"Coba jelaskan, apa yang terjadi?"
Mama berucap dingin. Ia duduk bersedekap dan menatap kami lekat-lekat. Sekarang, kami duduk di ruang tamu setelah Mama memergoki aku dan Erina berduaan di dalam kamar, di waktu dan di saat yang tidak tepat.
Saat itu aku pikir jika Bening yang kembali. Ternyata dugaanku salah setelah terdengar Erina lirih memanggil 'tante' dan kami sama-sama terkesiap.
"Maaf, Bu. Non Beningnya sudah tertidur lelap. Dibangunin gak nyaut-nyaut," lapor Mbok Narti setelah diperintah Mama memanggil Bening. "Apa perlu si'mbok coba bangunin lagi?" tanyanya kemudian.
Mama menghela lalu menghembuskan napas kasar, kemudian bertanya, "Di mana Bening tidur?"
"Di kamar tamu, Bu."
"Apa Bening selalu tidur di sana?"
"Tidak, Bu. Biasanya sama Den Aslam."
Mama memandang lekat Mbok Narti, mencari kejujuran di dalamnya. Kemudian tatapan tajam terhunus padaku, seketika nyaliku menciut jika Mama sudah begitu.
"Oke, biarkan dia beristirahat. Kasihan mantu saya pasti kecapean. Menata hatinya," sindir Mama mendelik tajam.
"Sejak kapan perempuan itu tinggal di sini?" pertanyaan Mama membuat tubuh Mbok Narti menegang. "Saya sangat kecewa ya, Mbok. Kenapa si'Mbok gak lapor sama saya? Saya kan sudah wanti-wanti sama si'Mbok kalo ada apa-apa tuh bicara sama saya."
Mbok Narti terdiam, melirik takut menatapku.
"Sudahlah, ini memang bukan salah si'Mbok. Saya mengerti situasinya. Tolong Mbok pergi ke belakang dan beritahu jika putri saya sudah bangun."
Oh, Mama...sungguh aku tidak bermaksud dan ini tidak seperti yang Mama bayangkan.
"Maafkan saya, Bu. Kalo gitu, saya permisi dulu," pamit Mbok Narti meninggalkan kami bertiga dengan suasana yang mencekam.
Setelah kepergian Mbok Narti, Mama menatap kami dengan tajam. Kemudian ia menyesap teh hangat yang Mbok Narti suguhkan sebelumnya.
"Kenapa gak ada yang ngomong? Apa kalian bisu?" hardik Mama dengan dingin.
Aku dan Erina masih sama-sama terdiam. Mulutku menjadi kelu. Aku tak bisa menjelaskan semuanya pada Mama. Ini terlalu berat dan memalukan. Hal ini benar-benar membuat Mama kecewa. Tapi, ini gak seperti yang Mama kira.
"Saya kembali, Tante," Erina bersuara. "Saya dan Aslam akan menikah."
Aku menoleh padanya dengan melotot. Apa-apaan dia ini? Kenapa sesumbar seperti itu?!
Aku menggelengkan kepala dengan keras, berharap Mama percaya padaku.
"Ternyata cintamu pada Erina memang kuat, Nak. Mama benar-benar tak bisa membuat hatimu berpaling."
Aku menggeleng lagi, namun apapun yang ingin aku sanggah rasanya sulit keluar dari mulutku.
Mama menghela napas kasar lagi, beliau berusaha menahan emosinya. Terlihat jelas raut wajah capek akibat perjalanannya dari Hongkong. Mama belum beristirahat karena beliau langsung mendapati drama yang terjadi di rumah ini.
"Ma..."
"Kenapa kamu membiarkan perempuan itu tinggal di sini dan kembali bersamamu?" potong mama.
Aku kembali terdiam, sepertinya Mama tak mau memberikan kesempatan padaku untuk menjelaskan. Ck, padahal tadi Mama yang minta penjelasan dari kami.
"Ma, ini gak seperti yang Mama kira. Aku dan Erina hanya berteman. Gak lebih!" jelasku ingin Mama percaya.
"Iya, berteman yang akan menikah," ujar Erina membuat suasana hatiku semakin kacau.
"Diam kamu, Rin! Aku sudah bilang kalo di antara kita sudah berakhir," kesalku mendesis tajam.
"Berakhir gimana sih, Hon? Sedang kita aja tadi baru asyik bercinta." Erina bergelayut manja pada lenganku. Aku menepis dirinya dengan perasaan jijik luar biasa. Baru sekarang aku benar-benar sadar sikap Erina se-menyebalkan ini!
Dulu aku memang buta dan bodoh!
Terdengar hembusan napas kasar dari Mama, dengan elegant beliau meraih cangkir teh kemudian menyesapnya lagi.
"Drama apa ini? Mama benar-benar kehabisan kata-kata. Pantas saja mantu mama akhir-akhir bersuara parau jika sedang menelpon mama. Saat video call saja, wajahnya selalu memucat ketika mama tanya tentangmu. Wajahnya tersenyum, tapi tidak dengan matanya. Ada kesedihan di matanya yang ternyata penyebabnya_" ucapan Mama terhenti. Dia mengerjap-ngerjap matanya kemudian meletakkan cangkir teh di atas meja.
"Ma..." Aku merengek bagai anak kecil.
"Tante minta maaf, Erina. Tapi sebaiknya kamu pergi dari sini. Aslam sudah menikah dan mencintai istrinya. Jadi, demi kebaikan bersama, sebaiknya kamu menjauh dari kehidupan anak tante dan keluarganya."
Pengusiran Mama yang terang-terangan namun dengan nada yang tenang itu membuat Erina meradang. Dia bangkit dari tempat duduknya, kemudian menggebu.
"Nggak, Tante! Aku udah relain kerjaan dan karir aku di Paris hanya demi kembali pada Aslam karena aku sangat merindukannya. Aku menyesal karena dulu pernah ninggalin Aslam. Aku memohon pada pihak agensi di sana untuk mempercepat masa kontrakku dan kembali ke sini karena ternyata aku gak bisa jauh-jauh dari Aslam. Jadi, Aslam tak usah menungguku selama dua tahun."
"Tapi Aslam sudah berkeluarga, Erina!"
"Ya, aku tau, Tante. Dan itu semua karena Tante yang gak sabaran buat nikahin Aslam sama cewek norak yang gak jelas!"
"Erina!" Aku menghardik kesal, tak terima jika istriku dihina.
"Apa?" yang dihardik balas membentak. "Udahlah, Hon. Gak usah ditutupi lagi hubungan kita selama ini. Aku tau kamu masih sangat mencintai dan peduli padaku. Bahkan, kamu lebih membela diriku dibandingkan dengan istrimu yang sedang terluka tangannya itu"
Mama terperanjat, "Be-bening terluka? Kenapa, Nak?" Mama panik, membuat aku semakin bersalah.
Cih, benar-benar menyebalkan! Mengapa Erina menjelma menjadi wanita yang mengerikan. Benar kata Bening, dia nenek sihir bergincu merah!
Mengingat hal itu membuatku tersenyum kemudian tertawa sendiri, padahal situasi sedang menanas begini.
"Kenapa kamu malah ketawa? Ini tuh serius! Di mana letak lucunya?" Erina memekik kesal.
Ups, aku kelepasan saat mengingat Bening mengatakan hal itu.
Tidak, aku baru menyadari jika sifat Erina memang seperti itu dari dulu. Dia egois dan tak pernah memberiku kesempatan untuk mengemukakan pendapatku. Cintaku yang buta berhasil membuatku tertunduk di bawah kakinya. Jika diingat-ingat, dulu aku yang selalu banyak berpikir bagaimana caranya agar Erina senang dan bahagia. Aku yang selalu membujuk dan menghiburnya dikala ia sedang badmood ato ada masalah dengan pekerjaannya. Dan satu-satunya cara yang aku lakukan adalah mengajaknya belanja, membelikannya barang-barang bermerek kesukaannya sehingga membuat ia tersenyum kembali. Maka dengan begitu, ketika kami bercinta nanti, suasana hatinya merasa senang. Dia bisa memuaskanku.
Sungguh, ajaran yang buruk!
Sedang istriku, tak pernah aku mengajak atau memberikannya barang-barang bermerek. Walau ia sudah kuberikan kartu ajaib, Bening sama sekali tak pernah menggunakannya untuk kepentingannya sendiri.
Mengingat hal itu membuat hatiku terasa sakit. Suami macam apakah aku ini? Kenapa aku kejam sekali pada istriku sendiri?
***
EPILOG
Rasa haus menyerang ketika aku terbangun dari tidurku. Aku terlelap di kamar tamu setelah pergi meninggalkan kamar. Aku terduduk, kemudian mengedarkan pandangan di kamar ini. Teko berisi air minum tidak tersedia. Dengan enggan aku beranjak dari kamar untuk mengambil air minum.
Entah bagaimana bisa ketika aku menuju dapur, tak sedikitpun aku mendengar percakapan tiga orang yang ternyata sudah duduk di ruang keluarga. Lebih tepatnya suara Mas Aslam yang menggelegar mengalihkan perhatianku di saat yang tidak tepat.
Aku berjingkat kemudian merasa lega sekaligus karena melihat sosok yang sudah lama ingin aku temui.
"Mama..."
Tanpa memikirkan pijakanku, aku malah berantusias ingin segera memeluk wanita yang super baik itu. Langkah kakiku salah, alih-alih menginjak anak tangga berikutnya, aku malah terjun bebas sampai ke lantai dasar.
Niat mencari tameng pelindung dengan memegang sisian pagar tangga, tanganku sama sialnya malah terpeleset.
BRAK
PRANGG
BUGHH
Dan, begitu saja. Entah bagaimana aku terjatuh dengan posisi yang tidak mengenakkan untuk dilihat dari segimanapun juga.
TBC
Maafkan baru muncul setelah sekian purnama 🙏🏻
Smoga masih ada yang menanti kisah Aslam dan Bening beserta lika likunya Happy reading 💕