Mobilku kini terparkir di depan pintu rumah yang tertutup rapat. Lampu di dalamnya menggelap, tapi kamarnya masih terang.
Setelah mendapat keterangan dari Mbok Narti tentang kedatangan istriku pagi itu ke rumah membuat rasa bersalah semakin memupuk dalam diri. Pasalnya, istriku yang baik itu sebenarnya ingin memberi kejutan dan meminta maaf padaku. Namun, sepertinya ia salah sangka. Ia pasti melihat sesuatu yang bukan kenyataannya.
Aku berlari meninggalkan Erina yang menahanku. Dan sekarang, aku di sini mengetuk-mengetuk pintu rumah istriku dengan menahan diri. Berulang kali aku menekan bel. Namun, masih tak ada sahutan dari dalam. Hal begitu terus kuulang, bahkan aku memutar arah ke depan toko berharap dari pintu toko Bening bisa mendengar kedatanganku. Tapi nyatanya, sama saja.
Aku mencoba menelponnya. Tetap saja, tak ada satupun panggilan yang di jawabnya. Ke mana sebenarnya dia?
Saking frustasi karena ingin segera menjelaskan padanya, dengan tidak sabar ketukan di pintu menjadi sebuah gedoran. Bahkan teriakan tak luput keluar dari mulutku.
Astagfirullah...
Rasanya aku sudah hilang akal. Tak sabaran dan grasak grusuk seperti tak beretika dan bermoral. Bisa saja tetangga di komplek itu terbangun karena ulahku.
Hingga suara motor yang berhenti di depan rumah menghentikan tindakanku.
Perempuan yang menjadi istriku itu di bonceng pria yang aku kenal sebagai sahabat sekaligus rekan kerja. Perlahan istriku turun dari motor yang dikemudikan oleh Mario. Matanya penuh tanda tanya ketika ia melihatku di depan rumah. Perlahan istriku berjalan. Awalnya aku menahan diri agar tidak langsung menghambur memeluknya. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan dengan enggan saat melihatku, aku tak bisa menahan diriku lebih lama lagi. Aku berlari, memeluknya dengan erat seakan tak ingin ia lepas dari dekapanku.
"Yank. Maafin Mas, Yank..." Bibirku bergetar. "Yank, Mas bisa jelasin. Itu gak seperti yang kamu lihat."
"Ehem." Mario sudah turun dari motornya.
Aku memandangnya malas. Kenapa malam-malam begini ia berada di sini?
"Mau ngapain lo ke sini? Pake ada acara teriak-teriak lagi. Untung kita sampe tepat waktu. Entah akan ada berapa tetangga yang keluar lalu melempar sandalnya tepat pada muka lo, terlebih mulut lo!" Nyebelin tapi konyol, begitulah Mario.
"Lo yang ngapain malam-malam bermotor ria sama bini orang?" Gak mau kalah aku malah mendebat Mario.
"Mas, Bang. Kita bicara di dalam. Gak enak nanti kalo ada tetangga yang liat," ajak Bening. Melepas diri dari pelukanku. Aku mematung. Ya, istriku masih marah.
Dua cangkir susu panas yang disuguhkan oleh istriku tersaji di atas meja. Susu yang masih mengepulkan asapnya itu menguarkan aroma manis nan menggoda.
Kebiasaannya masih sama. Bening pasti akan menyuguhkan susu hangat terlebih dahulu sebelum kami tidur. Katanya lebih sehat dari pada yang mengandung caféin.
"Mas Aslam, ada apa ke mari?" tanya Bening dengan datar. Ia duduk di sofa sebelah dengan menaikkan kedua kakinya. Sebelah tangannya memegang bungkusan makanan, seolah tanpa dosa ia menikmati makanan itu sendirian.
Suasana di ruang tamu itu hening. Kami berdua - aku dan Mario, terfokus pada perempuan yang sedang menikmati makanan di tangannya dengan lahap.
Dalam benakku bertanya-tanya. Ini sudah hampir tengah malam. Mengapa istriku makan selahap itu? Apa dia terlalu sibuk di toko sehingga melupakan makannya?
Bila dilihat-lihat, sepertinya ada perubahan pada tubuh istriku. Selama dua minggu tak bertemu, badannya terasa berisi. Tapi, sungguh menggemaskan dan semakin cantik. Apa dia sering makan di malam hari seperti ini?
Kegiatan makannya terhenti ketika ia menyadari jika aku dan Mario memperhatikannya. Ia meletakkan makanannya lalu meminum minuman dingin yang sedang viral itu setelahnya.
"Hehe, maaf. Apa aku menganggu?" Menaruh minumannya di atas pahanya.
"Apa sudah puas dan kenyang sekarang?" Tanya Mario.
Bening mengangguk, "Iya doonks...ini enak banget, Bang. Liat aja, ini abis 'kan?"
"Harus habis, lha. Abang bela-belain anter kamu keliling malam-malam gini ampe nemu tuh tukang lumpiah basah spesial. Kalo gak habis, tamatlah riwayatmu!" Canda Mario menggerakan telapak tangan depan lehernya membuat Bening tertawa lepas.
Tidak, aku harus menahan diriku!
"Makasih. ya. Abang emang The Best!" Mengacungkan kedua jempol tangannya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Oh, benar-benar...Apa Bening tidak menyadari kehadiranku saat ini?
"Kenapa kamu jajan makanan yang gak sehat kayak gitu malam-malam begini? Minuman itu juga. Apa kamu gak merasa kedinginan? Nanti kalo batuk gimana?" Ketusku mengintrogasinya.
"Nggak. Ini malah seger." Srrufftt dengan sikap yang sengaja, dia malah menyuruput minumannya.
"Mas, mau?" Tawarnya kemudian menyodorkan minumannya yang masih ada setengah itu.
Aku menggeleng dan otomatis memundurkan tubuhku walau terpentok sandaran sofa.
"Ya udah, kalo gak mau gak usah komen." Menyeruput kembali minumannya ditengah gerutuannya.
Kenapa istriku menjadi menyebalkan? Tidak, yang betul adalah sikap menyebalkannya kembali lagi.
Aku memandang Bening yang sedang menyeddot minumannya dengan nikmat. Dan entah mengapa membuat aku seketika menjadi tertarik ingin meminumnya. Ada hasrat aku menginginkan minuman itu. Dan...tidak! Minuman itu telah tandas. Hatiku kecewa dan rasanya ingin berontak menyalahkan istriku mengapa minuman itu dihabiskan?
Bahuku langsung melorot merasa kecewa. Karena gengsi, aku gak menunjukkan jika aku menyesal telah menolak minuman itu.
Mengapa? Kenapa? Why?
Aku merasa frustasi karena tingkahku sendiri yang tak kupahami.
"Btw, ini udah larut. Abang sebaiknya pulang. Lagian aku udah dapat apa yang aku mau. Hehe..." Usir Bening pada Mario sambil terkekeh.
"Iya...Abang pulang. Dasar adek durhaka! Giliran susah aja, tadi nyariin abang." Mario mencebik.
Dalam diam aku tersenyum penuh kemenangan.
"Besok pagi lo harus serahin project Mr. Ram, Yo!" ucapku tanpa di gubris oleh Mario.
"Kalo besok lo gak muncul di kantor, gue jamin, meja lo gak akan berada di tempatnya lagi!"
"Mas juga. Cepet pulang! Nanti Mbak Erina nyariin."
Deg, baru saja aku berada di atas angin, anginnya terhempas begitu saja. Kali ini Mario yang sedang menahan tawanya.
"Apa lo lihat-lihat?" pelototan pada Mario.
"Huuhh Ge-eR banget sih lo!" kilah Mario.
"Abang udah, pulang sana!"
"Wahh awas lu ye, ngusir-ngusir abang. Nanti abang gakkan anterin kamu kalo mau apa-apa!" cebik Mario mengancam.
"Ih, abang..." Bening mencebik.
"Udah...lo pergi sana!" mendorong tubuh Mario agar segera pergi.
"Ada gue kalo Bening perlu apa-apa."
"Awas jangan lupa besok project Mr Ram!"
"Yess...King!" Mario menarik sudut bibir atasnya mencibir. Selalu menyebalkan jika sudah memanggil namaku seperi itu!
"Mas juga sebaiknya pulang," usir Bening kembali setelah Mario pamit pada istriku dan pergi meninggalkan pelataran rumah dengan motornya.
"Kamu juga ngusir aku, Yank?" Pura-pura mencebik dan memasang wajah memelas. "Udah malem lho ini, Yank..."
"Emang udah malem. Trus kenapa?"
"Mas udah jauh-jauh ke sini lho..."
"Gak ada yang nyuruh Mas buat ke sini."
"Kamu gak kasian sama Mas? Nanti kalo di jalan ada orang jahat, gimana?"
"Tinggal jahatin lagi aja. Mas 'kan orangnya jahat."
"Siapa yang jahat?"
"Mas Aslam."
Antara pengen ngakak tapi bingung, aku harus cari kata-kata yang membuat Bening cemas. Tapi ucapan 'jahat' itu membuatku semakin merasa bersalah padanya.
"Gimana kalo ada rampok?"
"Tinggal kasih duit aja. Duit Mas 'kan banyak,"
"Kalo mas gak bawa duitnya, gimana?"
"Tanya aja, mau cash ato transfer."
"Kalo maunya cash, tapi gak bawa duit gimana?'
"Ya di transfer aja."
"Kalo gak ada bank ato ATM terdekat, gimana?"
"Ya lewat hp aja, sekarang 'kan udah zaman kekinian. Mas ada M-banking, kan?"
"Kalo ternyata rampoknya gak mau duit, gimana?
"Kasiin aja mobil Mas. Tar Mas beli mobil baru lagi."
Alamat gak akan selesai ini mah. Kenapa Bening se-Menyebal-kan ini?
"Kalo nanti mobil udah diambil, duit udah mas kasih, trus mas dibunuh, gimana?"
"Ya mati."
"Astagfirullah...Yank...kok kamu tega ngomong kayak gitu?"
"Lha, ya emang bener 'kan? Kalo dibunuh ya pasti mati."
"Kan ada masa kritisnya juga kali, Yank. Siapa tau aja selamat."
"Ya, kalo keburu diselamatin. Kalo nggak, ya...wassalam."
"Ih, tega banget kamu, Yank. Amit-amit....Amit-amit..." mengetuk kepala dan meja.
"Mas juga tega..." Mengerucutkan bibirnya lalu menunduk.
"Apa?"
"Gak ada siaran ulang! Udah ah, Mas pulang sana! Nanti mbak Erina nyariin, repot semuanya," usir Bening tanpa toleransi.
Aku mematung di tempat. Apa sungguh tak ada toleransi atau kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan kami?
Awalnya, aku memang tak berniat sedikitpun untuk menjalani rumah tangga ini bersama perempuan yang ada di hadapanku. Bahkan, tak terlintas di benakku untuk menyentuh dirinya walau seujung kuku pun.
Hingga pada akhirnya aku benar-benar tak bisa menahan diri dan tak bisa lepas dari dirinya. Berdekatan dengannya selalu berhasil membuat gairahku memuncak.
"Oke. Kalo kamu maunya begitu. Mas pulang sekarang. Tapi sebelum pergi, izinkan mas menjelaskan semuanya. Kamu cukup dengerin mas aja. Apa yang kamu lihat pagi itu, bukanlah yang kamu pikirkan. Ya, Mas tau, Mas salah dan Mas khilaf. Bibir Mas ternodai. Tapi beneran Yank, bukan Mas yang inisiatif yang mencium Erina." Mengacungkan dua jari ke atas. "Mas juga udah ngehindar, jadi cuma kecup aja."
"Aku gak peduli," ucapnya dingin. Aku berpindah duduk di samping istriku.
"Kalo kamu gak peduli, kenapa kamu lari?" Mencengkram kedua bahunya. Menegakkan tubuhnya supaya menghadap padaku. "Kamu...cemburu?"
Matanya membeliak ketika aku menanyakan hal itu. Tak percaya juga aku menanyakan kalimat itu padanya. Seolah ingin jawaban yang memuaskanku, aku terus mendesaknya.
"Apa kamu cemburu?" Tanyaku sekali lagi.
"Nggak, ngapain aku cemburu?" jawabnya dengan menunduk.
"Tatap mata saya ketika sedang bicara!"
Wajahnya kemudian mendongak. Menatap tegas dan lekat tepat pada wajahku. Manik mata sendu itu selalu berhasil membuatku luluh. Wajah ayu dan manisnya yang dulu selalu aku hindari, kini selalu berhasil membuat tatapanku terpaku padanya. Seolah waktu berhenti berputar, hanya ada kami malam itu.
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak mendekatkan wajahku padanya. Meraup kemanisan bibir merah jambu yang lembab bekas minuman ber-bobba tadi.
Tangannya seketika menahan dadaku. Tenagaku yang melampauinya menahan tangannya, menggenggam telapak tangan mungil itu ke dalam jemari tanganku.
Aku mendesaknya ke dalam ciumman kerinduan selama dua minggu ini. Sungguh nikmat sekali. Kehangatan serta kemanisan mulutnya benar-benar candu bagiku. Lama aku menciummnya, sebelah tanganku menopang tubuhnya yang hampir lunglai akibat ciuman berhasratku. Kubawa tubuhnya ke dalam dekapanku. Lalu menidurkannya di sofa, merasakan suara desahan yang mengalun indah di telingaku.
Sungguh, aku sangat merindukannya...
Setelah dirasa di sofa tidak cukup nyaman, aku bangkit lalu mengunci pintu rumah dengan rapat. Aku ingin bereksplorasi bersama istriku malam ini di tempat yang nyaman.
Bening memekik ketika aku membawanya ke dalam gendongan dan masuk ke dalam kamar. Mengunci pintunya rapat, berjaga-jaga agar makhluk menyebalkan bernama Mario tidak muncul dan mengganggu kegiatan panas kami nantinya.
***
Suara getaran di atas nakas yang berasal dari ponselku membuat aku membuka mata. Sebelah tanganku terasa berat ketika menyadari ada perempuan yang menjadi istriku sedang meringkuk berbantalkan lenganku.
Senyuman terukir dari sudut-sudut bibirku ketika melihatnya tepejam dengan bergelung rapat pada tubuhku seolah mencari kehangatan. Tubuh kami masih sama-sama lengket akibat kegiatan panas yang baru selesai setengah jam yang lalu.
Suara getaran yang mengganggu itu muncul kembali. Kali ini dengan sebelah tangan aku mengambil ponselku agar tidak mengganggu tidur istriku. Kulihat nama yang tertera di sana. Erina.
Ini masih pukul tiga dini hari. Apa dia tidak tidur dan menungguku?
Sengaja aku tidak mengangkat panggilannya dan tak ada satu pun pesan darinya yang kubaca. Entah mengapa itu sangat menjengkelkan.
Saat ini, aku hanya ingin terus bersama istriku. Memeluknya erat dan rapat adalah hal yang tak ingin aku lepas dan lewatkan. Menciuminya adalah hal yang bisa aku lakukan meski tanpa harus dengan kata-kata. Dan...sialnya hanya dengan melihatnya saja, apalagi berdekatan dengannya tanpa memakai sehelai benang seperti ini, selalu berhasil membangunkan gairahku kembali.
Oh, tidak! Sayang, maafin Mas yang tak bisa mengendalikan diri ini.
Yang bisa kulakukan sekarang adalah berada di atasnya dan menuntaskan hasrat yang telah bangun kembali.
Tak peduli akan protesan yang keluar dari mulut istriku. Karena pada akhirnya hanya suara erangan, jeritan, serta cakaran dari kuku jemarinya yang aku damba berkali-kali.
TBC