"Kenapa?" tanya Edwin pada Irwan saat mendapati Aslam yang sedang duduk dengan frustasi sambil menikmati coktail-nya.
"I don't know," jawab Irwan menaikkan kedua bahunya.
"Hai, Bro. Tumben banget kemari," sapa Edwin, yang langsung duduk di sebelah Aslam.
Aslam melirik sekilas tanpa mau menjawab. Edwin hanya bisa berdecih sebal, tahu bagaimana watak temannya di sebelahnya.
"Ada masalah sama Bening, eih?" sahutan Rudy yang tiba-tiba bergabung dan duduk di sebelahnya, membuat Aslam menatap tajam dengan kesal. "Dugaan gue bener ternyata." menyunggingkan senyuman sinis, menyesap coktail yang disuguhkan Irwan kemudian. "Apa harus kuberitahu Bening jika suaminya berada di sini?"
BRAKK
Gebrakan di meja bar membuat semua orang yang sedang duduk terkesiap kaget.
Rudy hanya terkekeh, menatap coktailnya yang tercecer akibat gebrakan tersebut. Edwin dan Irwan yang menyaksikan interaksi kedua pria tersebut hanya melongo dan diam tanpa mau menimpali.
"Calm down, Bro. Ya...kalo lo gak mau Bening tau, gue gakkan kasih tau dia. Lagi pula, gue juga gak tega ngasih tau kalo suaminya kembali ke tempat seperti ini," ujar Rudy yang entah mengapa terdengar sangat menyebalkan di telinga Aslam.
Ponselnya bergetar, Rudy mengangkat panggilannya.
"Hai, Son. Ada apa? Wait, papi pulang bentar lagi. Oke, sebentar lagi, Nak. Iya...i know, i have promise with you kalo papi akan pulang tepat waktu. Hah? Siapa yang marah? Mami Bening? Haha...oke...oke jangan adukan papi sami mommy-mu, oke? Papi pulang sekarang. Bye..."
Rudy menutup panggilannya dengan sumringah. Diliriknya pria di sampingnya yang sedang menatapnya dengan tajam. Masih tidak mau berkata-kata, tatapan penuh benci namun menyimpan kesedihan yang mendalam itu tak bisa ia sembunyikan di hadapan teman-temannya. Yang bisa Aslam lakukan adalah mengepalkan tangannya.
"Sorry, tapi Byan masih menganggap Bening, mommy-nya," jelas Rudy membuat Aslam mengalihkan pandangannya.
Bayangan kejadian di apartement Frendian membuat Aslam semakin mendendam benci. Ia tak menyangka istrinya akan melakukan hal yang menjijikan seperti itu. Dia pikir istri polosnya terlalu baik jika melakukan hal-hal di luar nalar. Tak menyangka istrinya tak sebaik apa yang ia kira. Mamanya salah, pilihannya juga salah!
Ia merasa seharusnya benar lebih memilih Erina dan terus bersamanya.
Tepukan di pundak membuat Aslam menengok. Erina, wanita itu ada di sampingnya. Maka hatinya semakin yakin jika Erina wanita yang tepat untuknya.
"Hon..."
Aslam menundukkan kepalanya di atas meja bar, menenggelamkan wajah di kedua tangannya yang dilipat. Pundaknya bergetar, entah mengapa perasaannya sesakit itu. Bahkan, Erina yang ia pikir pilihan yang tepat tak bisa menggantikan posisi Bening di hatinya.
Rudy, Edwin, Irwan dan juga Erina hanya bisa bergeming menyaksikan bagaimana lelaki angkuh dan biasanya bossy itu menangis di antara suara sorak sorai musik yang berdentum kencang menghiasi ruangan kelab malam itu.
***
Ruangan itu temaram. Aku terbangun yang entah berada di mana. Samar-samar kulihat langit-langit kamar yang tak asing bagiku. Ya, ini VIP Room salah satu kamar khusus yang berada di kelab Rudy.
Sebelah tubuhku terasa hangat. Sejenak aku senang dan memprediksi siapa orang yang berada di sebelahku. Tanpa mau membuka mata bulat-bulat, aku berbalik lalu memeluk erat perempuan yang ada di sebelahku itu dengan senyuman yang menghias bibirku.
"Sayang..." bersikap manja dengan menenggelamkan wajahku di ceruk lehernya.
Sejenak aku lupa akan kejadian kemarin dan aku mengira semua itu mimpi buruk yang hinggap sementara. Namun...
Aromanya berbeda...
Seketika mataku terbuka. Melihat jelas siapa perempuan yang sedang tertidur dan aku dekap erat dalam pelukanku. Erina!
Ya Tuhan...
Kenapa harus Erina dan kami berdua sama-sama 'polos'?
Oh, apa yang sudah aku lakukan? Tepatnya apa yang kami lakukan?
Teringat akan kejadian beberapa jam lalu.
Bening...
Sial, cairan yang mengalir di sudut-sudut mataku malah mengalir begitu saja. Kenapa aku sesedih ini hanya karena aku merasa dikhianati oleh istriku sendiri?
Sedang aku saja selalu melakukan apapun yang aku mau, termasuk membiarkan Erina memasuki kehidupanku lagi.
Lantas, mengapa aku dan Erina sama-sama tak berpakaian sekarang? Aku sungguh tak ingat apa yang terjadi di antara kami semalam. Seingatku, aku banyak minum semalam lalu tertidur.
"Hon, mau ke mana?" suara parau Erina menghentikanku saat hendak memunguti pakaian.
Jika dulu melihat Erina yang seperti itu, selalu berhasil membuat aku ingin menerkamnya lagi. Tapi sekarang, aku malah seperti seseorang yang hendak kedapatan mencuri dan tak bisa kabur.
"Hon, mau ke mana?" ulangnya bertanya.
"Aku harus pulang," jawabku dengan dingin. Aku tak ingin terlihat gugup di depannya, walau banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya tentang kejadian semalam dan kenapa kita berakhir seperti ini, di sini.
"Hon, kamu mau ninggalin aku gitu aja? Setelah apa yang sudah kita lakuin semalam?" Erina tergelak.
Lantas, apa yang sudah kita lakukan? Beri aku jawabannya!
"Ayolah, Hon...kamu mau ke mana, sih?" menghampiri dan bergelayut manja memelukku dari belakang. Erina sengaja menempelkan dadanya yang terasa di punggung.
Aku menghindar, mengangkat tangan supaya Erina tidak mendekat.
"Hon_" tanpa mau repot-repot mendengarnya bicara, aku bergegas berpakaian kemudian keluar.
Hari sudah terang ketika aku keluar dari gedung kelab milik Rudy ini. Ah, sialan! Mengapa teman-temanku tidak mencegahnya?
Mengabaikan sapaan petugas keamanan, aku bergegas menuju mobilku yang terparkir sebagai penghuni satu-satunya.
***
Membanting pintu kamar kemudian segera masuk ke dalam kamar mandi, aku menguncinya lalu berdiri di bawah shower. Tanpa repot-repot membuka pakaianku, aku membiarkan airnya membentur rambut kepala. Memejamkan mata di bawahnya, aku menangis bersamaan air yang mengalir.
ARRGHHH!!!
Memukul-mukul dinding kamar mandi tak membuat aku merasakan rasa sakitnya.
Berharap ini hanya mimpi buruk, aku ingin segera bangun.
"Nak? Kamu kenapa, Nak?" Suara Mama yang sambil menggedor pintu kamar mandi, membuat aku menggigit bibir supaya isak tangisku tak terdengar.
Cengeng? Ya, aku sedang kalut saat ini. Bagaimana bisa ketika aku kemarin menyakiti istriku karena berkhianat, kini aku membalasnya dengan berkhianat juga?
Aku terkekeh, kemudian menangis, berteriak kemudian menangis lagi.
Tanpa bisa aku tutupi lagi, semakin membuat Mama cemas di luar sana.
Maafin Aslam, Ma...
Mungkin saat ini aku terdengar seperti orang gila. Tapi biarkan aku mengeluarkan semua rasa saat ini.
Merosot ke lantai bersamaan dengan air yang mengalir deras, aku menatap telapak tangan yang kini bergetar hebat. Mengabaikan rasa sakit di buku-buku jari akibat menghantam dinding, aku menangis sesenggukan mengingat bagaimana tangan ini kemarin dengan tak tahu dirinya menyakiti istriku yang sedang terluka.
Aku sudah melakukan kekerasan dalam rumah tanggaku sendiri. Emosi menguasai diri hingga aku gelap mata. Seandainya saja tak ada Mama, entah apa yang aku lakukan pada istriku sendiri.
Ya Tuhan...
Maafin Mas, Yang...
Tapi, sungguh. Mas benci kamu yang mengkhianati ikatan suci kita!
TBC
"Beneran nic dikhianatin?? 😌 Yakin...?? Erina gemesin banget gak si ampe pen nampol 👩🏻⚖️"