Chereads / Menikahi Bening / Chapter 47 - Pulang Bersamaku

Chapter 47 - Pulang Bersamaku

Suara getaran ponsel kembali mengusik tidur kami. Tidak, rupanya hanya aku sendiri yang berada di tempat tidur. Ke mana istriku? Mengapa ia tidak berada di sampingku?

Hampir saja aku melompat serta berteriak seperti orang gila jika suara pintu yang di buka itu tidak menghentikanku.

"Sayang...kamu dari mana?" Merasa lega.

"Mandi," jawabnya.

"Sayang...ke marilah." Merentangkan kedua tangan. Aku bagaikan anak kecil yang bermanja pada ibunya.

"Mas gak akan mandi?" Tanyanya mengabaikan rentangan tanganku. Ia malah asyik menggosok-gosokan handuk pada rambutnya yang basah. Segar...Sial! Gairah yang sudah mereda bangkit kembali.

Tanpa menjawabnya aku bersikeras tak menurunkan kedua tanganku agar ia mendekat.

Suara dering ponsel menggema, bukan punyaku. Dan kulihat Bening segera mengambilnya. Raut wajahnya berubah. Ia berusaha mengatur ekspresi wajahnya ketika hendak mengangkat panggilan itu. Apa dari Mario?

"Hai, Ma!" Sapanya melambaikan tangan.

Mama? Mamanya Mario?

'Hai, Sayang! Kamu lagi ngapain?'

Suara cempreng itu, Mama!

"Aku abis mandi, Ma. Mama apa kabar?" Bening duduk di tepi kasur. Kesempatan bagiku untuk memeluk dirinya dengan erat.

'Eh, siapa itu gak pake baju?' Mama udah panik ketika aku memeluk istriku dari belakang dengan wajah yang sengaja ditenggelamkan di ceruk lehernya.

"Mas, ih geli." Memukul tangan yang melingkari perutnya.

"Hai, Ma..." Aku nyengir kuda seakan tak punya dosa menyapa mama.

'Oalahhh dasar bocah tua! Mama kira siapa. Mama udah parno kalo mantu mama macem-macem karena suaminya ninggalin mantu mama dan sibuk bekerja!'

"Haha mana mungkin istriku ini macam-macam. Ya 'kan, Sayang?" Mengecup pipinya.

"I-iya, Ma. Paling aku cuma bakal satu macam aja kok," candanya kemudian. Mama tertawa mendukung Bening.

'Iya, gakpapa. Mama pasti dukung kamu kalo suamimu itu berani nyakitin mantu mama!'

"Apaan sih, Mama ini?" menatap mama dengan kesal.

"Kamu beneran Yank bakalan tega macam-macamin aku?" Memeluknya erat dan menggodanya.

"Mas juga macam-macam sama aku."

"Oh...kamu dendaman ya, Yank." Menciumm pipinya kanan dan kiri, menggigit rahangnya dengan gemas.

'Hei! Gak ketemu dua minggu gak bisa tahan apa yak? Mama lagi di sini ini! Dasar bocah tua mesum!' Omel mama, aku gak peduli.

"Mas, ih." Menjauhkanku. Wajahnya memerah, malu.

"Biarin. Lagian mama ngapain ganggu kami?"

'Dasar ya, kalo mama deket udah tak jewer kuping kamu!'

Aku menjulurkan lidah pada mama. Kapan lagi kalo bukan karena jauh. Kulihat mama kesal dan ingin menimpukku dari jauh. Namun, tak urung kami tertawa.

'Eh, by the way mantu mama udah hamil belum?'

Pertanyaan mama membuat tubuh Bening menegang. Aku bisa merasakannya karena posisiku yang masih memeluknya dari belakang dengan dagu yang aku tempelkan di bahunya.

Hamil? Ya, selama ini kami selalu melakukannya. Tapi tak ada tanda-tanda kehamilan pada istriku. Apa memang belum hamil? Sepertinya aku harus terus bekerja keras supaya istriku cepat hamil. Tapi, apa aku memang menginginkan seorang anak darinya? Tentu saja. Maka dengan begitu ia takkan kabur dariku.

Sungguh pemikiran yang picik dan egois. Di sisi lain aku ingin Erina tetap di dekatku. Tapi aku juga tak ingin kehilangan istriku. Lelaki macam apa aku ini?

"Ma, gimana kabar Papa?" Bening mengalihkan pembicaraan. Kenapa? Apa membahas anak membuatnya tak suka?

Aku menciummi rahang serta leher istriku dengan sikap sensual yang di sengaja. Membuat mama yang melihatnya pasti merasa risih. Bahkan, Bening saja menjadi salah tingkah. Aku menyingkap rambut panjangnya yang masih basah. Menggigit dan menghisap sisi lehernya, menyisakan tanda kemerahan di sana.

"Mas, ih!" Bening mengusap lehernya yang aku gigit. Aku tau, tubuhnya menegang. Bila diteliti lebih lekat seperti ini, istriku sangat cantik sekali. Ah, aku sungguh gila. Dia sungguh menggemaskan.

'Dasar anak gak tau diri! Mamanya lagi video call, kamu malah godain istrimu terus! Mana gak pake kaos lagi. Apa semalam suami tuamu itu gak bikin kamu istirahat?'

"Ma, maafin Mas Aslam dia...Mas, ih!" Sudah gak fokus pegang hp karena tangan nakal sialan ini menyusup masuk ke dalam kaos yang istriku kenakan. "Ma, maaf..."

'Ya sudah. Kayaknya mama ganggu waktu kalian. Suami kamu baru pulang dan kalian baru ketemu lagi, pasti kangen. Mama gak akan ganggu. Kalian lanjut saja.'

"Mama emang terbaik!" Sun jauh buat mama.

'Terbaik terbaik! Dasar bocah gak tau diri!' Mama tertawa. 'Cepat kasih cucu buat mama!'

"Oke, Ma. Otewe bikin nih. Mama jangan ganggu lagi ya. Bye Mama! We miss you..."

'Miss you so much, Sayang...Take care...Bye...'

Aku memutus panggilannya. Mengambil hp dari tangan istriku lalu menaruhnya di atas nakas.

"Mas, aku harus menghubungi Mbak Yuni."

Tanpa mau mendengar ocehan istriku. Aku malah mendesak tubuhnya berbaring di kasur dan menyusul di atasnya kemudian. Menarik tali handuknya lalu mencumbuinya kembali tanpa mau mendengar penolakannya. Karena pada akhirnya, suara desahan kenikmatan di antara kami yang menghiasi kamar ini.

***

"Kamu pasti udah laper banget ya, Yank? Maafin Mas ya..." Mengecup pipinya.

Saat ini kami duduk di meja makan dengan aku yang menyiapkan sarapan kesiangan untuknya. Dengan memesan online food tentunya, hehe.

"Kenapa Mas ini gak ada puas-puasnya," gerutunya pelan namun masih terdengar jelas di telingaku.

"Kalo sama kamu gak akan pernah puas dan habis-habisnya, Yank." Mengedipkan sebelah mata, menggodanya.

Bening mengerlingkan matanya jengah, memasang ekspresi seakan ingin muntah saat memandangku. Aku tau dia bercanda. Bagiku tingkahnya sangat menggemaskan.

"Hari ini toko libur?" Tanyaku memecah keheningan di antara kami. Walau kami sudah bercinta beberapa kali, namun kecanggungan yang tercipta masih melekat pada dirinya. Kurasa dia masih marah.

"Ya. Aku ingin beristirahat. Lagi pula Mbak Yuni juga izin hendak membantu saudaranya yang sedang hajatan," jawabnya.

"Mas, gak kerja?" Tanyanya kemudian.

"Berangkat bentar lagi. Lagian Mas pengen lama-lama sama kamu."

"Jangan lama-lama sama aku. Nanti Mbak Erina nyariin."

Ucapannya selalu berhasil membuat aku tak berkutik. Apa dia benar-benar ingin aku bersama Erina? Mengapa aku sekesal ini?

"Kamu harus pulang hari ini juga bersama saya!" Membanting sendok di atas piring membuatnya terkesiap akan tindakanku.

"Tapi Mas_"

"Kamu gak boleh nolak perintah Mas lagi!" Tegasku tak ingin dibantah.

"Cepat habiskan makananmu, setelah itu kita pulang!"

Tanpa menyanggah lagi ucapanku, Bening makan dalam hening. Dia makan tanpa berselera. Aku tau dia tak ingin pulang bersamaku. Mungkinkah karena Erina?

Kalo memang Bening gak suka, aku bisa mengusir Erina dari rumah dan jangan pernah mengganggu hidup kami lagi.

Siang itu aku datang ke kantor setelah mengantar Bening ke rumah. Ada Erina yang ternyata sudah berdiri dan siap menyerangku dengan berbagai pertanyaan. Namun, sebelum itu terjadi, aku segera pergi ke kantor setelah memastikan istriku tinggal di rumah. Berharap mereka di rumah tidak melakukan hal-hal di luar dugaan.

Mario yang kukira tak akan bekerja, ternyata sudah duduk manis di depan layar digitalnya. Setelah semalam aku mengancamnya, ia benar-benar datang untuk bekerja. Tanpa mau menoleh serta menyapaku, dia tetap fokus pada pekerjaannya.

'Baik-baik di rumah ya, Sayang...Mmuach...'

Satu pesan aku kirimkan pada istriku. Setelah semua yang sudah kami lakukan, aku harap istriku mau memaafkanku. Mengingat kejadian semalam dan tadi pagi, membuat aku menginginkannya kembali. Aku berharap waktu cepat menunjukkan pukul empat sore sehingga aku bisa cepat kembali ke rumah dan bertemu sayangku tentunya.

"Apa lo senang?" Tiba-tiba saja Mario bertanya.

"Lo liatnya gimana?" Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan.

"Gue harap lo gak akan nyakitin Cibey lagi."

"Lo tenang aja. Gak pernah sedikitpun niat gue nyakitin istri gue sendiri."

"Lalu, gimana dengan Erina?"

"Itu urusan gue."

"Dasar egois!"

"Gue gak egois!"

"Kalo bukan egois apa namanya? Lo gak pengen Erina pergi tapi lo juga gak pengen Cibey menjauh."

Skak matt! Aku gak bisa berkutik. Ucapan Mario benar. Aku memang egois.

"Gue harap lo bisa bersikap tegas. Dan tolong jangan sakitin Cibey lagi. Yes...King?"

***

EPILOG

Aku kembali lagi ke rumah ini. Rumah di mana ada perempuan yang dicintai suamiku. Aku gak bisa berkutik, bahkan menolak ajakan suamiku lagi. Setelah bentakannya tadi, aku tau jika ia marah. Aku sungguh berdosa jika membantah suamiku lagi. Tapi, kembali lagi ke sini bagaikan neraka bagiku. Apalagi mengingat kejadian waktu itu. Apa aku sungguh akan sanggup menghadapi semuanya? Walau kata Mas Aslam itu gak seperti yang aku pikirkan, tetap saja itu menggangguku.

Langkah kakiku terhenti di depan pintu kamarku - lebih tepatnya kamar kami. Langkahku meragu. Aku sungguh tak ingin memasuki kamar ini. Memasukinya membuat aku teringat akan kejadian di waktu lampau yang aku pun tak tau apa artinya. Saat itu, aku seperti mendapati pria yang mencumbu kekasihnya dengan tidak sabaran. Aku yang melihatnya sungguh malu. Semakin aku mencoba mengingat, bayangan itu menyakiti kepalaku.

Argh, bayangan mesum apa yang terlintas dalam ingatanku ini?

Stop! Lupakan!

"Kenapa kamu?" Seseorang tiba-tiba bertanya. "Muka kamu pucat banget. Kamu baik-baik aja?"

"Aku..." Mencoba menenangkan diri. "Baik-baik aja, Mbak."

"Apa semalam Aslam tidur di tempatmu?" tanyanya lagi.

"Ya."

"Cih, dasar gak tau diri." Dia mendesis. Kupikir dia baik karena sempat mencemaskanku.

"Bukan aku yang menginginkan kembali ke sini."

"Lantas? Kenapa lo kembali?!" Mulai frustasi. Emosinya seratus dua ratus kayak Mas Aslam. Gak kebayang kalo mereka memang berjodoh. Pasti bakal jadi kapal pecah rumah ini.

"Kenapa lo gak tenggelam aja dan gak usah balik lagi ke rumah ini? Dua minggu kemarin hidup kami tenang tanpa adanya lo di sini!" Menunjuk dahiku dengan jarinya. Wajahnya sungguh berbanding jauh dengan kelakuannya. Udah pake elo-elo-an segala lagi.

"Aku akan cari cara agar tidak tinggal di sini lebih lama." Hah, kenapa juga aku bicara begitu?

"Gimanapun caranya, lo harus segera menjauh dari Aslam. Elo itu hanya istri sahnya. Tapi gue, wanita yang dicintainya! Lo gak ada apa-apanya di hati Aslam!" Lagi, dia menunjuk-nunjuk dahiku. Ah, sungguh kurang ajar sekali. Jika aku melawan, bisa saja dia mengadu pada Mas Aslam yang lain-lain. Dan aku malas. Malas meladeninya dan jadi ribut.

"Lo ngerti gak? Jawab kalo ada orang yang nanya sama lo!"

A-aah, mengapa dia mencubit dan memelintir pipiku?

"I-iya, Mbak." Mengusap-ngusap pipiku yang dicubitnya. Ini pasti akan meninggalkan memar. Hiks...ini sakit sekali...huhu...

Ya, salahku yang membiarkan perempuan itu satu atap bersama kami...

TBC