Suara adzan subuh berkumandang. Sudah cukup lama Aslam menemani Erina yang sedang terbaring di rumah sakit. Erina membuka matanya. Dilihatnya Aslam yang sedang duduk sambil tertidur di sampingnya. Sudah cukup pula Erina berpura-pura memejamkan matanya.
Tangannya menyentuh wajah yang sedang terlelap dan penuh kelelahan itu. Pria ini masih sama seperti dulu. Pria ini mencemaskannya. Pria ini masih mencintainya.
Erina menyeringai penuh kemenangan. Dia cukup lega mengetahui bahwa Aslam akan memihak padanya. Tak sia-sia ia berakting terjatuh dan sengaja membenturkan kepalanya. Saat itu, Erina tau jika Aslam tiba di saat yang tepat. Suara deru mobil yang terparkir serta langkah kaki Aslam yang mendekati ruang makan membuat perhitungannya tepat sasaran.
"Bahkan kamu berani membentak istrimu hanya karena takut aku kenapa-kenapa." Lirihnya bicara sendiri dan merasa bangga.
***
Rasa ngilu itu sangat menyakitkan. Berguling ke kanan, lalu ke kiri. Terlentang dan ia masih bisa tengkurap karena perutnya masih belum begitu menonjol. Keringat dingin dan tak enak terus mengalir. Lengan tangannya membengkak dan hampir membiru. Rasanya panas dingin.
Dilihatnya waktu yang sudah menunjukkan bahwa saatnya ia harus pergi ke air dan mengambil wudhu. Setelahnya, ia mempersiapkan sarapan untuk suaminya. Namun, rasanya lemah dan letih sekali. Untuk bangun saja seluruh tubuhnya terasa sakit semua. Bagaimana tidak lemah, hampir semalaman ia tidak tidur karena merasakan betapa sakit dan ngilunya lengan tangannya itu. Ditambah rasa mual disertai sakit kepala yang terkadang muncul tiba-tiba.
Rasanya Bening ingin menangis saja. Hal yang seharusnya mendapat perhatian dari suaminya tak bisa ia dapatkan saat ini. Bahkan, ia enggan memberitahukan kehamilannya mengingat hadirnya wanita yang dicintai tak mungkin jika suaminya itu mau menerima calon anaknya yang sedang bertumbuh di rahimnya.
Bening terlelap sekejap setelah ia melakukan sholat subuhnya. Rasa ngilu itu terus muncul ketika ia menggerakkan tangannya disela-sela lelapnya tidur. Pekikannya sendiri membuat ia terbangun. Dan waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Segera ia melepas mukenanya lalu bersiap diri menuju rumah sakit untuk memastikan kondisi Erina sekalian membawakan sarapan dan juga pakaian ganti untuk suaminya. Ia juga harus memeriksakan kondisi tangannya selagi ke rumah sakit.
***
"Apa ini cukup, Non?" Mbok Narti menyiapkan kotak makan yang akan dibawa Bening ke rumah sakit. Beruntung, Mbok Narti sudah menyiapkan segalanya.
"Cukup, Mbok. Maaf ya, aku gak bantu si'Mbok nyiapin sarapan. Tadi abis sholat subuh, malah ketiduran," ceritanya.
"Gakpapa, Non. Ini emang udah tugas si'Mbok. Non, baik-baik aja, 'kan?" Tuturnya kemudian bertanya dengan cemas.
Gurat-gurat kekhawatiran dari wanita paruh baya itu membuat Bening tak tega memberitahu jika tangannya begitu sakit. Ia tak menunjukkan memar dan bengkak pada tangannya karena memakai sweater kebesaran untuk menutupinya seperti biasa. Bening tak ingin orang-orang melihat jijik karena melihat tangannya.
"Gakpapa, Mbok. Aku baik-baik aja. Ya udah, tolong Mbok masukkin kotak makannya ke dalam tas bekal itu, ya. Aku mau ambil tas dulu ke atas," perintahnya yang diangguki mbok Narti.
Setelah semuanya siap. Bening memasuki garasi dan mendapati motornya yang terparkir cantik di sana. Sudah begitu lama ia tak memakai motor matic kesayangannya itu. Walau begitu, rupanya Pak Maskun selalu menjaga agar motor-motor yang terparkir itu tetap terawat.
Bening menghampiri motornya, lalu menggantungkan tas bekal makanannya. Ia men-starter dan hendak melajukan motornya.
"Non, Non! Mau ke mana?" Teriak Pak Maskun sambil berlari menghampiri saat motor yang dikendarai Bening melintas keluar pintu garasi.
Bening menghentikan motornya. "Kenapa, Pak?"
"Non, mau ke mana?" ngos-ngosan karena berlari. "Dan kenapa Non pake motor ini? Biar saya yang anterin Non pergi. Bisa-bisa Den Aslam ngamuk ini kalo tau Non Bening bawa motor. Saya juga bakal kena marah," ujar Pak Maskun yang ketakutan.
"Aku mau ke rumah sakit. Pak Maskun tenang aja, Mas Aslam gakkan marah, kok." Menepuk lengan tangan Pak Maskun.
Pasti gakkan marah, toh Mas Aslam bakal sibuk ngurusin mbak Erina. Bathin Bening ingin melanjutkan kata-katanya.
Setelahnya Bening pamit melajukan motornya tanpa mempedulikan teriakan Pak Maskun dan Mbok Narti yang mencemaskannya karena nekad membawa motor. Sudah cukup lama Bening tidak mengemudikan motor matic kesayangannya itu. Tangan yang membengkak mulai berdenyut kembali. Aku harus tahan! Berkali-kali Bening merapalkan mantra itu untuk dirinya sendiri.
Sesampainya di rumah sakit, Bening memastikan untuk menanyakan di mana ruang Erina dirawat. Bertanya pada Pak Maskun percuma saja, walau kemarin beliau yang mengantar suaminya untuk membawa Erina ke rumah sakit, ia hanya mengantar sampai pelataran rumah sakit saja. Katanya, Aslam menyuruh Pak Maskun untuk pulang kembali.
Setelah suster di bagian informasi memberitahu, Bening segera ke sana. Bukan untuk membesuk, tapi ia bilang untuk bergantian menjaganya. Sehingga suster itu mengizinkannya menuju ruang perawatan Erina.
Langkahnya meragu ketika melihat pintu ruang perawatan itu tertutup rapat. Bening mengetuk pintu lalu membukanya perlahan. Dilihatnya Aslam sedang membantu Erina untuk duduk. Perhatian itu...Aslam benar-benar mencemaskan Erina.
"Hai, Mas, Mbak." Bening menyapa mereka.
"Ini aku bawain sarapan." Meletakkan tas bekal makanan di atas meja.
"Gimana keadaan Mbak Erina?" tanyanya kemudian.
"Hon, aku gak mau dia ada di sini," lirih Erina terdengar jelas oleh Bening.
Aslam terdiam, ia melirik ke arah Bening dengan tatapan jengah yang sama seperti semalam. Hati Bening mencelos. Ia tak suka Aslam menatap benci padanya.
"Ngapain kamu ke sini? Bukankah Mas udah bilang jangan ke mana-mana ampe Mas kembali?" Sembur Aslam tanpa mau melihat wajah Bening.
"I-ini aku bawain Mas sarapan," jawab Bening terbata-bata.
"Gak perlu! Mas bisa sarapan di kafetaria rumah sakit," ketus Aslam kemudian.
"Hon, cepetan usir dia dari sini. Aku gak mau lihat mukanya. Dia hampir aja bunuh aku, Hon. Wajahnya aja polos, tapi sifatnya psikopat!" Erina keterlaluan. Bening mengepalkan tangan ingin menyanggahnya.
Amit-amit...Astagfirullah...amit-amit...Astagfirullah..
Hanya itu yang bisa Bening ucapkan dalam hati. Kalimat mitos orang tua zaman dulu yang setidaknya tidak bisa mempengaruhi janinnya.
"Oke, kalo gitu aku pergi dulu. Aku ke sini dengan niat baik. Aku juga bawain Mas baju ganti. Makanannya nanti dimakan aja ya. Gak perlu ke kafetaria," pamit Bening kemudian dengan hati yang sakit.
"Cepat sembuh ya, Mbak. Maaf, semalam aku gak sengaja." Erina memalingkan wajah, hanya sorot kebencian yang ia tunjukkan dengan jelas kepada Bening.
Bening keluar dengan air mata yang menetes melewati pipinya begitu saja. Sangat menyakitkan. Aslam lebih membela Erina daripada dirinya...
Setelah keluar dari ruang rawat Erina, Bening memutuskan untuk ke bagian ortopedi. Menemui dokter Baskoro untuk memeriksa tangannya. Karena belum janjian dengan dokter Baskoro, ia terpaksa mengikuti prosedur berobat yang sedianya telah diatur oleh rumah sakit. Mulai dari mendaftar hingga mengantri nunggu giliran.
"Hai, Manis? Ngapain kamu di sini?" Sapa seseorang ketika Bening hampir tenggelam dalam lamunan disela antriannya. Masih ada satu orang lagi yang harus ia tunggu.
"Kak Dian..."
"Kak Dian?" merasa girang sendiri saat Bening memanggilnya seperti itu. Cepat-cepat tanpa diizinkan, ia duduk di samping Bening.
"Kamu lagi ngapain?"
"Aku..." tak mungkin Bening bilang pada Frendian jika tangannya terluka. Ia tau, pria dewasa di sampingnya itu terlalu terbuka pada hal-hal yang tak bisa ditahannya.
"Gakpapa, aku cuma mau check up aja," jelasnya.
"Kakak ngapain di sini? Ruang rawat Mbak Erina di sana." Menunjuk arah dengan dagunya.
"Ya, aku dengar Erina masuk rumah sakit. Dan pas kebetulan lewat aku liat kamu lagi duduk di sini," terangnya.
"Kamu sendirian aja? Mana suami kamu yang nyebelin itu?" celingukan mencari Aslam.
"Bukannya Kak Dian yang nyebelin?" desis Bening membuat Frendian tertawa getir.
"Mas Aslam lagi nemenin mbak Erina..." lirihnya sedih kemudian.
Frendian menatap Bening dengan tatapan iba. "Kamu yakin gakpapa? Ini 'kan bagian ortopedi. Emang kamu mau check up apaan?" Tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.
Bening tersenyum melihat Frendian perhatian padanya.
"Kenapa malah senyum? Ih, kamu gemesin banget, sih..." Menguwel-uwel pipi Bening.
"Kak!" Bening menjauhkan dirinya. Merasa tak enak pria yang bukan suaminya itu menyentuhnya.
"Sorry..." Frendian mengacungkan kedua tangannya. "Aku gak bisa nahan diriku. Kamu gemesin banget abisnya."
Belum Bening menghardik, tiba gilirannya untuk diperiksa.
"Kakak, ngapain?" merasa jengah ketika Frendian ternyata mengikutinya.
"Nemenin kamu. Hehe..."
"Kak Dian bukannya mau jenguk Mbak Erina?"
"Iya, nanti aja. Aku temenin kamu dulu."
Tanpa mau berdebat lagi, Bening menggelengkan kepala, tak habis pikir akan kelakuan Frendian. Segera, ia masuk lalu menemui dokter Baskoro yang sedang duduk menunggunya.
"Nak Bening, apa kabar? Saya pikir ini Bening yang lain, ternyata memang kamu," tutur dokter Baskoro menyambut hangat kedatangan Bening.
"Kalo aku di sini, berarti aku gak baik-baik aja, Dok," kekeh Bening kemudian.
"Betul itu, Dok. Dari mukanya yang pucat aja menunjukkan kalo dia gak baik-baik aja," sahut Frendian membuat Bening merasa jengah.
"Anda..."
"Saya fans-nya, Dok. Suaminya yang menyebalkan itu sedang menemani...ukhmp..." ucapannya terhenti ketika Bening menutup mulutnya tiba-tiba.
"Hehe, dia emang fans gila, Dok. Jadi gak usah dengerin ucapannya." Bening merasa malu lalu memolototi Frendian.
"Manis, kenapa kamu tutup mulutku?" Sok tertindas. Padahal sebenarnya dia senang menggoda Bening.
"Akh!" Bening memekik ketika Frendian mencengkram lengan tangannya untuk diturunkan dari mulutnya.
"Kenapa? Kenapa?" Paniknya kemudian.
Mata Bening berkaca-kaca. Ia sungguh tak bisa menahan rasa ngilu itu lebih lama lagi. Apalagi cengkram tangan Frendian membuat sakitnya lebih terasa lagi.
"Huhu...dokter...ini...sungguh, sangat menyakitkan..." Bening menyodorkan lengan tangannya, menyingkap sweater yang menutupi lengannya yang sudah membengkak dan membiru itu. Dibarengi tangisannya yang semakin sesenggukan, ia tak bisa menahan diri mengingat betapa sakit hatinya saat ini.
Frendian dan dokter Baskoro merasa terkesiap karena tangisan yang tiba-tiba itu. Sejenak mereka mematung dan tak berkutik. Hati Frendian terenyuh menyaksikan bagaimana rasa sakit yang Bening tanggung untuk luka di tangannya. Tak hanya itu, ia tau kemelut yang dirasakan oleh perempuan yang ada di hadapannya. Frendian merasa salut karena gadis semuda itu bisa menyembunyikan diri dari rasa sakit di hatinya yang kini meledaklah sudah.
Apa dirinya sekejam itu membiarkan Erina kembali pada Aslam dan mengacaukan bahtera rumah tangganya yang asalnya baik-baik saja? Apa dia seegois itu hanya karena ingin menghancurkan Aslam sebagai pelampiasan dendamnya pada Erina yang menyakitinya berkali-kali dan kini ia merasa harus merebut apa yang menjadi milik Aslam dan memilikinya?
Gadis di sampingnya sungguh terlalu berharga untuk disakitinya. Gadis luar biasa ini begitu baik untuk ia jadikan pelampiasan kekesalannya pada Erina.
Tanpa Frendian sadari, kabut di matanya membuat ia mengerjap berkali-kali.
TBC