Kejadian setelah dari apartemen Frendian, di kamar mandi.
"Mas."
"Di mana, hah?! Di mana cowok breng*sek itu menyentuhmu?!" mengguyur serta menggosok-gosok tubuh Bening dengan kasar.
"Mas, sakit_"
"Di mana, hah?! Kamu harus dicuci bersih agar noda itu gak terus menempel di tubuhmu!"
"Aww, Mas...sakit...huhu..." Bening menangis, menunduk, serta meronta pun rasanya percuma dengan kondisi tangannya yang sekarang.
Tenaga Aslam yang jauh lebih besar dan sikapnya yang bak kesetanan sekarang tak memungkinkan dirinya untuk melawan. Semprotan air yang dingin membuat Bening tak berkutik. Suara gaduh dari dalam kamar mandi membuat Mama Eugene cepat-cepat menghampiri kemudian melerai apa yang Aslam lakukan. Namun, Aslam yang kalap tak mengindahkan suara teriakan Mama Eugene padanya.
Entah apa yang terjadi, yang jelas ketika Mama Eugene sedang rebahan di dalam kamar mendapat gedoran keras dari Mbok Narti yang melihat Aslam datang dengan menyeret istrinya tanpa alas kaki.
"STOP, Nak! Kasian istrimu!" histeris Mama Eugene mencoba melerai. "Sadar, Nak. Dia itu istrimu!" pukulan mendarat di punggung tak mengindahkan Aslam untuk berhenti menyemprotkan air pada tubuh Bening.
"DIAM, Ma! Perempuan ini harus dibersihkan agar ia terbebas dari noda," bentakan Aslam membuat Mama Eugene tak bisa berkutik.
"Berhenti, Nak. Kasian istrimu." Sudah menangis sambil gemetaran.
"Mas, ampun, Mas...udah...Aku minta maaf..." Bening mencoba berdiri dan hendak kabur.
Licinnya lantai kamar mandi membuat Bening terpeleset. Walaupun tangannya berhasil memegang sisian bathtub, namun kepalanya sempat terantuk dan terbentur. Telapak tangan yang masih terluka karena pecahan vas kristal pun terembes darah melalui kain kassa yang membalutnya. Seperti banyak karena kondisinya yang basah.
"Akh, apa yang kamu lakukan, Nak?" teriak histeris Mama Eugene. Ia mencoba membantu Bening untuk berdiri. "Kenapa kamu kasar sekali sama istrimu?!" memukul-mukul Aslam dengan kesal hingga telapak tangannya terasa panas.
Aslam terdiam, melepas semprotan air hingga jatuh ke lantai. Dia akhirnya sadar dan merasa syok dengan perbuatannya sendiri. Walau tidak disengaja, tetap saja membuat hatinya bergemuruh penuh dosa. Seluruh tubuhnya gemetaran.
"Hon...hon...kenapa kamu lemah sekali." Erina mencibir dan entah sejak kapan ia sudah berada di ambang pintu kamar mandi sambil melipat kedua tangannya.
Mama Eugene melihat Erina dengan murka, lalu menatap Aslam dengan tatapan kekecewaan. Segera beliau membantu Bening untuk berdiri. "Ayo, Sayang," ajaknya dengan suara parau.
Suara Bening yang menangis nyaring membuat suasana semakin kacau.
"Kenapa Tante masih saja menolong dia? Seharusnya Tante lebih peduli pada anak Tante sendiri. Mantu kesayangan Tante itu sudah berbuat dosa yang tidak bisa dimaafkan," ujar Erina merasa tak terima karena Mama Eugene masih perhatian dan membela Bening.
"Apa maksud kamu, Erina?" Mama Eugene mendelik sinis.
"Tante tanya saja sama Aslam. Atau...Tante tanya saja sama mantu kesayangan ini."
"Apa maksud semua ini, Sayang? Apa yang terjadi?" menatap Bening dengan sendu.
"M-ma...aku..." terisak-isak susah bicara. Mama Eugene mengusap-usap seluruh tubuh Bening dengan sayang dan penuh rasa iba.
"Tentu saja mantu kesayangan Tante itu gak akan mau bilang yang sesungguhnya," sela Erina yang mendapati sorotan tajam dari Mama Eugene.
"Ada apa? Bilang sama mama, Nak!" Beralih, mengguncang tubuh Aslam.
Aslam terdiam, air matanya menetes melewati pipinya tanpa ia sadari. Hati Mama Eugene mencelos perih melihat anak kesayangannya itu menangis. Dia tahu betul bagaimana keadaan Aslam tahun lalu yang ditinggalkan Erina. Meski tidak separah seperti sekarang, Mama Eugene merasakan bagaimana putra satu-satunya itu tersakiti sekaligus merasa berdosa.
"Pergi." Tanpa mau menjawab pertanyaan Mama Eugene, Aslam mengusir Bening dengan dingin.
"Mas..." isakan Bening membuat Aslam terguncang. Hatinya perih melihat istrinya menangis sampai susah bernapas. Namun, ia masih merasa murka.
"Saya bilang pergi dari sini sekarang juga! Dan mulai detik ini jangan pernah coba-coba menampakan diri dari hadapan saya!" usirnya menggelegar, tanpa hati dan tanpa mau repot-repot menatap Bening.
"Apa yang kamu lakukan, Nak? Mengapa kamu mengusir istrimu? Seharusnya perempuan j*l*ng ini yang kamu usir." Menunjuk Erina, Mama Eugene tak terima.
"Aku gak mau melihat wajahnya lagi, Ma! Mama gak usah belain mantu Mama yang sok suci ini!"
Aslam hanya takut ia akan luluh jika menatap wajah sedih istrinya. Padahal sekarang saja seluruh tubuhnya sudah gemetaran.
Tanpa mau menjelaskan apa-apa lagi, Bening bergegas pergi dari dalam kamar mandi. Rasanya percuma jika ia harus menjelaskan apa yang terjadi pada suaminya. Bicara pada mama Eugene pun, rasanya takkan membuahkan hasil. Terlebih, entah mengapa Bening begitu tak menyukai Erina berada di antara mereka.
Dengan keadaan basah kuyup, Bening memasuki ruang ganti, mengganti pakaiannya. Rasa perih di telapak tangan serta sakit di keningnya tidak ia pedulikan. Yang penting janin dalam kandungannya baik-baik saja. Ya, ia rasa begitu. Baginya, rasa perih di hatinya lebih sakit ketika ia memang merelakan suaminya bersama wanita yang dicintainya. Ada setitik tak rela dalam hatinya, namun mau bagaimana lagi? Bahkan Bening pun tak mengerti mengapa ia bisa berakhir di tempat tidur bersama Frendian. Dia harus minta penjelasan kepada Frendian nanti.
Malam itu, Bening keluar dari rumah besar suaminya dengan hati yang hancur. Mama Eugene dan Mbok Narti yang berusaha menahan Bening tetap tinggal tak mendapat perhatian dari Aslam yang membiarkan istrinya pergi tanpa hati.
***
Dua bulan berlalu sejak kepergian Bening dari rumah suaminya. Tak ada keceriaan dari rumah besar itu lagi. Mama Eugene yang sering mengurung diri dalam kamar pada akhirnya mengatakan apa yang terjadi pada suaminya yang sedang berada di Hongkong. Ia tak sanggup menahan semuanya sendirian. Tangis tak terbendung Mama Eugene lampiaskan pada suaminya lewat sambungan telepon. Betapa ia sangat merindukan menantunya dan betapa ia sangat prihatin kepada putra semata wayangnya.
Begitupun dengan Aslam yang memilih hidup kacaunya sekarang. Sekeras apapun ia berusaha menyangkal perasaannya lagi kepada perempuan yang beberapa bulan ini menemaninya, tetap saja, perasaan cinta itu memang nyata. Hidupnya kini dipenuhi alkohol, rokok dan dunia malam. Aslam bahkan tidak memikirkan penampilannya sekarang. Ia kembali ke dalam dunia kerja 24/7 tanpa memedulikan asupan gizinya karena semenjak Bening pergi, Mario tak pernah memunculkan batang hidungnya lagi.
Terakhir bertemu adalah malam itu, ketika Bening ia usir dengan kejam. Mario datang dengan membabi buta merangsek masuk lalu menghajar Aslam yang tidak melawan sama sekali.
Ya, dia memang sudah bersikap kejam dan kasar pada istrinya. Bahkan rasa gemetaran ini sedikitpun tak menghilang.
Erina kini yang sering kali bolak-balik ke kediaman Aslam selalu berusaha mendapatkan hati pria yang pernah mencintainya dengan sepenuh hati. Erina sadar, perasaan Aslam kali ini sudah tak sama lagi. Bahkan, pria yang dulunya disebut sebagai maniak s3ks yang tak pernah puas itu kali ini selalu menghindarinya.
Erina bahkan ingat sekali bagaimana Aslam tak bisa 'bangun' ketika ia menjebaknya untuk bercinta di kamar VIP kelab Rudy kala itu. Erina pikir, Aslam yang sedang mabuk dan hatinya yang kalut itu akan dengan mudah ia taklukan kembali. Sialnya, mengapa keperkasaan yang dulu sering membuatnya menjerit itu sudah tidak ada lagi?
TIDAK. Jelas-jelas Erina melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika Aslam menggauli istrinya. Bagaimana suara berhasrat yang dulu sering ia dengar itu menggaung di telinganya ketika Aslam sepenuh hati menatap penuh cinta ketika ia mendorong lalu menghentak kuat di atas tubuh istrinya dengan penuh kepuasan.
Erina yakin ia tidak salah. Jelas-jelas Aslam masih normal. Dia harus berusaha karena bagaiamanapun dulu seorang Aslam pernah sangat mendambakannya.
Kecup-kecup di sekujur tubuh yang masih terbaring dengan setengah sadar. Tangan Aslam mencengkram lengan atas Erina ketika tangan perempuan itu sudah berada di balik celananya.
"Yang?" Aslam memandang Erina samar-samar. "Sayang..." Memeluk Erina dengan sayang, membuat Erina membeku. "Jangan pergi lagi..." Kecup-kecup di pucuk kepala Erina.
Erina mengeratkan pelukannya di atas tubuh Aslam yang sedang memeluknya. Ada perasaan hangat yang menerpa hatinya. "Aku gakkan pergi ninggalin kamu, Hon."
"Maafin Mas, Yang. Kamu pasti kesakitan tadi. Maaf, Mas udah kasar. Mas pantes dilaporin kamu karena udah KDRT. Maafin mas, Yang...Maafin..." Dekap erat, kecup-kecup penuh cinta.
Erina terdiam, ada yang retak dalam hatinya yang sempat menghangat.
Aslam mengira dirinya adalah Bening.
Sampai Aslam tertidur, tak terjadi apapun malam itu. Hanya gumaman sepanjang malam yang keluar dari mulutnya dengan menyebut terus nama istrinya.
.
.
.
"Hon, ini bagus gak?"
"Hm."
"Ih, lihat dulu dong, Hon. Ini kan untuk pesta kita."
Aslam beranjak dari kursi kebesarannya. "Kamu urus sendiri saja. Lagipula itu pestamu sendiri. Aku sudah memberimu semua dananya." Tanpa mau repot-repot menoleh dua kali, Aslam pergi meninggalkan Erina di kantornya yang sepi.
Bukan masalah uang yang sekarang Erina minati. Ia hanya ingin Aslam mencintainya lagi. Aslamnya yang dulu tak pernah mengabaikannya seperti ini. Ia ingin Aslam yang manja, hangat dan bucin padanya. Meski ia harus melayani setiap hasrat yang meninggi dari pria itu, tapi Erina sangat menikmatinya. Sentuhan Aslam yang lembut, perlakuannya yang selalu menghormati dan menghargai di setiap kali mereka bertukar udara. Erina sungguh merindukan itu semua.
Erina menepis air yang menetes melewati pipi tirusnya. Kenapa rasanya harus sesakit ini? Sungguh Erina memang egois, ia ingin semua keinginannya terwujud.
Kamu harus jadi milikku lagi, Hon. HARUS!
TBC
"Erina...Erina...ckckck..."
"Jan galak² lagi ya, Mas... 🥺"