAS TAU KAMU GAK SUKA SAMA ERINA, TAPI KENAPA HARUS SEKASAR ITU? KENAPA KAMU HARUS NYAKITIN ORANG LAIN? KAMU BILANG KAMU GAKPAPA. KAMU SENDIRI YANG MENGIZINKAN ERINA UNTUK TINGGAL DI SINI! TAPI KENAPA KAMU SEPERTI INI KENYATAANNYA, HAH? SIFAT BARBAR KAMU EMANG GAKKAN PERNAH HILANG, TAPI INI KETERLALUAN!!!"
Wajah Bening memucat, ia terlihat shock ketika menerima bentakan demi bentakan dan juga teriakanku.
"B-bukan aku, Mas. Bukan aku. Aku gak bermaksud..."
"KALO BUKAN KAMU, LALU SIAPA? MBOK NARTI? JELAS JELAS TADI MAS LIHAT KAMU DORONG ERINA AMPE KAYAK GINI!"
Pa Maskun tiba, siap mengantar aku membawa Erina ke rumah sakit.
"Mas."
"Diam dan jangan ke mana-mana sebelum saya kembali! Kamu benar-benar ngecewain!" perintahku dengan nada dingin, tak mau dibantah dan tak mau mendengar apapun yang Bening katakan.
Jika menyadarinya sekarang, aku sungguh keterlaluan...
"Bukan aku...bukan aku..."
"Non..." Mengusap punggung Bening, menenangkannya.
"Bukan aku...huhu..."
TBC