Chereads / Menikahi Bening / Chapter 49 - Hal Yang Tak Ingin Diingat

Chapter 49 - Hal Yang Tak Ingin Diingat

"Sayang, kamu baik-baik aja?"

"Manis, are you oke?"

Kami sama-sama cemas - Aku dan Frendian - saling berebut pertanyaan setelah Bening selesai memuntahkan isi perutnya. Kenapa? Apa yang terjadi?

"Aku baik-baik saja," mengusap air mata lalu membasuh wajah serta mulutnya.

"Kalo baik-baik aja, kenapa bisa muntah? Apa masakan Mbok Narti bermasalah?" Aku mengomel sambil memapahnya.

"Jangan soudzon sama Mbok Narti, Mas. Aku lagi gak enak badan aja," kilahnya mengingatkanku.

"Tuhkan, Mas udah bilang dari tadi supaya kamu naik ke atas dan beristirahat," omelku lalu memangku Bening di kedua lenganku.

"Mas!" pekiknya. "Aku bisa jalan sendiri."

"Wajah kamu tuh pucat banget. Kamu lagi sakit, Yank." Tanpa mempedulikan dua orang yang berada di sekitar kami, aku membawa Bening ke atas.

"Honey," panggilan Erina menghentikan langkahku.

"Pesta ulang tahunku sebentar lagi, aku ingin kamu umumkan rencana pernikahan kita." Aku menoleh padanya dengan geram. Apa-apaan Erina ini?

"Gak ada penolakan!" tegasnya.

"Sebaiknya kita bicarakan itu nanti. Dan lo, Yan. Sebaiknya lo pulang." Tanpa mau menoleh lagi, aku melanjutkan membawa Bening ke kamar.

Tanpa suara dan tanpa rontaan lagi, Bening terdiam. Ia bahkan tidak berkomentar soal ucapan Erina. Apa dia tidak mempedulikan aku yang adalah suaminya sendiri, jika bertunangan dengan wanita lain? Mengapa cobaan ini terus datang bertubi-tubi?

"Mas aku mau ke air dulu." Bening beranjak ketika aku hendak melepaskan sandal di kakinya.

"Mau mas temani?" cemasku sekalian menggodanya.

"Gak usah." Bening terbirit-birit menghindariku. Aku tersenyum melihat tingkahnya.

Cukup lama aku menunggu Bening keluar dari kamar mandi. Suara kran air masih menyala. Aku tak bisa duduk diam menunggunya keluar. Entah apa yang ia lakukan di dalam sana, mengingat tadi dia muntah dengan wajah yang memucat.

Suara pintu yang terbuka mengurungkan niatku untuk mengetuk pintu kamar mandi. Perasaan lega ketika melihat istriku keluar dan baik-baik saja.

"Kenapa lama banget sih? Abis ngapain?"

"Oh, Mas mau ke kamar mandi? Kenapa gak diketuk aja kalo kebelet."

Sifat datar dan polosnya muncul lagi. Apa dia tidak merasakan bagaimana cemasnya aku saat ini?

"Mas gak kebelet. Kamu baik-baik aja?" menahan kejengkelanku.

"Baik," jawabnya singkat dan sibuk dengan kegiatan menghindariku.

"Kamu kenapa sih, Yank?" Menghadang langkahnya yang hendak menaruh handuk bekas mengeringkan wajahnya di jemuran.

"Mas, aku mau sholat isya dulu," ucapnya. Untung saja, aku tidak menyentuhnya. Bakal kebayang jika aku menyentuhnya dan berapa banyak omelannya padaku nanti gara-gara dia akan berwudhu lagi. Tapi pasti akan sangat menyenangkan jika dia cerewet seperti dulu.

"Ya." Merasa tak enak aku membiarkan istriku melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim.

"Tunggu! Mas wudhu dulu, kita sholat berjamaah." Akhirnya, aku memutuskan untuk menjadi imamnya.

Ya, bukankah ini adalah kewajibanku sebagai suaminya? Sudah cukup lama juga aku tidak mengimami istriku dan kami sholat bersama semenjak tragedi dingin itu mulai terjadi.

Setelah salam, aku membalikkan badanku. Kubiarkan istriku menyalimiku. Sungguh terasa damai setelah kami melaksanakan sholat bersama. Kupandangi wajah istriku yang terus menunduk. Setelah salim, ia membuka mukena dan membereskannya.

"Yank," panggilku.

"Hm." Tuhkan, hanya itu tanggapannya.

Bila dipikir-pikir, ia meniru gayaku ketika marah. Aku mencengkram kedua bahunya ketika ia sibuk merapikan alat sholatnya.

"Ada sih, Mas?" Menundukkan wajahnya. Benar, Bening menghindariku lagi.

"Tatap mas bila sedang bicara!" Mencengkram pipinya supaya mendongak menatapku.

Mata sendu itu...selalu berhasil membuat emosiku mereda dan berganti dengan perasaan bersalah seolah aku mengasarinya. Aku mengecup bibirnya, membuat ia terkesiap dan hendak menghindariku.

"Jangan menghindari mas lagi." Memeluknya erat kemudian.

"Jangan pernah abaikan mas lagi."

Kenapa perasaanku menjadi sensitif? Aku merasa sangat takut kehilangan istriku.

"Berjanjilah kalo kamu gak akan ninggalin mas." menjauhkan tubuhnya hanya sejangkauan wajahku. "Berjanjilah."

"Insha Allah."

"Insha Allah apa? Iya atau tidak?"

"Gimana Allah berkehendak aja, Mas. Yang penting kita udah usahakan yang terbaik." Tersenyum yang dipaksakan.

"Aku beresin mukenanya dulu, Mas juga beresin sendiri ya. Setelah itu kita istirahat dan tidur," tuturnya lembut kemudian.

Setelah membereskan alat sholat dan berganti pakaian, kini kami sudah berada di tempat tidur. Suasana temaram dalam kamar semakin hening karena kami tidak mengobrol seperti biasanya. Aku kangen istriku yang bawel dan terkadang aneh-aneh.

"Kamu gak nonton drakor kesukaan, Yank?" Tanyaku memecah keheningan. Membalikkan badan menghadapnya lalu memeluk manja. Kami sedang berbaring saat ini.

Biasanya tv itu terus menyala bahkan kami berebut hanya karena Bening menginginkan menonton drama favoritnya. Dan aku yang selalu berujung mengalah.

"Lagi males nonton. Lagian belom ada drama baru yang bikin gregetan. Mas aja nonton berita, biar banyak informasi seputar negara kita," jawabnya sibuk dengan ponsel di tangannya. Aku memandangnya yang bicara tapi tak melihatku.

Biasanya kamu suka bilang, ngapain nonton berita? Bikin parno aja kalo liat berita kasus pembunuhan, perampokan, penca bulan dan begal-begal. Trus kalo politik, pasti bilangnya ngapain nonton yang bikin pusing, mikirin hidup juga udah pusing.

Sungguh, aku kangen perdebatan itu. Perdebatan yang membuat aku mengalah senang demi membuat istriku bahagia. Bahagia yang sesederhana itu, hanya karena modus darinya agar aku membiarkan ia menonton drama favoritnya tanpa melupakan kewajibannya sebagai istri bila aku menginginkan jatah yang tak bisa ditunda-tunda.

"Yank,"

"Hm." Masih sibuk dengan ponselnya.

"Katanya capek...mau istirahat. Kok, masih mainin hp terus? Lagi liatin apaan sih?" Aku mencondongkan tubuhku mengintip apa yang Bening lakukan.

"Keppoo." menyembunyikan hp-nya supaya aku tidak melihat. Aku menekuk wajahku merasa cemburu dan berpikiran yang aneh-aneh.

"Emmhh...gitu aja cemberut." Yes, dia mulai membuka diri lagi.

"Ini...banyak pesanan cake dan bunga. Besok kayaknya bakalan sibuk," ceritanya kemudian sambil tetap fokus pada layar ponselnya.

Ya, biarkan saja begitu. Aku sebenarnya tak mempermasalahkan apa yang ia lakukan, aku percaya padanya. Pada dasarnya aku hanya ingin dia bicara padaku. Benar saja, jempol tangannya sibuk membalas pesan orang-orang yang memesan kue dan bunga ketika aku mengintip apa yang ia lakukan.

Kesempatan menyandarkan kepalaku di bahunya membuatku senang. Aku menghidu aroma wangi bayi pada lehernya yang sudah merupakan candu bagiku. Aroma yang sangat aku rindukan. Aku melingkarkan tanganku pada tubuhnya. Menenggelamkan wajahku di ceruk lehernya kemudian.

Sungguh terasa nyaman...Aku merindukan saat bermanja-manja seperti ini...

"Yank, sejak kapan kamu bisa bikin kue seenak itu?" tanyaku menginterupsi disela-sela kegiatannya. Aku rindu mengobrol dengan istriku.

"Emmbb..." mulai berpikir lalu meletakkan hp-nya di atas nakas. Yes, akhirnya ia fokus padaku!

"Sejak kelas satu SMP deh kalo gak salah. Aku mulai belajar bikin kue, dibantu tante Lily juga," jawabnya.

"Kok, kalo gak salah?"

"Iya, lupa soalnya."

"Kenapa bisa lupa?" Terus pepet dengan pertanyaan, Aslam. Biarkan malam ini larut dengan obrolan.

"Aku aja gak inget kejadian tahun lalu."

"Kenapa?" mengerutkan kening.

"Kecelakaan."

"Kecelakaan apa?" Serius, aku merasa terkesiap pada akhirnya.

"Tabrakan."

"Siapa?"

"Aku. Perasaan kayak pernah cerita..." ekspresinya berpikir.

"Beneran aku gak pernah cerita?" aku menggeleng ragu. Pernah cerita gak ya?

"Ini lho, akibat kecelakaan itu aku ampe amnesia trus cacat di tanganku ini." menjulurkan tangan, menunjukkan luka bekas jahitan.

Pernyataannya membuat aku mengangkat kepala dan setengah badanku dengan siku tangan sebagai penopangnya. Aku menunduk dan menatap wajahnya lekat-lekat.

Kecelakaan? Tabrakan? Mengapa jantungku bergemuruh saat mendengar hal itu.

"Kamu pernah kecelakaan tahun lalu?" Tanyaku ragu.

"He'em. Katanya aku tabrakan. Kecelakaan motor. Sempat koma semingguan karena operasi kepala, pas bangun aku gak inget kejadian lalu-lalu..."

Merinding, tiba-tiba saja aku mulai bergetar dan aku takut. Mungkin saja ia pernah cerita, namun dulu aku tak begitu menyimaknya karena kehadiran Bening yang tiba-tiba menginterupsi kehidupanku.

"Kecelakaan di mana?"

"Di jalan lha, Mas."

"Maksud mas di jalan mana?"

"Aku gak tau. Besok aku tanyain Bang Iyo deh."

"Gak usah."

"Kenapa? Mas tadi nanya."

"Gakpapa, lupain aja."

"Tapi aku gak lupa sama Mas Aslam. Malah kayaknya Mas yang gak inget sama aku..." lirihnya di akhir kalimat seolah kecewa. Ia berbalik, membelakangiku.

"Mas gak inget sama kamu?" menarik badannya, terlentang kembali.

"Memangnya kita pernah ketemu?" mengernyitkan dahi.

"Ah ya, kita emang sering ketemu. Mas aja yang gak nyadar dan cuek kalo mas ambil bunga pesanan mama." ingatku akan hal itu.

"Maafin, mas ya..."

Bening menggelengkan kepala. "Bukan itu."

"Bukan itu?"

"Kita pernah ketemu pas aku baru bangun dari koma."

"Hah? Kapan? Di mana?"

"Rumah sakit."

"Rumah sakit?" Semakin deg-degan.

"Bangku taman."

Aku mencoba mengingat hal itu. Bangku taman saat itu adalah hari di mana aku mencoba bangkit kembali setelah masa-masa terpuruk yang aku jalani.

"Kamu..."

"Ya, cewek kursi roda dengan perban-perban di kepala, tangan dan kaki." Matanya berbinar ketika mengucapkan hal yang membuatku meringis.

"Mas emang pasti gakkan inget sih. Soalnya waktu itu wajahku lagi bengkak-bengkaknya karena luka dan memar," jelasnya membuat aku shock.

"A...I...U..." aku sungguh tak sangguh melanjutkannya.

"E O," lanjutnya kemudian.

"Mas ingat kata-kata itu? Haha maafkan, abis waktu itu Mas ganteng tapi bisu, ups." menutup mulutnya. "Maaf...hehe"

Aku senang Bening kembali terbuka padaku. Aku memang ingin mengobrol dengannya. Tapi bukan obrolan yang seperti ini. Aku senang mengetahui kalau dia perempuan yang membuat aku membuka hati kembali. Kondisinya saat itu yang mengkhawatirkan tapi berhasil membuat aku tenang bersamanya.

Pasien itu cukup cerewet mengingat kondisinya yang jauh lebih parah dari diriku.

"Aku senang," ujarnya menatapku dengan tersenyum, membuat aku semakin menatap lekat wajahnya.

"Aku senang karena melihat Mas hidup dengan baik sampai saat ini. Kondisi Mas di rumah sakit tidak lebih baik daripada kondisiku saat itu. Aku cuma luka fisik, tapi luka di hati Mas siapapun tak bisa mengobatinya. Walau sekarang pasti sudah terobati, tapi aku senang Mas baik-baik aja. Dan waktu kita bertemu lagi di toko bunga, aku pengen banget nyapa Mas dan nanyain kabar. Tapi Mas-nya jutex mulu kalo datang. Malah, gak pernah mau lihat dan lama-lama di toko," cebiknya kemudian.

Sumpah demi apapun, mengapa aku ingin menangis saat itu juga. Perempuan ini cukup tegar dengan situasi dan kondisi yang dialaminya. Dia cukup dewasa dari usianya dan mengerti kondisiku saat itu.

"Oh ya, Mas. Tunggu sebentar," beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke ruang ganti dan kembali dengan sebuah kaleng bergambar kartun berbentuk tabung di tangannya.

"Nih," menyodorkan kaleng tersebut padaku.

"Apa ini?" Menerima kaleng tersebut dengan menggoyangkannya di udara.

"Nih, catatannya." Memberikan buku catatan kecil kemudian.

Aku membuka buku kecil tersebut dan tertera angka-angka di dalamnya. Terdapat tanggal serta nominal uang.

"Apa maksudnya?" Penasaranku semakin berlanjut dengan mencoba menahan getaran dalam suaraku.

"Itu catatan kembalian dari uang yang Mas kasih kalo bayar bunga sama kue. Mas 'kan gak pernah ambil kembaliannya. Jadi aku catat, berharap kalo nanti Mas kembali, aku kembaliin kembaliannya. Tapi setiap Mas datang, selalu aja cepat-cepat pergi dan meninggalkan kembaliannya lagi..." Ceritanya membuat aku semakin gemetaran.

"Kenapa... gak kamu ambil aja kembaliannya?" Susah payah untuk berucap.

"Kembaliannya banyak, Mas. Mas Aslam selalu kasih uangnya kebanyakan," jelasnya.

"Ya kamu ambil aja!"

"Gak bisa. Itu terlalu banyak dan bukan hakku. Lagian 'kan Mas gak pernah bilang kalo kembaliannya buat aku aja," semburnya gak mau kalah.

Aku meremmas rambut kepalaku setelah melihat catatan akhir di buku kecil itu. Nominal yang cukup banyak mengingat hampir sembilan bulan aku datang setiap hari mengambil bunga dan kue pesanan mama.

"Nanti uangnya dihitung aja, sesuai gak sama catatannya...Kalo nanti ada kurang, Mas bilang aja, nanti aku ganti," ujarnya lemah dengan tubuhnya yang sudah tenggelam di balik selimut dan memejamkan matanya rapat.

Mengapa hal yang tak ingin aku ingat, kembali menghantui ingatanku?

Aku menatap kaleng di tangan kiriku, lalu catatan kecil di tangan kananku, meletakkannya sembarangan di kasur, merasa frustasi.

Kemudian aku menatap lekat wajah istriku yang sepertinya sudah terlelap dalam tidurnya. Aku tersenyum melihatnya yang cepat tertidur padahal tak kurang dari lima menit kami masih mengobrol dan berdebat. Aku menundukkan kepalaku, mengecup kening serta pipinya dengan sayang.

Semoga itu bukan kamu, Yank...

TBC