"Di mana Bening, Mbok?"
"Non Bening tadi lari ke taman, Den."
Tanpa mau bertanya lagi, aku berlari mencari istriku. Mbok Narti benar, perempuan yang menjadi istriku itu berada di taman. Tepatnya di dalam gazebo dia tertunduk dengan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan yang ia taruh di atas lututnya.
Aku berjalan perlahan ketika sudah berada di dekatnya. Lambat laun langkah kakiku terasa berat. Tubuh ringkih itu bergetar, terdengar isak tangis yang begitu menyayat hati.
Kenapa mataku memanas? Kenapa hatiku teriris perih saat mendengar isakan tangisnya?
Aku segera mendekat lalu mendekapnya ke dalam pelukanku. Tubuhnya berjingkat kemudian, dia kaget sekaligus merasa jijik saat tahu siapa yang memeluknya. Tanpa merasa tak enak hati, ia menyingkirkan lengan-lenganku yang sedang melingkari tubuhnya. Pipinya yang memerah bekas tamparan Erina, basah oleh air mata.
Oh, sayang...maafin mas...
"Ngapain Mas Aslam ke sini?" tanyanya dengan ketus dan tak mau menatapku. Ia mengusap air mata yang terus mengalir di wajahnya. Sungguh, hatiku tak kuasa melihatnya seperti itu.
Hembusan nafas kasar terdengar ketika cukup lama aku menanti dirinya untuk menenangkan diri. Aku duduk di sebelahnya.
"Yank, apa kamu tahu di mana sekarang kita berada?"
Hening...
Ya, aku mengerti bila Bening belum mau bicara padaku.
"Tentu saja." dengan susah payah, akhirnya dia mau bicara padaku.
"Aku takkan pernah lupa," suaranya tercekat. Please, Yank, jangan menangis!
"Mas, jika di sini awal kita bersatu dengan janji suci yang Mas ucapkan, maka di tempat ini juga, dengan satu kalimat yang keluar dari mulutku, kita sebaiknya berpisah!" tegasnya menatapku dengan nanar.
Hatiku bergemuruh saat mendengar apa yang ia ucapkan. Hatiku bergejolak menentang keras putusannya.
Kesal? Marah? Tentu saja.
Bagaimana bisa istriku mengucapkan kalimat perpisahan seperti itu?
Dengan wajah yang memanas menahan kegeramanku, aku menatap wajahnya lekat-lekat. Tatapan sendu itu, bibirnya yang menjadi pusat perhatianku saat ini. Aku tak mau mendengar apa yang Bening katakan, aku mendekatinya. Tanganku bergerak menangkup kedua pipinya.
"Kamu sungguh-sungguh?" Aku mendekatkan wajahku di wajahnya, menyatukan hidung kami. Bening meronta, namun cengkraman tanganku di pipinya semakin menahannya.
"Tatap saya! Jangan menghindari saya lagi." menggesek bibirku di bibirnya.
"Mas_" wajahnya hampir menunduk tapi aku menahannya.
Tak bisa menahan diri lagi, aku membenamkan bibirku dalam kelembutan bibirnya. Melummatnya dengan hati yang menggebu dan penuh amarah. Dalam hati, jika istriku membicarakan soal berpisah atau perceraian, maka satu hukuman yang harus ia terima karena berani mengucapkan kalimat tersebut.
"M-mas!" menjauhkan tubuhku. Nafas kami terengah. Aku tak peduli jika ada orang yang melewati taman ini. Toh, kami suami istri yang sah. Segera, aku mengangkat tubuh istriku dan membawanya ke lantai atas kamar kami. Walau sepanjang itu dia meronta minta diturunkan.
***
"Mas, jangan lakuin hal itu lagi!" Bening meronta ketika tubuhnya berada di bawah kungkungan tubuhku.
"Kenapa? Bukankah berdosa jika kamu menolak suami?" menciumi leher dan dadanya. Aku menulikan pendengaranku.
"Mas, Mbak Erina..."
"Ssst..." meletakkan telunjuk di depan bibirnya, tak suka ia menyebut perempuan lain ketika keintiman tercipta di antara kami.
"Mas tapi kamu bau Mbak Erina!" semburnya kemudian, membuat aku terpaku.
Sial, aku tidak sempat membersihkan diri ketika jejak Erina masih melekat di tubuhku!
"Maka dari itu, hilangkan aroma Erina dari tubuhku!" Aku membentakknya, tak suka ia menyebut Erina disela percintaan kami.
Bercinta? Ya, aku ingin bercinta lagi dengan istriku. Mencummbu, menciumminya hingga puas lalu menenggelamkan tubuhku pada kehangatan tubuhnya adalah caraku menghilangkan jejak Erina di tubuhku.
Aroma tubuh istriku adalah candu untukku. Aku menginginkannya, sangat menginginkannya! Oh, istriku...
Bening terdiam ketika aku membentaknya karena tak suka membahas Erina. Ada ketakutan sekaligus kesedihan di matanya.
"Pliss, jangan sebut nama orang lain dalam percintaan kita. Hanya ada kamu dan juga Mas." menggesekkan bibirku pada bibirnya. Lalu menciummi pipinya yang masih memerah.
"Pliss, hilangkan aroma Erina dari tubuh Mas. Cuma kamu! Cuma kamu yang bisa membuat Mas melayang tinggi..." bisikku di telinganya.
"Mungkin, sekarang kamu marah dan benci, tapi Mas gak peduli. Kamu cukup diam dan menerimanya. Karena Mas yang akan membuatmu senang seperti biasanya..."
Aku menciumi lehernya dengan buas. Tak lupa gigitan kecil di leher dan bahunya membuat tambahan tanda bahwa dia milikku, karena sebelumnya aku sudah meninggalkan banyak jejakku di sana. Tanganku yang sudah bergerilya ke mana-mana pada akhirnya membuat istriku yang sedang kesal, bertekuk lutut di bawah kungkungan tubuhku.
Sore menjelang maghrib ini hanya dihiasi suara-suara desahan serta jeritan kenikmatan yang kami lakukan.
Aku, sungguh mencintainya. Mencintainya...
***
"Mau yang itu, Yank. Tambah itu juga." Aku menunjuk makanan apa saja yang hendak kumakan.
"Cuapin, Yank. Aaaa..." membuka mulut ingin disuapi.
Dengan enggan Bening menyuapiku. Dia tak banyak bicara. Mungkin hanya aku dengan wajah yang berseri-seri. Setelah membersihkan diri dari percintaan kami sebelumnya, kami melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Dan sekarang aku merasa sangat lapar. Kami makan bersama di dalam kamar setelah menyuruh Mbok Narti menghangatkan makanan yang dibawakan Bening sebelumnya. Kali ini dua porsi.
Bening makan dengan begitu lahap, dia bahkan sampai menambah porsi makannya. Mungkin karena aku terlalu menguras tenaganya.
"Lagi, Yank." dengan manja aku meminta lagi. Aku senang diperhatikan seperti ini.
Rambutku masih basah dan acak-acakan, tubuhku terasa segar. Dan sekarang makan dengan nikmat ditemani istri. Maka, nikmat mana yang KAU dustakan ini? Aku sangat bersyukur...
"Mas, aku serius dengan ucapanku," ucapan Bening menghilangkan binar senyum di wajahku. Aku menatapnya lekat-lekat yang tanpa mau repot-repot menatapku.
"Kita harus berpisah."
Aku menghentikan tangannya yang hendak menyendok makanannya. Seketika aku menciumm bibirnya dan mendorong tubuhnya di sofa.
"Mas!" dia mendorongku sekuat tenaga, lalu meringis kesakitan, lupa karena tangannya terluka.
"Kenapa?" panikku.
"Kenapa Mas menyerangku lagi?" kesalnya sambil memegang tangannya yang sakit.
"Mas akan menyerangmu kalo kata-kata itu keluar dari mulutmu!"
"Tapi, Mas-"
"STOP! Berhenti menyanggah ucapan Mas lagi." menggeram pelan lalu menghembuskan nafas dengan kasar mencoba meredam emosi lalu mengecup bibirnya. Ya, hanya dengan begitu aku takkan terlalu kesal.
"Suapin mas lagi," perintahku tak ingin dibantah.
"Makan sendiri! Tanganku sakit!" Bening beranjak dari sofa, mengelus tangannya yang dibalut perban baru karena berapa kali dia harus mandi akibat ulahku.
Terlepas daripada itu, ia mulai membangkang lagi rupanya. Apa sebenarnya dia ingin bercinta lagi denganku? Ayok, mas jabanin karena mas juga menyukai dan menginginkannya lagi.
Astaga...kenapa aku seperti seorang maniak sek ss?
"Wah wah wah...rupanya ada yang bersenang-senang di sini," sahut seseorang di ambang pintu. Erina sudah bersedekap di sana.
Bening hendak menghindari kami, namun tanganku menahannya supaya ia tetap berada di sini.
"Ngapain kamu ke sini?" aku bersikap sinis pada Erina. Padahal baru tadi pagi aku masih memperhatikannya di rumah sakit.
"Kenapa? Gak boleh kalo aku mau ketemu pacarku?" sudah bergelayut manja mendekatiku. Erina sengaja membuat gerakan sensual yang membuat Bening menghembuskan nafas kasar berkali-kali.
"Sebaiknya selesaikan urusan kalian. Aku mau keluar!" Bening melepas cengkraman tanganku lalu pergi tanpa mau menoleh lagi.
"Yank_"
"Honey, please!" Erina menahan wajahku agar tetap menatapnya. "Biarkan dia pergi,"
Langkah Bening terhenti ketika di ambang pintu. Lalu ia berbalik sambil bersedekap.
"Mas," panggilnya membuat aku menoleh.
"Aku serius dengan ucapanku tadi!"
Mataku melotot padanya, tak suka jika ia membahas perceraian di antara kami. Ekspresi wajahnya menantangku, ia membalas tatapanku dengan tajam.
"Ya, aku pernah bilang tunggu sembilan atau sepuluh bulan lagi, tapi tak usah menunggu lama, lebih cepat lebih baik. Dan kalian bisa bersatu kembali tanpa adanya gangguan orang ketiga sepertiku."
Hatiku bergetar, sungguh aku begitu takut jika pernikahanku hanya seumur jagung. Mengapa nasib percintaanku rasanya tak seberuntung orang lain?
Jika dulu aku masih bisa bertahan karena Erina menolak lamaran dan meninggalkanku, lain halnya jika aku ditinggal istriku.
Kalimat sakral yang aku ucapkan dengan menyebut nama Allah di dalamnya membuat aku sudah terikat padanya. Kami berdua melewati hari-hari bersama, atmospere yang sama, ruangan yang sama, tempat tidur yang sama, selimut yang sama dan penyatuan tubuh yang hanya ada nama kami di dalamnya.
Rasanya, aku sudah terbiasa akan kehadirannya. Senyumannya yang menenangkan, canda tawanya yang membuatku selalu terhibur. Aku bahkan terbiasa akan tingkah konyolnya. Sentuhannya yang menghangatkan, setiap perlakuannya yang mengurusi segala keperluanku, mana mungkin bisa aku kehilangan semua itu?
Aku bisa gila, sungguh aku takkan sanggup jika berpisah dengannya.
"Bagus, itu keputusan yang tepat." Erina menyahut.
"Kamu memang harus segera pergi dari kehidupan Aslam dan biarkan kami bahagia. Tempatmu bukan di sisi Aslam. Kamu hanya alat pemuas nafssu sementara yang beruntung mendapat gelar sebagai istri sah saja. Karena sampai kapanpun, Aslam akan tetap mencintaiku!"
"Cukup, Rin!"
"Why, Honey? Bukankah benar apa yang aku katakan? Mana mungkin hanya dalam beberapa bulan ini kamu mencintai gadis kecil sepertinya? Ada aku! Ada aku yang akan membuatmu bahagia jika istrimu itu ingin menceraikanmu!"
Tanganku mengepal, aku begitu dilema. Ya, mungkin benar, jika aku bercerai dengan Bening, masih ada Erina yang bisa aku andalkan. Waktu dua tahun hubunganku bersamanya tak memungkiri jika kami bisa menjalin hubungan yang baik.
"So, honey...hanya tatap diriku dan jangan goyah!" jemari tangan Erina menyusuri rahangku, menggodaku dengan lembut. Aku memejamkan mataku, merasakan sentuhannya yang terasa berbeda...
"Hei, nenek sihir bergincu merah! Aku memang akan menyerahkan Mas Aslam agar ia bisa bahagia bersamamu!" seru Bening membuat kami terfokus padanya.
"Apa yang kamu bilang barusan? Ne-nek sihir?" Erina gelagapan, tak percaya apa yang di dengarnya barusan. Begitu aku yang membeliak ketika Bening menyebut Erina seperti itu.
"Ya, nenek sihir bergincu merah!" Bening menegaskan kembali apa yang ia sebutkan pada Erina. Aku menahan tawa yang ingin meledak.
"Jaga sikapmu, Mbak. Karena aku masih istri sah Mas Aslam!" menatapku dengan tajam kemudian.
Bening berbalik lalu BLAMM!! Dia membanting pintu kamar dengan keras.
"Yank!" Aku hendak mengejar Bening, namun Erina menahanku. Dia malah menyosor untuk menciummku.
"STOP RIN! STOP!" Aku menjauh, tak ingin disentuh olehnya.
"Hentikan ini semua! Please!"
"Nggak, Hon! Aku mencintaimu...Kamu juga mencintaiku 'kan, Hon?" Erina terdengar frustasi.
"Sorry, Rin..." mengusap wajahku dengan gusar.
"Sorry..."
"Nggak, Hon! Kamu gak boleh seperti itu! Jangan bilang kamu jatuh cinta padanya padahal kalian baru beberapa bulan menikah?"
Aku mondar -mandir diikuti Erina yang terus mencecarku.
"Nggak mungkin..." kilah Erina.
"Aku gak tau apa yang aku rasakan padanya. Tapi rasanya aku menggila jika Bening menjauhiku. Rasanya ada rongga yang menganga di dalam sini!" memegang dadaku.
"Nggak, Hon..." Erina menggeleng.
"Aku...mencintainya!"
"NO, HON!! Itu gak benar! Katakan kalo itu BOHONG!!" teriak Erina, ia menutup kedua telinganya.
"Ini salah...pendengaranku pasti salah."
"Rin, ini gak salah. Kita benar-benar harus menghentikan ini semua!" Mengguncang bahunya.
"Kita bisa berhubungan dengan baik tanpa harus melibatkan perasaan masa lalu kita. Aku sudah mencoba ikhlas akan perlakuanmu padaku waktu itu. Kita tak berjodoh, dan aku sudah menemukan jodohku."
"Nggak, Hon! Kamu gak boleh bersamanya! Kamu hanya untukku!" memelukku dengan erat.
"Rin! Kamu harus ngerti!"
"T-tante..."
Aku yang sedang gusar seketika terpaku di tempat. Tante?
Shiiitt! Mama berdiri di ambang pintu sambil bersedekap menatap posisi kami yang membuatnya salah paham.
"Ma?"
***
EPILOG
BLAMM!!
Aku sendiri berjingkat kaget saat membanting pintu di belakangku. Mengusap berkali-kali perutku yang tanpa sadar ada yang sedang bertumbuh di dalamnya.
Apa yang sudah aku lakukan barusan?
Memukul-mukul mulut sendiri berharap bisa meredakan apa yang sebenarnya tak boleh di dengar 'si kecil'.
"Maafin bunda, Nak...Semoga kamu gak mendengar ucapan kasar bunda sama tante Erina..."
Semoga kamu baik-baik saja karena serangan ayahmu yang berkali-kali, benar-benar membuat kita tersiksa... :(
T.B.C