Bening mematung di tempat ketika langkah kakinya sudah berada di depan aula hotel dimana acara pesta ulang tahun Erina diselenggarakan.
Dekorasi yang elegant.
Kata itu yang terucap dalam hati Bening. Dekorasi cantik yang serba kemerahan itu membuat Bening insecure pada diri sendiri. Itu memang cocok dengan karakter Erina dan ia pantas menjadi pasangan suaminya. Berbanding terbalik dengannya saat ini. Ia melihat gaunnya sendiri. Gaun yang cantik tapi ia merasa tidak cocok dengan tema pestanya.
"Kenapa?" setelah menunggu beberapa saat, Mario membuyarkan pikirannya. "Mau balik lagi aja?"
"Emmh...aku rasa gitu, Bang. Mereka semua luar biasa sedang aku cuma biasa-biasa aja. Aku gak PeDe." Bening memelankan suaranya di akhir kalimat, melihat penampilannya sendiri. Melihat bagian perutnya, entah mengapa ia begitu sedih.
Bukan maksud menyembunyikan keberadaanmu, Nak. Bunda cuma sedih karena bunda gak bisa berbangga diri.
Mario mengerti kemana arah pembicaraan Bening. Lelaki itu berujar, "Apa abang bilang, kamu tuh ngeyel kalo dikasih tau! Gini, kan, jadinya," omel Mario berpura-pura kesal.
"Ih, Abang kok malah ngomel sih?" Mengerucutkan bibirnya sebal, namun langkah kakinya mengajak Mario untuk tetap masuk.
"Lagian kamu maksain banget, sih!" Hah, mood swing ibu hamil memang beda, bathin Mario.
"Maaf, undangannya, Mas." Petugas penerima tamu undangan menahan Bening dan Mario saat hendak masuk ke dalam aula hotel.
"Oh, ya." Bening mengeluarkan undangan yang diberikan Erina padanya. Petugas pun mempersilahkan mereka masuk setelah memeriksanya.
Gelayutan tangannya semakin mengerat ketika langkah kakinya sudah benar-benar berada di dalam ruangan pesta. Suara musik semakin terdengar dengan jelas dibarengi riuh ricuh obrolan tamu pesta sambil menikmati hidangan. Sang pemilik pesta belum muncul dan acara belum dimulai.
Yuni dan Iman datang menghampiri Bening. Mereka tiba lebih dulu karena membawa pesanan cake ulang tahun dan bunga untuk dekorasi pesta yang Erina pesan pada tokonya. Tak lupa mereka juga menyediakan aneka dessert yang disajikan untuk tamu undangan.
Sejenak, Bening sempat berpikir Erina melakukan hal yang picik karena bisa saja ia memesan cake, bunga dan lainnya pada toko kue kenalannya yang lebih terkenal. Tapi, Bening urungkan mengingat orderan besar yang ia terima kali ini cukup menguntungkan untuknya dan juga untuk dua pegawainya tersebut. Ada rasa bahagia bila melihat kesibukan yang dilakukan Yuni dan Iman karena mereka begitu giat menerima orderan besar seperti ini. Padahal, tak sedikit pula pesanan cake dan bunga yang terus mengalir setiap harinya.
"Semuanya beres, kan?"
"Rebes, Mbak. Aman, terkendali." Dalam wajah capeknya, Yuni tetap terlihat riang.
"Gua makan dulu ya, Bang. Laper nih..." Iman pamit mencari makanan setelah Mario mempersilahkan. Disusul Yuni setelahnya. Ada untungnya juga mereka bisa menikmati hidangan pesta selain dessert yang mereka buat sendiri.
"Kamu mau makan sesuatu gak?" tawar Mario ketika menyadari rona wajah adik angkatnya itu sudah memucat.
"Aku belum lapar, Bang."
"Tapi anak lo lapar." tanpa mau memedulikan penolakan Bening, Mario pergi meninggalkannya menuju tempat prasmanan yang tersedia berbagai macam makanan dan minuman. Tapi sebelumnya, Mario sudah menyuruh Bening untuk duduk di tempat yang nyaman.
Selama dua bulan bersama setiap hari, membuat Mario paham arti wajah yang memucat itu. Kehamilan membuat adik angkatnya itu cepat lapar. Mario berjalan sambil tersenyum geli melihat tingkah Bening yang terkadang mulut berkata tidak, tetapi mulut itu juga yang selalu menandaskan setiap makanan yang masuk ke dalamnya.
***
Tak ada tanda-tanda orang itu hadir. Apa belum muncul? Mata Bening terus berkeliaran mencari sosok yang selama dua bulan ini tidak dilihatnya. Kali ini dalam artian benar-benar tak bertemu.
Sungguh, apa Mas Aslam membenciku? Apa Mas Aslam benar-benar melupakanku?
Hati Bening bergemuruh, matanya tiba-tiba memanas. Tahan, tahan, tahan...
Dia menghela lalu menghembuskan napasnya berkali-kali.
"Manis, apa itu kamu?" suara lembut itu mengalihkan perhatiannya. Bening mengerjap, kemudian menyusut buliran yang turun dari matanya dengan cepat.
"Mas Dian?"
"Mas?" Frendian memiringkan kepalanya.
"Maksudku, Kak."
"Haha, gak papa, aku senang kok kalo dipanggil mas. Hei, apa kabar?" senangnya Frendian ketika meyakini bahwa perempuan yang disapanya benar-benar Bening. "Beneran ini kamu, kan?" membentangkan tangan hendak memeluk.
"Iya, Mas. Eh, Kak." Bening menyambar telapak tangan Frendian lalu tanpa sadar menyalimnya.
Apa-apaan sih, Bey! Gimana kalo Mas Aslam lihat? Bening merutuki diri sendiri.
"Assalamu'alaikum...apa kabar, Kak?" Karena kikuk, segera melepasnya kemudian.
Cih, padahal belum tentu juga Mas Aslam peduli.
Frendian mematung seketika. Ia merasa salah tingkah ketika Bening tiba-tiba menyalimnya begitu saja. Tak pernah ia mendapat perlakuan seperti yang Bening lakukan padanya. Hal yang sudah biasa ia terima adalah pelukan ataupun ciuman ala luar negeri.
"B-baik," jawab Frendian dengan gugup. Hatinya masih berdebat tak karuan. "K-kamu gimana?"
"Wa'alaikum salam...dijawab dong salamnya." Tutur lembut Bening yang sambil tersenyum manis, membuat Frendian semakin gelagapan.
"Eh, wa-wa'alaikum salam..."
"Aku baik kok, Kak."
Cantik...
Walau dalam kegugupannya, hati Frendian tak bisa dibohongi kalau perempuan yang ada dihadapannya ini begitu sempurna. Selama dua bulan ini, bagaimana hubungannya dengan Aslam setelah kejadian waktu itu? Bahkan, perempuan ini tidak sedikitpun menanyakannya ataupun menghindarinya. Terbuat dari apa hati perempuan ini?
"Sendirian?" Frendian berdehem setelah mengusir rasa canggung dan segala pertanyaan dalam benaknya. Biarlah, ia akan menunggu sampai Bening membahasnya.
"Sama gue!" Mario muncul dengan tatapan tajam. "Nih, makan dulu." memberikan piring kecil namun berisi penuh makanan kepada Bening.
"Bang, apaan ini? Ini mah porsi Abang kalo lagi makan!" Meski bersungut-sungut, masih menerima piring tersebut.
"Udah...makan aja." Mario tau piring penuh makanan itu akan habis dalam sekejap.
"Frendian." tanpa diminta, Frendian mengenalkan diri. "Call me Dian saja." mengulurkan tangan pada Mario.
Lirikan jengah Mario pada uluran tangan itu tak ditutup-tutupi. Bukan tidak mungkin ia tidak mengetahui siapa pria yang sedang mengenalkan dirinya itu. Karena jauh sebelum Bening menikah dengan Aslam, sedikitnya Mario tau jika Frendian adalah bos sekaligus manager Erina. Dan Mario tahu bagaimana pria yang sedang berbinar menatap Bening makan saat ini adalah seseorang yang bertanggung jawab atas kehancuran mental sahabatnya dulu dan juga rumah tangga adik angkatnya ini. Meski demikian, Mario juga tidak membenarkan sikap Aslam yang dengan begitu saja mengusir istrinya tanpa hati bahkan sampai detik ini tak ada usaha untuk memperbaiki segalanya.
Sahabat? Ah, tidak, mantan sahabat!
"Bang, gak boleh gitu." Bening menyenggol Mario agar menerima uluran tangan Frendian.
"Mario," balas Mario dengan malas.
"Bey, kita makan di sana aja," ajak Mario kemudian menarik Bening dengan membawa piring makannya, meninggalkan Frendian tanpa berbasa-basi.
Frendian tersenyum getir melihat punggung kedua orang yang pergi meninggalkannya begitu saja. Jika sudah begini, tindakan apa yang seharusnya ia lakukan? Sejujurnya Frendian yang paling tahu jika selama ini tindakannya adalah salah.
Melihat sekeliling dekorasi pesta kali ini, Frendian mengepalkan kedua tangan dengan erat.
TBC
Yok tinggalin komen kalian š¤