"Honey, siapa dia?" pertanyaan Erina memutus semua sangkaan yang terus mengganggu pikiranku.
"Dia..."
"Bening. Istrinya Mas Aslam." Bening tersenyum, hatiku sungguh bergetar saat ia mengakui dirinya sebagai istriku. Hatiku terasa sakit saat melihat sendu di matanya walau mengulas senyuman di bibirnya.
Suami macam apa aku ini yang bahkan memperkenalkan dirinya secara tegas saja, aku malah meragu.
"Oh, sorry, aku pikir tadi kamu pembantu di sini," cemooh Erina.
"Haha gakpapa, aku memang pembantu. Pembantu kebutuhan suami." Bening tertawa garing.
Apa-apaan sih, Yank? Ngapain juga kamu tanggepin? Lihat si Frendian menyebalkan itu malah sumringah melihatmu!
Membathin kesal yang bisa kulakukan saat ini.
Erina kalah telak lalu salah tingkah. "Hai, aku..."
"Mbak Erina, 'kan?"
"Ya. Dan aku adalah kekasih sekaligus tunangan Aslam. Dan aku rasa kamu juga udah tau dan mengerti jika kalian menikah karena terpaksa, bukan?" Erina mengulas senyum mengejek dengan bangga.
"Senang, bertemu denganmu." Bening tersenyum.
Aku sungguh ingin menyanggah semua drama yang terjadi saat ini. Aku marah, tapi mengapa membiarkan drama ini terus berlanjut?
***
"Anterin Byan ke rumah mami, Pih..." Byan terus merajuk ketika kedatangannya ke toko untuk menemui Bening yang ke sekian kalinya tidak membuahkan hasil.
"Byan, kamu tadi denger 'kan apa kata tante Yuni? Kak Bening masih sakit, jadi dia belum bisa kita temuin," tutur Rudy menjelaskan.
"Iya...ayok...kita jenguk mami ke sana, Pih...ke rumahnya..." Byan menarik-narik tangan Rudy yang sedang berjongkok menyamai tingginya.
Rudy masih bergeming. Anaknya itu sungguh keras kepala. Mungkin istilah buah tidak jatuh dari pohonnya bisa ia rasakan saat ini. Ingin marah, tapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlalu keras pada anaknya.
"Byan, kita ke rumah kakak Beningnya nanti aja ya..." Bujuk Rudy.
"Gak mau! Aku mau ketemu mami!"
"BYAN! Kenapa kamu ini susah sekali di kasih tau? Kalo papi bilang nanti, YA NANTI! Kamu ngerti gak sih?" suara Rudy meninggi
dengan ditahan, ia mulai hilang kesabaran.
Byan menangis ketakutan ketika papinya itu mulai menggalakinya. Yuni yang mendengar bentakkan serta tangisan itu segera keluar dari dalam toko. Ayah dan anak itu masih berada di teras toko setelah beberapa saat yang lalu menyakan soal Bening.
"Ada apa ini, Mas? Lho, kok, anak ganteng kenapa nangis?" Yuni penasaran. Byan menghambur memeluk dan bersembunyi di belakang Yuni.
Rudy merasa salah tingkah karena kedapatan membentak Byan. Image pria juga ayah yang baik sepertinya harus terlepas lewat topeng yang menjadi tameng dirinya selama ini demi mendekati perempuan yang sudah menjadi istri sahabatnya.
Mulai dari pertemuan pertamanya saat pesta pernikahan dadakan itu dilakukan, Rudy sungguh jatuh hati kepada gadis yang disandingkan bersama Aslam.
Gadis muda yang memakai kebaya pengantin itu berjalan perlahan-lahan menuju pria yang telah sah menjadi suaminya.
Mempelai wanita itu sunguh cantik...
Entah apa yang dirasakan Rudy saat itu. Hingga ketika Aslam datang ke kelab miliknya dan ia menawarkan diri meminta istrinya jika Aslam tak bisa membahagiakannya di atas ranjang.
Sungguh pemikiran yang tidak rasional. Namun baginya apa yang dia utarakan adalah dari lubuk hatinya.
Sampai ia mendapati jika putra semata wayangnya itu kabur dan Bening - istri dari sahabatnya - itu yang menjaganya selama hampir seminggu. Betapa bahagianya ia ketika melihat pemandangan indah yang tak pernah ia dapati setelah istri yang dicintainya meninggalkan dirinya dan putra yang dilahirkannya. Pemandangan yang membuat hatinya bergetar ketika melihat interaksi antara Byan dan juga Bening kala itu.
Panggilan mami yang diutarakan Byan pun, membuat dirinya bersemangat. Semangat untuk mengambil hati serta merebut istri teman dekatnya...
"Mas, kenapa toh' ini Nak Byan ampe nangis gini?" Yuni membuyarkan lamunan Rudy.
Rudy mengerjap, "Oh, gakpapa kok, Yun."
"Beneran?" Yuni merasa aneh.
"Iya. Byan kemarilah. Ayo kita pulang," ajak Rudy.
Byan semakin mempererat cengkramannya pada ujung seragam toko yang dikenakan Yuni. Tubuh mungilnya tenggelam karena bersembunyi di balik punggung Yuni sebagai tamengnya.
Yuni berbalik, ia lalu berjongkok menyamai tingginya.
"Anak ganteng, ssstt...jangan nangis lagi, ya..." Menyeka air mata Byan dengan tangannya. "Papi Byan gak sengaja marah-marahnya, kok. Iya 'kan, Pi?" Memberi kode pada Rudy dengan berkedip.
"I-iya."
"Tuh, denger 'kan? Papi gak sengaja. Papinya Byan minta maaf ya..." Byan mengangguk, membuat Yuni tersenyum pada anak kecil itu. "Nah, sekarang, Byan juga minta maaf ya sama papi. Byan juga gak boleh bikin papi kesel lagi, nurut apa kata papi."
"Iya, Bunda Uni." Menyeka air matanya.
"Papi, maafin Byan, ya..." Menghampiri Rudy, menarik-narik telapak tangannya.
"Iya, maafin papi juga," memeluk Byan.
Rudy pun pamit pada Yuni setelah drama yang mereka lakukan di depan toko tadi.
"Mas Rudy," panggilan Yuni menghentikan langkahnya, Rudy berbalik.
"Mas, udah resiko kita sebagai orang tua menghadapi kekeraskepalaan anak kita. Dari awal di mana anak itu tercipta, maka kita sebagai orang tua yang mendambakannya harus menerimanya dengan lapang dada dan sepenuh hati. Ketika di detik pertama anak kita terlahir di dunia, maka di detik itulah, kita hanya harus mencurahkan segala cinta dan kasih sayang serta doa yang terbaik untuk anak kita. Harus sabar ya, Mas. Ojo ndesu-ndesu kalo bicara sama anak. Maaf kalo saya bicara lancang."
Sejenak Rudy tertegun. Tutur kata Yuni mengingatkan akan sosok seseorang yang dulu pernah singgah dalam hidupnya. Seseorang dengan kilasan bayang-bayang sedang mengelus perut buncitnya.
'Pi, Papi...jangan cemberut gitu donk...nanti anaknya liat, lho...'
'Pi, Papi...nanti kalo anak kita lahir, dia harus jadi anak yang kuat dan ganteng kayak Papi...'
'Smoga kamu terlahir dengan lancar dan selamat ya, Nak. Doa kami semua menyertaimu. Di detik pertama mami tau ada kamu bertumbuh di rahim mami, mami tak henti-hentinya mendoakanmu...'
Rudy mengeratkan pegangannya, menuntun Byan untuk segera pergi dari sana setelah ia pamit pada Yuni. Rudy mengerjap, mencoba menutupi rasa sesak yang menggulung dalam dadanya saat ini.
***
Suasana di ruang tamu ini sungguh menyesakkan. Kami bertiga duduk berpencar dan masih dalam keheningan. Rasa canggung pun terus menggelayuti. Kenapa dalam situasi saat ini lidahku terasa kelu. Bahkan hanya untuk menegur Frendian yang terus memandangi istriku ketika berkutat di dapur saja, rasanya tidak bisa. Yang aku lakukan hanyalah memberi tatapan tajam padanya yang dibalas seringaian yang mengejek.
Pen gue tab bok muka dia! Asli!
Sampai mbok Narti datang menginterupsi suasana mencekam di antara kami. Memberitahukan jika makan malam sudah siap.
Bening menyusul untuk mengajak kami untuk makan. Rupanya ia yang memberi intruksi pada mbok Narti untuk menyiapkan makan malam lebih untuk tamu yang tak di undang itu. Pantas saja ia memilih pergi setelah perkenalan dirinya pada Erina.
"Makanannya udah siap. Kalian pasti lapar. Sebaiknya kita makan malam bersama. Iya 'kan, Mas?" Bening terlihat riang, aku hanya mengangguk menanggapi ucapannya.
Dia berjalan terlebih dahulu memimpin kami. Erina dan Frendian yang belum berkata apa-apa lagi sejak tadi, ternyata memilih mengikuti kami.
Kenapa kalian nggak pulang aja, sih?
Makan malam bersama ini sungguh membuatku tidak berselera makan. Istriku yang biasanya banyak bicara saat makan, kini bagaikan orang asing yang ikut-ikutan makan bersama. Untungnya, dia masih memperlakukanku sebagai suaminya, melayaniku dengan mengambilkan piring makan dan mengisinya dengan lauk pauk seperti biasa. Namun, gerakannya kalah cepat karena Erina sudah memberikan sepiring makanan kepadaku.
Perlahan Bening mengurungkan niatnya untuk memberikan porsi makanku. Ia menurunkan sepiring makanan itu di hadapannya. Hendak ia makan. Namun, rupanya Frendian seperti di atas angin, Ia mengambil piring makanan yang Bening siapkan untukku.
"Makasih." Dengan sikap menyebalkan, Frendian makan dengan lahap seolah tanpa dosa. Kesalnya lagi, dia seperti sengaja duduk di sebelah istriku.
"Di makan, Hon." Erina memerintah seolah tanpa dosa pula.
Aku mengepalkan tangan. Kurang ajar sekali, siapa kamu memberiku perintah dengan seenaknya?
Aku menunduk, melihat porsi makan yang Erina berikan padaku. Kebiaasannya masih sama, ia selalu memilih makanan yang disukai olehnya saja tanpa mempedulikan apa yang aku mau, aku suka dan seberapa banyak asupan makanan sesuai kebutuhanku.
Dulu, aku selalu merasa senang kalo Erina bersikap baik karena kuanggap sebagai rasa perhatiannya padaku. Tapi, sekarang...
Oh ayolah, Rin. Aku bukan seorang model sepertimu yang harus makan dalam porsi menjaga tubuh dan berat badan idealmu!
Tanpa banyak bicara, aku memakan makanan yang ada dihadapanku karena istriku mempersilahkan aku untuk memakannya lewat bahasa mata dan tatapannya. Kulihat ia pun makan dalam diam.
Makanan yang aku makan terasa enak. Jelas saja, ini masakan istriku. Ya, aku sudah mengenal rasanya walau kami baru dua bulan menikah. Tapi, masakan sebanyak ini, bagaimana dengan tangannya?
Tangannya, apa sudah merasa lebih baik?
Kalo bukan karena ia menggelengkan kepalanya dan seolah berkata ia baik-baik saja, aku udah pasti menyuapinya saat ini.
Lagi, walau dalam diam dan tak bicara ataupun bertanya, Bening selalu tau apa yang ada di pikiranku.
Satu suapan pertama yang membuatku ragu dan tak berselera pada awalnya, kini malah membuat aku semakin lagi dan lagi untuk memasukkan suapan demi suapan ke dalam mulutku dengan lahap. Bahkan, aku begitu bersemangat untuk menambah porsi makanku. Sampai ketika tanganku yang terangkat hendak meminta Bening mengambilkan nasinya lagi, terhenti.
"Hon, kamu mau gemukan? Lihat badan kamu. Kamu ini udah kayak om om berperut buncit. Pasti kamu sering makan banyak kayak gini dan gak kontrol yah?" Erina menepuk tanganku dan mengambil piring kosong yang hendak diambil Bening.
Om perut buncit? Reflek aku melihat perutku sendiri.
Di mana? Di mana buncitnya? Bukankah ini hanya perut kotak-kotakku?
Kulihat Bening sedang menahan tawanya. Oh, sayang apa ini lucu?
Setidaknya aku senang melihatnya tertawa walau tertahan. Jika memang hal terhina yang dilemparkan padaku membuatmu senang, maka aku ikhlas.
"Makanannya enak sekali." Frendian meletakkan sendoknya lalu meminum air dalam gelasnya.
"Apa ini semua kamu yang masak?" Mengelap bibirnya dengan tissu lalu mencondongkan sedikit badannya untuk menatap Bening dengan sikap intens.
"Hah? Ah, ya..."
"Gitu doank?" Frendian tergelak.
"Memangnya harus gimana? Sebaiknya kalian pulang jika sudah kenyang." Aku meletakkan sendokku, mengusir mereka secara terang-terangan.
"Kamu masak sebanyak ini apa tanganmu baik-baik aja?" Frendian tak mengindahkan ucapanku.
"Oh ya, apa obatmu sudah di ambil? Tadi aku menitipkan obatnya pada suster yang di kasir. Kamu lari gitu aja, obatnya udah dibayar."
DEG!
Shiitt! Jadi Frendian yang membayar tagihan obatnya?
"Oh, jadi elo yang udah bayarin dulu? Berapa no rekening lo? Gue ganti sekarang!" Merasa tak terima.
"Gak usah, Lam. No problem," tolak Frendian.
"Gue senang dikira suami dari cewek manis ini." mengedipkan mata genit pada istriku.
"Dan elo tau, tadi ada ibu-ibu yang ngedoain jika kami berjodoh dan bakalan jadi pasangan yang serasi," ceritanya bangga diselangi tawanya yang begitu riang.
Aku mengepalkan tangan, ingin kulayangkan tinjuku pada mulut sialann itu!
Bening memegang tanganku. Ucapanku mungkin tadi keterlaluan, tapi melihat ekspresi gelap karena ucapan Frendian membuat Bening menenangkanku. Erina yang melihat tangan Bening menyentuh telapak tanganku, merasa panas. Dengan beraninya ia melepaskan tangan Bening dari tanganku.
"Honey, bukankah aku sudah berada di sini? Sebaiknya kita membicarakan acara pernikahan kita yang dulu sempat tertunda, bukan?" Erina mengelus telapak tanganku.
Jika dulu disentuh seperti ini akan membuatku hilang akal lalu membawa kami pada kenikmatan langit ke tujuh. Namun, tidak kali ini!
"Sebaiknya kalian pulang," ujarku menghindari elusan terkutuk itu. Mengusir mereka sekali lagi.
"Kenapa? Bukankah Erina akan tinggal di sini?" Frendian menyahut.
"Boleh 'kan, jika Erina tinggal di sini sementara ini?" menatap Bening, meminta izin.
Set Than! Modus apa yang lo rencain, Yan?
"Sampai kapan, sementara itu?" tanya Bening menatap Frendian dengan memiringkan kepalanya, terlihat menggemaskan jika dipandang seperti itu. Dan...
"Sampai..." Lihatlah, Frendian saja sampai salah tingkah. Oh, sayang kenapa kamu harus se-imut itu dihadapan pria lain?!
"Sayang. Kenapa kamu malah bertanya?" menahan kegeramanku.
"Gakpapa. Rame aja kalo nanti di rumah banyak orang," jawabnya dengan riang.
Aku menatap lekat-lekat wajah Bening,
"Sayang, haruskah bersamanya?"
TBC