Sudah hampir sesorean aku terbangun dari lelapnya tidurku. Aku membuka mata dan tak kutemukan sosok yang tadinya terlelap bersama dalam dekapan tanganku. Segera, aku bangkit dari tempat tidur dan mencari istriku. Tak kupedulikan jika saat ini aku tak memakai apapun pada tubuhku.
Dimulai dari kamar mandi, aku mengetuk pintu dan kubuka saat tak ada sahutan di dalamnya, kosong...
Lalu ke ruang ganti, berharap Bening ada di sana dan ternyata, masih kosong.
"SAYANG!" Aku berteriak saking frustasinya.
Suara pintu kamar terbuka. Betapa leganya aku ketika sosok yang membuka pintu itu adalah istriku. Dia datang dengan membawa nampan berisi makanan serta minuman. Aku segera menghampiri dan merebut nampan itu dari tangannya yang sudah terbalut perban baru lalu meletakkannya di atas meja.
"Kenapa harus teriak-teriak sih, Mas?"
"Kamu dicariin gak ada..."
"Yaa 'kan, aku ambil makanan dulu."
"Yank_"
"Mas, kenapa gak pake baju?" ucapanku terhenti ketika ia menyahut karena melihatku yang polos. Aku hendak menanyakan, sebenarnya kenapa dengan tangannya?
Ia mengalihkan pandangannya, pipinya memerah. Padahal ia sudah tahu semua dalamanku, tapi masih saja malu-malu. Dan aku paling suka melihat ekspresi malu-malunya itu.
"Kenapa? Lagian cuma ada kamu aja yang lihat." Seringaian kecil yang aku tutupi untuk menggodanya.
"Mas sebaiknya mandi dulu. Setelah itu, makanlah," ujarnya lalu berbalik.
"Mau ke mana?" Aku memeluknya dari belakang, menahan kepergiaannya. Bening merasa salah tingkah.
Sial, junior on lagi! Padahal aku cuma mau isengin istriku sendiri.
"M-Mas." meronta ingin dilepas.
"Mau ke mana, hm?" mengendus aroma segar dari lehernya, rambutnya masih basah.
Tangan ini tak bisa berhenti untuk menyentuhnya. Aku menyingkap rambutnya lalu mengecup bahunya yang terekspos. Bukan mengecup, tapi aku menggigit dan menghisapnya, menambah tanda merah di sana. Tubuh Bening berjingkat merespon sentuhanku. Semakin membuatku semangat untuk menggodanya.
"Mas!" menghindari sentuhan tanganku yang nakal lalu berbalik menghadapku. Aku menariknya supaya rapat kepadaku. Ya, ini lebih bagus ketika kamu menatapku.
"Dasar bayik gede!" Bening terkekeh kemudian. Sungguh cantik melihatnya tersenyum seperti itu.
"Hm, mas memang bayi. Dan...bayi ini pengen dimanjain ibunya..." menyosornya sambil mendusel-ndusel menggodanya.
"Mas, ih!" Bening tertawa geli.
"Nakal!" memukul bahuku.
"Aww" mengusap-ngusap bahu, pura-pura tersakiti.
"Lebay!" menggeleng-geleng kepala. Aku memeluk pinggangnya, menariknya rapat pada tubuhku.
Oh, pasti Bening merasakan sesuatu di bawah sana sudah berdiri tegak.
"Mas?"
"Hm," sudah gak fokus hanya dengan memandang ekpresi malu-malunya.
"Mas, tadi kenapa marahin Pak Maskun sama Mbok Narti? Mereka gak salah apa-apa." Sudah salah tingkah karena junior. Haha...
"Karena kamu." Menempelkan hidungku dihidungnya. Dia mencoba menghindar. "Kenapa tanganmu, hm?" tak menjauhkan sedikitpun dari wajahnya.
"I-ini..." ucapannya terjeda. "Gakpapa."
"Lalu, kenapa si kurang ajar itu menemanimu? Dan...kalian begitu akrab?"
Skak matt! Ekspresi Bening berubah. Wajahnya memucat. Tidak, dia memang selalu memucat akhir-akhir ini. Apa dia sakit?
"M-mas, sebaiknya Mas mandi dulu lalu pakai bajunya." menghindari pertanyaan.
"Mas mau mandi tapi ditemani kamu..." bisikku di telinganya.
BRAK! Suara dobrakan pintu kamar membuat kami berjingkat. Hal itu membuat Bening benar-benar melepaskan diri dari dekapanku.
"M-maaf, Den. Mbok udah berusaha..." Mbok Narti menundukan kepalanya.
"Pergilah, Mbok!" perintahku.
"Oh, jadi ini yang kamu bilang ada urusan mendesak?" Erina tergelak.
"Mas, cepat pake bajumu." Bening berbalik sambil berbisik. Tubuh mungilnya mencoba menutupi tubuhku. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang melindungiku.
"Mas, ih!" Bening memelototiku karena aku malah mendekapnya.
Erina yang tak terima, melerai kami dengan kasar. Ia menjauhkan Bening dari pelukanku lalu menamparnya.
"ERINA!" bentakku tak terima.
"APA?" dia berbalik menantangku.
Aku menghindarinya dan menghampiri Bening yang sedang memegang pipinya yang memerah. "Yank, kamu gakpapa?"
Bening menggeleng, "Mas, sebaiknya tutupi tubuhmu."
"Selemah itukah hatimu sekarang, Hon? Baru tadi pagi kamu masih membencinya, sekarang kamu malah asyik menggodanya?" Erina mengikutiku.
Aku mengambil jubah handuk dan memakainya. Namun, belum sempat aku menutup rapat dan mengikat talinya Erina menahan tanganku dan dia malah memelukku dengan erat. Tangannya melingkari leherku, lalu tanpa permisi ia menciumm bibirku dan melummatnya dengan rakus. Tangannya dengan lihai menyentuh titik-titik sensitivku. Aku mencoba menghindarinya dan menjauhkan tubuhnya.
Tidak, ini dosa! Dan istriku masih berdiri di sana.
"Rin!" Semakin aku menjauhkannya, semakin Erina melekat erat. Ia terus menyosor untuk menciumiku. Bahkan hampir saja ia berjongkok dan hendak melakukan hal-hal yang sebenarnya menyenangkan untuk pria.
Bening berlari tanpa suara dan menutup pintu kamar dengan membantingnya ketika melihat apa yang hendak Erina lakukan. Aku menghindari dan menjauhkan Erina, lalu menutup rapat jubah handuk pada tubuhku.
"KENDALIKAN DIRIMU, RIN!" bentakku menunjuknya yang sedang terduduk di lantai.
"YANK! SAYANG!" panggilku, hendak mengejar istriku.
"Kenapa, Hon?" Erina menahan kakiku.
"Kenapa sekarang kamu menghindariku? Bukankah ini yang selalu kamu inginkan dan dulu selalu kita lakukan?"
"Rin, CUKUP! Jangan seperti ini." Aku berjongkok mengajaknya untuk berdiri. Dan sialnya tangan Erina malah bergelayut pada leherku dan menggodaku kembali. Bibirnya tak mau diam, dia terus menyosor dan pada akhirnya...kami berciumman.
Sebenarnya apa yang aku lakukan? Aku malah tergoda akan ciummannya. Kami saling melummat dan berciuman semakin dalam. Erina memang wanita berpengalaman soal bercinta. Aku hilang kendali, entah sejak kapan kami sudah berada di atas tempat tidur dengan Erina di atasku. Ia hanya memakai kain yang menutupi bagian bawahnya dan kain yang tadinya melekat pada tubuhku sudah terbuka.
Apa yang telah aku lakukan sebenarnya? Mengapa aku begitu terbuai ketika Erina mencumbuku. Percintaan ini memang yang sering aku rindukan setiap saat ketika kami pacaran dulu. Rasanya ada sesuatu yang kurang jika kami tidak 'melakukannya'.
Tapi, kali ini salah! Sangat salah! Tidak seharusnya aku seperti ini!
"Hon, why you dont straight?" Erina mendesah mencumbu di atasku. Tangannya bergerak menyentuh masa depanku.
"Shiitt! Why? Kenapa ini tak mau bangun?" keluhnya mendesis kesal.
Erina turun dari tubuhku lalu ia memundurkan tubuhnya dan hampir saja ia melahap kebanggaanku ketika bercinta dengan istriku.
"Why, Hon?" Erina terlonjak ketika aku dengan tiba-tiba terbangun dan loncat dari tempat tidur karena teringat istriku.
"Ini salah, Rin! Ini tidak benar!" merapatkan jubah handuk yang masih melekat di tubuhku.
"Hon, wait!" Erina menahan tanganku yang hendak mengikatkan tali jubahku.
"Hon..." menyingkap handuknya lalu memeluk rapat dengan tubuhnya yang polos.
Apa yang Erina lakukan? Mengapa ia seperti ini? Dengan buas ia terus menggodaku, mencoba memuaskanku dengan tubuhnya.
"RIN!" kali ini aku benar-benar menjauhkan Erina dari tubuhku.
Mau apapun juga, tetap saja aku tak bisa 'on' dan memuaskannya. Aku hanya ingin istriku! Ingin istriku!
"Hon, akhirnya ini wake up!" Erina kegirangan.
Oh, Tuhan...kenapa hanya memikirkan istriku, 'dia' terbangun dengan tegaknya?
"RIN!" hampir saja Erina memasukinya.
"Hon, please. Kita have fun..." sepertinya Erina sudah mulai klimaks.
"NO! Kita hentikan kegilaan ini!" Aku beranjak dari tempat tidur.
"Sebaiknya kamu istirahat. Bukankah kamu baru pulang dari rumah sakit? Dahimu juga masih terluka." mengikat kencang tali bathrobe, lalu meninggalkan Erina yang tak percaya akan tingkahku.
"HON!" teriaknya dari dalam kamar terdengar frustasi.
Sorry, Rin. Ini tidak benar...
TBC