"Sayang!"
Aku bergegas menghampiri istriku. Bening terjatuh, tubuhnya sudah berada di bawah tangga dengan kedua tangan yang menopang tubuhnya. Persis seperti seekor katak yang hendak melompat. Betapa kagetnya aku saat itu ketika dia memanggil Mama lalu turun dengan tergesa tanpa melihat kalau dia sedang berada di anak tangga ke empat. Kakinya berpijak melewati ke empat anak tangga itu sekaligus, membuatnya terjatuh seperti sekarang.
Mungkin ia hendak menggapai ralling tangga untuk pertahanan diri. Namun nahas, tangannya yang sedang memegang segelas penuh air itu malah tak sempat memegang pinggirannya dan malah terjatuh mengenai vas kristal besar yang ada di ujung tangga. Segelas air yang ia pegang pun ikut terjatuh dan pecah berkeping-keping.
"Sayang, gimana keadaanmu? Its okay?" panik sekaligus cemas yang Mama rasakan menular padaku.
Tentu saja betapa takutnya kami menyaksikan orang yang kami cintai celaka, tepat di depan mata sendiri. Kami sudah berjongkok di dekatnya. Wajahnya memucat seketika.
"D-darah, Nak." Mama tergeragap. "Istrimu berdarah!" pekik Mama kemudian dengan hebohnya. Membuat Mbok Narti dan penghuni rumah berdatangan.
Darah itu tergenang bercampur air dari telapak tangan Bening. Membuat aku sejenak terbayang akan darah yang mengalir deras saat kecelakaan dulu.
"Kamu ini gimana, sih?" menarik tangannya. "Makanya hati-hati! Kamu mau mencoba bereksperimen dengan menjadi catty woman yang seperti Byan katakan, hah?! Bisa-bisanya kamu langsung melompati ke empat anak tangga itu. Sekalian aja kamu lompat dari lantai atas!"
Pukulan mendarat pada bahuku. Mama melotot dengan marah. "Kamu ini gimana? Istri terluka bukannya dibantuin malah diomelin!"
Aku terdiam. Benar sekali, kenapa aku malah marah? Padahal jantungku berdebar sangat kencang ketika melihatnya terjatuh seperti tadi. Hampir saja jantungku lompat dari tempatnya. Dasar mulut sialanku ini!
"Ayo, Sayang. Bangun, Nak." Mama membantu Bening untuk berdiri. Namun Bening tetap bergeming dan malah menggelengkan kepalanya. Malah duduk bertumpu pada lututnya.
"M-ma...itu gimana?" tanya Bening yang tak kami mengerti. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Apanya yang gimana, Sayang? Ayo, berdiri dulu. Tangan kamu berdarah, pasti kena pecahan gelas. Ini harus cepat diobati, lukanya cukup dalam," ajak Mama dan Bening masih bergeming.
"Itu gimana, Ma..." nada suaranya bergetar. Ia menatap pecahan vas dan yang berserakan. Air matanya menetes deras.
Kenapa istriku menangis? Apa perkataanku menyakitinya? Sungguh, aku merasa semakin bersalah padanya.
"Yang, ayo berdiri dulu. Kamu terluka, nanti bisa infeksi," bujukku mencoba membantu Bening untuk berdiri. Bening menggeleng. "Ada apa?" bingungku.
"Mas...itu gimana...?" air matanya semakin mengalir. "Itu gimana?..."
"Gimana apanya sih, Yang?" masih mencoba bersabar.
"Huhu..." malah nangis.
Aku dan Mama merasa panik. Sama seperti yang lain yang tentu saja merasa serba salah sehingga pada akhirnya Mama mengusir mereka. Baru kali ini aku melihatnya menangis seperti itu. Bagai anak kecil ia menangis tersedu-sedu yang tak kami mengerti apa penyebabnya.
"Kenapa? Kenapa kamu nangis?" panik mama. "Apa ada yang sakit lagi?"
"Sayang, Sayang. Hei, lihat aku! Maafin Mas karena tadi udah marahin kamu, oke? Mas minta maaf," sesalku mencoba menenangkannya.
"Aku gak nangis gara-gara Mas marahin aku...Mas ngomel-ngomel udah kayak makanan sehari-hari, kok...Aku udah biasa..." isaknya sesenggukan.
Mama melotot padaku. Apa-apaan sih kamu, Yang? Alamat penjara bawah tanah sedalam-dalamnya ini mah. Masalah dengan Erina aja belum selesai.
"Ya, trus kenapa?" menahan rasa kesal sekaligus malu.
"Vas kristal koleksi kesayangan Mama...pecah...itu hancur...huhu..."
Menatap pecahan vas yang hancur, kemudian aku dan Mama saling pandang. Seolah hanya kami berdua saja tahu meski dengan bahasa kalbu. Kemudian, aku terkekeh sambil menggelengkan kepala. Kulihat mama juga tersenyum karena tingkah konyol menantunya.
"Mama kira kenapa. Ternyata cuma vas doang.. Gapapa, Sayang." Mama menenangkan.
"Gapapa apanya...itu pasti mahal banget..."
Sebisa mungkin aku menahan tawaku.
"Ayo, bangun. Mama bilang gapapa. Kita obati dulu tangan kamu dulu," bujukku.
Bening bangun dan berdiri. Masih dengan air mata yang menderai. Pandangannya tak berpaling dari pecahan vas itu.
"Yang, kamu tau nggak?" bisikku sambil memapahnya duduk di dapur. Di ruang tamu masih ada Erina yang terabaikan.
"Apa?"
"Vas itu mama beli dari Jerman. Harganya seharga mobil lamborghini keluaran terbaru," bisikku menggodanya.
"Huwaaa..." Lha, dia malah menangis kencang. Aku tak bisa menahan tawaku. "Kenapa ketawa?" tanyanya sambil terisak.
"Kamu gemesin banget sih, Yang..." menguwel-uwel pipinya kemudian kecup-kecup sayang.
"Nak, kamu obatin dulu istrimu!" seru Mama. Ah ya, lukanya!
Menggoda istriku memang lebih menyenangkan dibandingkan apapun. Sifat pembangkangnya, songongnya dan sekarang cengengnya dia. Menangisnya bukan membuat aku merasa bersalah. Tangisannya malah membuatku tak berhenti tertawa.
Kenapa dia bisa menangis sehisteris itu cuma gara-gara vas kristal Mama pecah, coba? Ia kayak anak kecil yang takut dimarahin ketika melakukan kesalahan.
***
Netra indahnya menatap kegiatan yang terjadi setelah suara gaduh itu menginterupsi percakapan mereka. Ia melihat Bening terjatuh dan Aslam serta Eugene yang begitu paniknya ketika melihat darah yang menetes dari telapak tangan gadis itu.
Erina bergeming di ruang tamu. Ia benci pemandangan itu. Ia merasa hidupnya tak adil. Penyesalan datang bertubi-tubi. Membuat rasa cemburu dan benci yang ia pupuk semakin subur ketika seorang Aslam yang dulu tergila-gila padanya kini mencintai perempuan lain.
Segala perhatian yang dulu ia dapatkan, kini kasih sayang itu Aslam limpahkan kepada perempuan yang menjadi istrinya. Dengan segala kekurangan yang dimiliki Bening, Erina merasa kalah telak. Baginya, mau dilihat dari sisi manapun juga, Erina jelas jauh lebih unggul dari siapapun. Hanya keberuntunganlah yang Erina akui bahwa ia jauh dari kata itu.
Suami yang penyayang, perhatian dan mencintainya lebih dari apapun tak bisa ia dapatkan karena sosok itu telah menjadi milik orang lain.
Frendian? Memikirkan pria itu membuat Erina muak. Dia telah salah sangka jika harus terus menggantungkan hidup pada pria yang merenggut kesuciannya itu.
Dengan kasar, Erina menepis bulir kristal yang menetes melewati pipi tirusnya.
Ya, mungkin sebaiknya ia menjauh. Nanti, sebentar saja, ia pasti akan kembali merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Eugene melihat Erina dari sudut matanya. Erina pergi dan Aslam — putranya itu tidak mengejarnya. Eugene cukup berpuas diri meski ia harus menyakiti sebuah hati. Demi kebahagiaan putranya, ia akan melakukan apapun. Sudah cukup putranya menderita, ia tak ingin putranya terpuruk untuk kedua kalinya.
"Cepat bawa Bening ke klinik terdekat saja, Nak. Itu lukanya cukup dalam, takutnya infeksi," perintah Eugene menyadarkan apa yang harus Aslam lakukan.
Segera, Aslam membawa Bening, meninggalkan semua hal yang sebelumnya terlalu rumit untuk ia urai lalu jalin satu persatu.
TBC
Up dulu, koreksi kemudian 😬
Jan lupa tinggalin jejak kalian ya readers 😉