"Kesiangan, eih?" Mario mendelik, meledek sekaligus menyindirku.
"Design project tambahan untuk Mr. Kwon, apa sudah ready?" tak mau merespon ledekan Mario, aku mengalihkan pembahasan.
"Hm. Apa Cibey baik-baik saja?"
Tak mau merespon apapun pertanyaannya, aku memejamkan mata dengan punggung yang bersandar pada kursi kebesaranku, dimulai ketika aku tiba ke kantor tadi. Sungguh, yang bisa aku lakukan saat ini adalah berusaha meredakan gairah yang sudah memuncak. Sialnya lagi, membayangkan wajah istriku malah membuatnya tak menyurut.
Kenapa kamu bisa semanis itu sih, Yang? Kamu sungguh tak terduga bisa menciumku seperti itu. Andai saja tak ada janji temu dengan klien, sudah pasti aku akan menariknya ke kamar lalu mengurungnya seharian.
Tak sabar ingin segera sore hari lalu pulang dan disambut istriku dengan senyuman manisnya.
Hp-ku bergetar, ada satu pesan masuk di dalamnya.
[Hon, bisakah kamu datang ke hotel xxx? Aku kesulitan jika sendirian. Mama Eugene keterlaluan sekali memisahkan kita seperti ini. Aku mengerti kesulitanmu untuk memilih, tapi aku yakin kamu akan tetap membelaku, kan?]
Helaan nafas kasar yang bisa aku lakukan saat ini. Entah apa yang harus aku lakukan pada Erina. Bagaimanapun, dia adalah perempuan yang pernah mengisi hatiku. Masa lalu tetaplah masa lalu, tapi tak bisa dipungkiri kenangan itu tetap melekat di masa sekarang.
[Hon, tolong jangan abaikan aku. Aku benar-benar membutuhkanmu. Aku tak bisa hidup jika tak ada kamu]
Membutuhkanku? Tak bisa hidup jika tanpaku? Lantas, kenapa bisa setahun kemarin kamu tak membutuhkanku dan masih bisa hidup?
Bening...
Menyebut nama istriku bagai mantra, aku bisa mengalihkan Erina dari pikiranku.
Ya, tunggu sebentar lagi, Yang. Mas pastikan kita akan hidup bahagia setelah ini.
***
Sore hari ketika aku cepat-cepat pulang ke rumah setelah menyelesaikan meeting kerja sama dan mendapatkan proyek keberuntungan lagi dan lagi. Rasanya Tuhan memang sungguh mengalirkan rezeki setelah menikah yang terus melimpah. Hal itu membuat aku semakin ingin segera menemui istriku di rumah. Apa yang sedang dilakukannya ya?
Mbok Narti menyambut kedatanganku. Tanpa bertanya aku segera bergegas naik ke lantai dua menuju kamarku. Dengan perasaan yang membuncah aku perlahan-lahan membuka pintu kamar. Bayanganku saat pintu terbuka adalah melihat perempuan yang sedang duduk berselonjor di atas tempat tidur sambil menggulir layar ponselnya lalu memyambut kedatanganku dengan tersenyum hangat. Atau...aku yang mengagetkannya ketika dia sedang duduk di teras balkon, menikmati suasana sore hari yang menyejukkan?
Tentu saja semua itu, nihil!
Suasana kamar terasa hening dan dingin karena sosok yang aku bayangkan tak ada di dalamnya. Bahkan aku sendiri yang menyalakan lampu kamar saat ini.
"Yang? Sayang!" memeriksa ke ruang ganti maupun kamar mandi.
Awalnya aku merasa biasa saja, tapi ketika aku bertanya pada Mbok Narti dan juga Mama yang baru saja keluar dari kamarnya mengatakan bahwa Bening pergi beberapa saat ketika aku sudah berangkat ke kantor. Mereka pikir Bening menyusulku atau pergi ke toko karena kebetulan saat itu Bening pergi dengan tergesa.
"Hallo, Yun? Apa Bening ada di toko? Hah? Oh, gitu, ya? Oke gakpapa. Makasih, Yun."
Menggulir layar ponsel, aku memastikan tak ada satu pesan pun yang dikirim istriku, detak jantungku semakin berdegup kencang. Bahkan, tanganku terasa gemetaran ketika menekan simbol panggilan untuk meneleponnya, menanyakan di mana keberadaannya. Hatiku bergemuruh, perasaan takut hinggap tanpa bisa dicegah.
Satu nada panggilan tersambung, hingga nada-nada berikutnya tak sekalipun dijawabnya.
"Gimana, Nak?" pertanyaan Mama yang sama cemasnya pun tak membuat aku merespon ucapannya.
Aku mengacak rambut kepalaku. Istriku hari ini tak datang ke toko. Mana mungkin, mengingat kondisi tangannya yang terluka seperti itu, ia takkan berani datang ke sana karena pasti akan merasa gatal jika tidak membantu Yuni membuat cake dan mengurus bunga-bunganya.
"Istrimu tak ada di toko juga?" Mata Mama sudah berair. Sama seperti Mama aku pun cemas.
Lihat, betapa Mama sangat mencintai istriku sampai-sampai segala macam rasa tidak beliau tutupi dariku yang notabene adalah anak kandungnya.
Kucoba menghubungi lagi istriku. Beruntung kali ini langsung terjawab begitu saja.
"Yang? Kamu ke mana? Kamu tau gak hukumnya jika keluar rumah tanpa izin dari suami? Setidaknya bilang kek sama Mama ato sama orang yang di rumah!" Bentakku tak bisa ditahan, padahal sudah gemeteran seluruh tubuh.
[Hallo, Hon?]
"Erina? Kenapa hp istriku ada sama kamu?"
[Is...tri?]
"Jawab! Di mana istriku? Kenapa hp-nya ada padamu? Jangan main-main Erina, ini sama sekali tidak lucu!" tak bisa menahan diri aku membentak Erina yang bertele-tele.
[A-Aku menemukan hp ini ada di apartement Frendian]
"Apartement Frendian apanya? Mengapa Bening ada di sana?"
[Please deh, Hon. Daripada kamu marah-marah gak jelas, lebih baik kamu ke mari sekarang. Aku juga gak tau kenapa hp ini tergeletak begitu saja di lantai ruang tamu. Aku ke mari karena ada urusan dengan Frendian. Aku tunggu kamu nanti di lobby]
"Baik, kirim aku alamatnya!" tanpa mau mendengar Erina lagi, aku menutup panggilan dengan sepihak. Kemudian bergegas menuju alamat yang Erina kirimkan untuk menyusul istriku. Sebenarnya banyak hal yang berkecamuk dalam pikiranku. Sehingga pertanyaan dari Mama pun, aku abaikan begitu saja karena fokusku hanya ingin segera sampai di tempat tujuan.
***
Wanita bergaun merah itu sedang berdiri menyambut kedatanganku. Benar saja, Erina menungguku di lobby apartement. Sejenak aku terpaku memandang wajahnya yang pernah kurindukan itu. Tidak, aku tak boleh goyah kali ini. Sudah aku putuskan jika aku harus memilih istriku yang keberadaannya jelas-jelas memenuhi hari-hariku selama beberapa bulan ini. Erina hanyalah masa laluku, sedang Bening adalah masa depanku.
Tanpa basa basi aku bertanya pada Erina, kemudian ia membawaku ke unit dimana Frendian tinggal.
Pintu terbuka ketika Erina memasukkan kata sandi. Suasana apartement terasa sunyi saat aku masuk ke dalamnya. Ada sepasang sepatu kets putih yang sangat aku kenal tergeletak di lantai. Menggelengkan kepala, menepis semua hal buruk yang akan terjadi.
Erina berjalan cepat menuju salah satu pintu ruangan yang tertutup rapat itu. Ia membuka pintu kemudian bergeming di tempat. Rasa penasaran menuntunku untuk mendekatinya, melihat apa yang sedang Erina lihat juga.
Ya Tuhan....
Tolong bangunkan aku jika ini adalah mimpi. Cepat sadarkan aku dari mimpi buruk ini!
TIDAK! Apa yang aku lihat ini bukanlah nyata.
"Dian!" Erina mengguncang bahu polos Frendian yang sedang tidur memeluk seorang perempuan.
Frendian mengerjap, melihat-lihat situasi yang sedang terjadi. Pandangannya kemudian terarah pada perempuan yang berada di sampingnya, dalam dekapannya. Sekejap ia terkesiap, namun kemudian ia malah fokus memandang perempuan yang sedang terlelap di atas lengannya. Tangan Frendian yang bebas begitu memuja, menyingkirkan sulur-sulur yang menjuntai dari wajah sang perempuan. Kemudian dengan kurang ajarnya ia semakin mendekap perempuan itu ke dalam pelukan hangatnya sehingga ia mencium puncak kepalanya juga.
'BRENGSEK!" Aku meringsek maju, melayangkan bogem mentah di wajah Frendian.
Gerakan tak terduga itu membuat perempuan yang sedang tertidur itu akhirnya terbangun. Ia mengerjap, kemudian memindai situasi. Masih dalam pemenuhan kesadaran, aku menyentak lengan atasnya.
"Mas Aslam?"
"Apa yang kaulakukan di sini?" Sambil mendesis aku memandang lekat-lekat wajah istriku, Tanpa sadar mencengkram kuat tangannya sehingga ia meringis.
Aku yang gelap mata tak peduli apa yang Bening rasakan. Menariknya keluar meninggalkan Frendian dengan tatapan bertanya-tanya.
"Mas, ini gak seperti apa yang kamu pikirkan." Bening mencoba menjelaskan.
"Masuk!"
"Mas_" gak mau mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya, dengan kasar aku mendorongnya masuk ke dalam mobil.
Memutari mobil, aku masuk kemudian melajukannya dengan kasar. Menginjak pedal gas dengan kecepatan di atas rata-rata, aku mengemudi seperti orang yang kesetanan.
Satu hal yang tanpa kusadari ketika menariknya adalah: Istriku tidak memakai sepatunya.
Ada rasa bersalah ketika melihat kakinya yang tanpa alas itu terlihat kotor dan terluka. Menepis semua rasa itu aku memejamkan mata sambil menghembuskan napas kasar, berusaha menata hatiku yang sedang pecah berkeping-keping saat ini.
TBC
"Aslam lagi terpotek-potek 😔 Ada apa dengan Bening?"