"Kamu yakin baik-baik aja? Apa gak sebaiknya aku antar?" Frendian terus bertanya dengan cemas.
Setelah Dokter Baskoro mengobati tangan Bening, tak henti-hentinya ia bersikap cemas yang berlebihan. Andai pria yang bersikap seperti itu adalah Aslam, hati Bening takkan sesakit ini.
"Aku baik-baik aja, Kak. Aku juga pulang sendiri." Bening tersenyum lembut menenangkan Frendian.
"Kamu yakin?"
"Hu'um, yakin." Bening mengangguk.
"Makasih Kak Dian udah nemenin aku, tadi."
"Aku senang. Udah kewajibanku."
"Kewajiban apaan?" Bening tertawa hambar.
"Makasih."
"Buat?"
"Kamu udah nggak jutekin aku lagi. Dan...makasih buat panggilan kamu. Kakak, bukan Om,"
"Apa selama ini aku gak sopan?"
"Nggak. Tapi kesongonganmu membuatku sering tertawa."
"Yasud, aku pulang dulu. Kak Dian bukannya mau tengokin Mbak Erina?"
"Sekali lagi, apa kamu yakin gak mau diantar?" mengalihkan pertanyaan.
"Yakin!"
"Oke, aku antar kamu ampe depan. Dan kamu gak boleh nolak!"
"Dasar! Om Om tukang maksa."
Mereka tertawa dan berjalan beriringan menuju pintu keluar rumah sakit. Ketika langkah mereka sudah keluar, mereka malah berjalan berlawanan arah. Frendian yang langsung menyadari arah yang salah menuju jalan raya, seketika menyusul Bening.
"Kamu mau ke mana? Taksinya 'kan di depan," ujar Frendian ngos-ngosan.
"Ngapain naik taksi?"
"Oh, kamu diantar sopir?"
Bening menggelengkan kepala. "Di sana!" tunjuknya ke parkiran motor. Frendian tak mengerti.
"Ada yang nungguin aku di parkiran sana," sambungnya penuh teka-teki sambil tersenyum.
Tanpa mau menoleh lagi, Bening tetap berjalan menuju tempat di mana motornya terparkir. Saat sudah berada dekat dengan motornya, ia bingung sendiri untuk mengeluarkan motornya yang sudah pasti harus mengerahkan tenaganya. Ia melihat tangannya yang dibalut perban di dalam sweater kebesarannya. Lagi, kenapa harus tangannya?
"Kamu naik motor?" pekikan Frendian mengagetkan Bening yang tadi hanyut dalam kebingungannya.
"Astagfirullah..."
"Ha...emangnya aku hantu apa pake istighfar segala?" Frendian tergelak.
"Ini beneran kamu bawa motor? Yang lagi nunggu diparkiran itu, ini maksudnya?"
Bening mengangguk. "Kak, bisa tolong bantu aku nggak?" nyengir.
"Bantu buat anterin kamu pulang? Ayok."
"Tolong mundurin motornya."
"Ini kamu seriusan mau pulang bawa motor dengan tangan begini?"
"Hu'um. Jadi, bisakah bantu aku buat mundurin motornya? Susah soalnya itu..." wajah memelas.
"Kalo tanganku gak lagi sakit gini aku bisa sendiri."
"Tuhkan, ini sakit, kan?" menarik tangannya yang di perban. "Apanya yang baik-baik aja?" merasa kesal sendiri.
Kenapa sebegitu kesalnya Frendian saat ini ketika ia mencemaskan perempuan yang baru dikenalnya itu?
Bening menarik kembali tangannya. "Aku gakpapa. Jadi, Kakaknya mau bantuin apa nggak, nih? Kalo gak mau aku minta tolong tukang parkir di sana." menunjuk seseorang dengan dagunya.
"Oke oke." Dengan enggan Frendian memundurkan motor Bening dan membenahinya.
"Sebaiknya kakak anterin kamu deh, seriusan! Sini, mana kuncinya? Biar kakak aja yang bawa motornya." sudah merasa nyaman memanggil dirinya sendiri dengan 'kakak'.
"Apaan sih, Kak? Gak perlu...Lagian ini helm-nya cuma satu. Nanti gimana kalo ada razia di stop'an lampu merah depan sana?"
"Kita beli dulu aja helm-nya satu lagi. Gampang, kan?"
"Ah, sudahlah. Jangan berdebat lagi." Sudah duduk di motornya memakai helm.
"Kenapa kalian pria dewasa sungguh keras kepala dan pemaksa?" gerutunya mulai men-starter.
"Bye, Kak. Makasih buat semuanya," pamitnya melajukan motornya dengan segera.
"MANIS! BENING!" teriak Frendian memanggil. "Kenapa tuh anak keras kepala sekali?"
Masih bergeming di tempatnya, Frendian tetap memperhatikan Bening sampai benar-benar keluar gerbang rumah sakit. Dia cukup khawatir mengingat tangannya yang terluka. Apa yang sebenarnya terjadi?
Frendian melihat ke atas gedung rumah sakit. Entah kaca jendela kamar pasien siapa yang ia lihat? Ia bertolak pinggang. Tujuan awalnya ke mari untuk menemui Erina. Tapi, mengapa dirinya kini sangat kesal dan marah? Ya, dia harus menemui Erina dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.
***
Aku mengikuti istriku ketika dia keluar dari ruang perawatan Erina. Aku cukup kecewa akan sikap Bening kepada Erina kemarin malam. Tapi aku kesal ketika Erina mengusir Bening secara terang-terangan.
Ekspresi penuh kecewa itu keluar dari kamar dengan memaksakan senyum wajahnya, membuat hatiku semakin terasa sakit saat melihatnya. Terlebih, mengapa wajahnya begitu pucat? Ya, akhir-akhir ini aliran darah seakan enggan menghiasi wajahnya.
Langkahku meragu ketika melihat istriku berjalan menuju bagian orthopedi. Kenapa ke sana?
Cukup lama aku memperhatikannya dari kejauhan. Pemandangan luar biasa terjadi dalam jangkauanku. Pria kurang ajar itu muncul lagi. Dia bahkan duduk di sebelah istriku dan menemaninya masuk ke dalam. Aku mengepalkan tangan dan pergi tanpa mau menyusul masuk dan meminta kejelasan pada mereka.
Setelah kembali ke ruangan Erina, aku mengambil baju ganti dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak kutanggapi pertanyaan Erina yang mencecarku. Aku kesal, sungguh kesal!
Aku keluar dari kamar mandi, lalu duduk di sofa dan mengambil tas bekal makanan yang dibawakan Bening. Semuanya masih terasa hangat dan nikmat.
"Hon, kamu mau makan makanan itu?" Erina membeliak.
"Sayang kalo di buang, kan?"
"Yang benar saja? Sayang kalo di buang ato sayang sama yang bawain makanannya?" mulai menyebalkan.
"Trus mau kamu gimana, Rin?" hilang sudah nafsu makanku.
Aku beranjak lalu keluar meninggalkan Erina yang berteriak tak jelas.
Kurasa pemeriksaannya sudah selesai. Aku harus menemui istriku dan bertanya kenapa dia bisa bersama Frendian? Mengapa kamu gak hubungi aku buat nemenin kamu, Yank?
Sungguh egois. Aku benar-benar pria brengsek!
Setengah berlari aku menyusul dan mencari mereka yang ternyata sudah tidak ada di bagian orthopedi. Kulihat dari kejauhan, mereka terlihat begitu akrab sekarang. Bahkan, Bening tersenyum manis pada pria itu!
Kekesalanku makin bertambah ketika Frendian terus mengikuti istriku, dari gelagatnya aku tau dia memaksakan sesuatu. Yang aku sesalkan adalah tak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan.
Aku semakin geram ketika melihat istriku ke parkiran hanya untuk mengemudikan sepeda motornya. Motornya? Betapa kagetnya aku saat ini. Dia benar-benar istri yang pembangkang.
Nada telpon tersambung. "PAK MASKUN?! KENAPA KAMU BIARIN ISTRIKU MEMBAWA MOTORNYA?! KAMU MAU DIPECAT, HAH?!" belum sempat Pak Maskun menjawab, aku sudah memutuskan panggilannya.
Aku membentak bagai orang bodoh yang tak sopan pada orang tua. Emosi membutakan nuraniku. Kulihat Bening melajukan motornya, keluar gerbang rumah sakit.
'Rin, sorry. Aku ada urusan mendesak. Kamu tunggu dan jaga diri baik-baik'
Pesan yang kukirim pada Erina tak membuat aku merasa tak enak hati padanya. Yang kucemaskan saat ini adalah; istriku.
Segera, aku berlari memegat taksi untuk mengikuti Bening. Namun, sial! Bening membawa motornya lewat jalan-jalan yang bebas hambatan. Sehingga taksi yang aku tumpangi tak bisa mengejar dan mengikutinya. Berharap dia memang pulang ke rumah.
Aku sampai di rumah lebih dulu. Motor matic istriku belum terparkir di garasi. Belum sampai rupanya...
Aku turun dari taksi lalu berteriak dan marah-marah tak jelas pada orang-orang yang berada di rumah. Tak henti-hentinya aku memaki bahkan berkata tidak sopan pada Pak Maskun dan Mbok Narti. Sungguh, aku hilang kendali.
Suara motor memasuki gerbang rumah. Aku keluar dan melihat istriku memarkirkan motornya. Dia masih bergeming di atas motornya. Sepertinya dia kesakitan. Terlihat jelas ia menggerakan lengan tangannya dengan perlahan. Ia meringis. Perlahan ia turun dari motornya dan lihatlah, betapa terkejutnya ia saat melihatku yang sedang berdiri di garasi parkir sambil bertolak pinggang.
"M-mas..."
Oh, ayolah, setakut itukah kamu padaku?
"Bagus," ucapku dengan dingin. "Bagus sekali" bertepuk tangan.
"Ternyata...sifat membangkangmu memang gak bisa hilang dari watakmu. Bahkan, kamu bersikap kurang aja pada orang lain."
"Apa maksud Mas Aslam?"
"Maksudku?" aku tergelak.
"Mas, bu-bukannya tadi Mas ada di rumah sakit nemenin Mbak Erina? Kenapa Mas ada di sini?"
"Wah, bagus sekali kau mengelak!" bertepuk tangan kembali dengan sarkasme.
"Mas, kalo ini soal motor, aku minta maaf. Tapi tolong Mas jangan marahin Pak Maskun. Maaf karena aku gak nurut apa kata Mas," sesalnya memohon.
Dia, masih perempuan yang sama yang bisa mengetahui maksud dari perkataanku. Matahari sudah sangat terik ketika kami mendebatkan hal yang sepele, sebenarnya.
Bening melewatiku begitu saja. Ia tidak mendebatku lagi. Rasa geram malah semakin menyeruak seakan apa yang ingin aku katakan belum tersampaikan.
Aku menarik serta mencengkram tangannya dengan kesal, membawanya ke atas. Bening meronta, memang ada yang aneh dengan tangannya saat aku memegangnya. Tapi aku tidak peduli. Saat ini, istriku harus mendapat hukuman dariku.
Aku membanting Bening ke atas kasur setelah mengunci pintu kamar dengan rapat. Iblis benar-benar menguasai akal sehatku. Aku benar-benar kalap saat ini.
Aku menahan tubuh di atasnya ketika ia hendak bangun dari tempat tidur dan berusaha meronta. Bayangan bersama Frendian tadi, terus mengusikku. Tanpa basa basi, aku menunduk dan langsung melummat bibirnya dengan memburu.
Sialan! Aku sungguh badjingan!
Aku kesal akan perlakuannya pada Erina semalam. Meskipun aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi, aku benar-benar tak bisa menahan diri betapa besarnya hasrat yang terus menagih jika tubuhku tak bersatu dengan tubuhnya. Mengingat kami, maksudku aku yang selalu melakukannya dan meminta jatah padanya setiap hari, setiap saat, kapanpun aku menginginkannya.
Bening memekik ketika masa depan milikku melesat memasukinya tanpa persiapan. Aku bermain sedikit kasar padanya karena emosi. Tanpa warming up terlebih dulu, aku melakukannya dengan tergesa, menaikkan kaos yang ia kenakan, lalu mencium bagian yang paling aku sukai ketika foreplay terjadi. Bening terdiam, ia hanya memekik dan menumpahkan air yang ada di sudut-sudut matanya sepanjang aku melakukan kenikmatan itu padanya.
Entah sudah berapa lama, namun tak ada tanda-tanda untuk 'memuntahkan'nya. Kini, kami berdua sudah polos tanpa memakai sehelai benang pun. Karena terbawa suasana, aku melucuti paksa kain-kain yang melekat pada tubuh indah istriku.
Berbagai gaya sudah aku komandokan ketika bercinta dengannya. Perban itu, kain kassa yang melingkari lengan tangannya menyita perhatianku.
Aku terus berpacu dan terus berpacu. Mungkin saja aku menyakitinya karena berulang kali ia mengaduh di antara desahann nikmat.
Rasanya sudah berada di ubun-ubun ketika kami, Tidak! Aku rasa hanya diriku saja yang benar-benar merasa berada di puncak kenikmatan itu, aku memuntahkan lahar panas di dalam rahimnya yang paling dalam.
Ugh...sungguh nikmat mana yang KAU dustakan.
Aku mengusap air matanya lalu mengecup dengan sayang kening dan wajahnya yang berkeringat. Sialan, aku masih terus on dan tak ingin lepas. Aku benar-benar menginginkannya lagi!
TBC