Bening keluar dari kamar mandi setelah ketukan serta panggilanku di depan pintu yang ke sekian kalinya. Aku mencemaskannya yang tak kunjung tiba hingga meninggalkan Erina dan Frendian yang tak tahu apa tujuan mereka datang ke mari.
"Yank, kenapa pintunya baru dibuka?" Kesalku.
"Kan - sekarang - udah dibuka," ucapnya melewati dan mengabaikanku.
"Bebat tangannya?" Aku menahan pergelangan tangannya yang bebas hingga langkahnya terhenti.
"Aku lepas. Mana mungkin kan, aku mandi dengan memakai penyangga tangan? Lagian perbannya juga basah dan tanganku juga udah gakpapa," ujarnya dengan sedikit menyindir namun masih ada ringisan kesakitan dari wajahnya.
Bening berjalan ke ruang ganti lalu mengambil baju di lemari. Sejenak aku tertegun, mengapa hanya sedikit pakaian yang ia punya?
Sungguh, aku baru menyadari jika istriku hanya memakai satu ruang pada lemari pakaianku.
Bening sibuk sendiri dengan kegiatannya. Setelah mengambil pakaiannya, ia berjalan dengan tetap mengabaikan dan melewatiku. Dan aku seperti orang bodoh yang terus mengikutinya.
"Apa tamu Mas udah pulang?" Tanyanya memecah kebisuanku. Kini ia tengah duduk di depan cermin, menyalakan hair dryer-nya.
"Mereka masih di bawah." Merebut hair dryer dari tangannya lalu membantu mengeringkan rambutnya.
Apa kamu hendak melakukannya dengan tanganmu yang masih belum pulih itu?
Yang bisa kulakukan saat ini hanya membathin kesal.
"Lha, kok, ditinggalin sih, Mas?"
"Biarin aja. Ngapain juga mereka ke sini."
"Gak boleh gitu, Mas. Gimanapun juga, Mbak Erina udah datang..." Kata-katanya terdengar lirih. Sejenak aku menghentikan kegiatanku dengan menatapnya lekat-lekat di pantulan cermin.
"Kamu...tau kalo dia Erina?" Bening mengangguk.
"Tau dari mana? Bisa aja salah," sanggahku, melanjutkan mengeringkan rambutnya.
"Gak mungkin salah. Mas aja barusan ngakuin dia mbak Erina..."
Aku memperhatikan raut wajahnya yang berubah sendu. Sejenak kami membisu. Ia tersenyum ketika mendapati aku memperhatikannya.
"Aku cantik yah?" Candanya yang berujung senyuman riang.
"Hm, cantik. Sangat cantik," tanggapku dengan serius.
Aku mengecup pipinya yang berujung sikutan tangannya. Kami tersenyum. Kembali, aku mengeringkan rambutnya dengan senang. Suasana hatinya mulai membaik. Aku harus menjaga perasaannya supaya ia tak ketus ataupun mengabaikanku lagi.
Aku tak sanggup jika Bening mendiamkanku. Dulu, kalau Erina sedang merajuk, ujung-ujungnya akan membaik kembali jika ia sudah berbelanja menghabiskan tabunganku. Dan bodohnya aku yang selalu menuruti segala permintaannya.
Tatapanku terpaku pada meja rias di depanku. Istriku bergerak-gerak memakaikan cream bergambar bayi ke wajahnya. Mengingat soal Erina aku baru disadari lagi jika tak banyak yang kulakukan terhadap istriku.
Tak ada skin care ataupun alat make up lainnya. Seharusnya aku lebih peka akan kebutuhannya. Mengingat sudah dua bulan berjalan aku menikahinya.
"Yank, apa yang kamu pake barusan?"
"Hah? Pake apanya?" meletakkan hand body di tempatnya.
"Yang di wajah kamu."
"Oo...baby cream."
"Kayak bayi aja."
"Emang masih bayi."
Aku berdecak lalu tersenyum, "Peralatan make up kamu hanya segitu, Yank? Gak ada produk skin care apa, gitu?"
"Memangnya Mas Aslam, yang segala ada. Pantesan mukanya kinclong kayak oppa korea," ucapnya melirik ke atas meja rias. Ya, memang lebih banyak punyaku daripada punyanya.
"Kinclong, emangnya kaca? Apa...kamu mau coba perawatan dan memakai produknya?"
"Gak usah...nanti yang ada malah iritasi, segala di pakein, segala di cobain," tolaknya halus.
"Hm...benar juga. Tanpa skin care, kamu juga udah cantik, kok."
"Iyalah, masih remaja pula. Masih baby face. Mas harusnya bangga punya istri kayak akoh," tawanya yang renyah menular, membuat aku tersenyum lebar mendengarnya.
Ya, seharusnya aku bangga!
"Padahal gak usah mandi aja, Yank. Jadi kena air sama kegerak-gerak kan' tangannya. Itu kalo dokter Baskoro tau, bisa ngamuk ntar," ujarku memegang keningnya, sedikit demam...
"Gak bakalan tau kalo gak di kasih tau. Lagian-terus-masa-gak mandi, sih?" semburnya dengan terpatah-patah.
"Suruh siapa kita 'melakukan'nya? Minta nambah pula, berkali-kali!" wajahnya memberengut kemudian.
"Kamu duluan yang mancing-mancing, Yank." Tak mau kalah.
"Aku kan, cuma cium kamu doang, Mas."
"Ya justru itu. Kamu cium-cium, Mas jadi 'pengen'..." meletakkan hair dryer, menyisir rambutnya yang sudah mengering. Aku benar-benar baru menyadarinya, ternyata rambutnya se-indah ini.
"Ya, trus kenapa gak bisa nahan? Suruh siapa Mas gak ada puasnya sama sekali? Seminggu kemarin Mas bisa puasa," protesnya mengerlingkan mata. Menggemaskan sekali.
"Suruh siapa juga kamu ngebangunin singa yang lagi puasa." Menguwel-nguwel lalu mencium pipinya lagi dengan gemas dan dalam.
"IGH! Basah!" mengusap pipinya yang aku cium.
"Gemesin banget sih, sayang..." memeluknya dari belakang.
"Mas yang nyebelin!"
"Biarin, yang penting kamu selalu menjerit di bawah Mas!"
"IGH! Apaan, sih?!" menyikut perutku yang tak membuat sakit tapi pura-pura meringis kesakitan.
Kami pun tertawa. Sungguh begitu meneduhkan hati melihatnya tersenyum riang seperti itu. Walau ada seberkas sendu dari manik matanya.
Aku memang sengaja membuatnya banyak bicara. Semenjak kepulangan kami dari rumah sakit, ada sesuatu yang berbeda dari istriku. Entah apa? Aku pun belum mengetahuinya.
Semoga apa yang aku pikirkan salah.
"Yank?"
"Hm."
"Apa...di rumah sakit, tadi..." aku meragu.
"Kenapa?"
"Gakpapa."
Aku mengurungkan niatku bertanya soal Erina sewaktu di rumah sakit. Tak ingin membuat suasana yang cukup riang ini tergantikan dengan pertanyaan yang akan membuat suasana canggung kembali.
"Mas, udah, ini biar aku aja yang beresin." Merebut sisir dari tanganku.
"Mas, cepet sana, temuin mbak Erina! Bukankah selama ini Mas sangat merindukannya?" Usirnya secara halus.
"Hm."
"Hm apa? Ayok sana! Nanti mbak Erina kesal."
Sejenak aku tertegun kembali. Bukan karena ia mengusirku menemui Erina, tapi aku benar-benar baru menyadari jika apa yang dimiliki istriku hanya seperempat atau mungkin seperlima bagian dari perlengkapanku.
Peralatan kecantikannya masih sama seperti saat pertama kali ia pindah ke mari. Tak ada yang berubah, tak ada yang bertambah. Hanya saja mungkin di ganti yang baru karena habis.
Sama seperti pakaiannya, aku sungguh suami yang keterlaluan. Mama benar jika dulu dia sering mengomeliku soal apakah aku sudah benar-benar menafkahinya?
Bukan tidak mungkin aku tak sanggup membelikannya apa saja. Bahkan, penghasilan dan keuntungan dari perusahaanku malah semakin menggemukkan rekeningku. Ditambah hasil dari beberapa saham yang aku tanam cukup banyak menguntungkanku.
Untuk nafkah bathin, mungkin aku sudah cukup memuaskannya. Berbanding balik dengan dirinya yang memberikanku nafkah lahir maupun bathin.
Oh, sungguh sangat memalukan! Suami macam apa aku ini? Jika dulu aku sangat memanjakan Erina hanya demi menjaga agar ia tetap bersamaku, mengapa aku tidak melakukannya pada istriku? Aku begitu bodoh mengabaikan istriku sendiri!
Tidak tidak, aku masih memberinya nafkah berupa kartu kredit serta ATM yang aku berikan padanya untuk biaya sehari-hari. Untuk membeli keperluan rumah dan juga kebutuhannya. Seharusnya, ia dapat membeli apapun yang ia mau, bukan?
Aku benar-benar baru menyadarinya jika selama ini tak pernah ada notifikasi penarikan debit maupun kredit dari kartu-kartu yang aku berikan padanya. Lalu, selama ini, dari mana ia membeli semua kebutuhan rumah tangga kami?
"Mas?" Bening membuyarkan lamunanku.
"Hah? Apa?"
"Yee malah ngelamun..."
"Yank, aku mau tanya sesuatu." sejenak meragu.
"Apa...kamu mau turun ke bawah dan menemuinya bersamaku?" Padahal, bukan itu yang ingin aku tanyakan. Malah aku berharap Bening tidak menemui Erina.
"Idih, ngapain? Yang ada nanti aku kayak obat nyamuk," kekehnya bercanda.
"Udah sana. Nanti aku nyusul."
"Beneran?" Tanyaku memastikan.
"Hm," menganggukkan kepalanya.
Aku sedkit kecewa akan jawabannya. Namun, aku begitu senang. Dengan begitu, kehadiran Bening di sampingku menghadapi Erina akan lebih menguatkanku, bukan?
***
"Rupanya tuan rumah di rumah ini benar-benar gak punya etika sama sekali. Gak ada sopan santunnya sama sekali, meninggalkan bahkan membiarkan tamunya menunggu lama," sembur Frendian menyindirku secara langsung.
"Sopan santun?" menaikkan sebelah alis. "Lagipula, kalian tamu tidak diundang," dengkusku kesal. Lalu mendaratkan tubuhku di sofa, tepat di sebrang mereka.
"Ucapan Aslam benar. Kita memang bukan tamu yang diharapkan," ujar Erina. Ia sudah menggeser duduknya dan menempel padaku.
Sungguh, aku merasa risih. Padahal tadi dengan jelas aku menghindarinya saat menyusul istriku ke atas. Namun, aku juga tak mengerti akan perasaanku ketika Erina berada dekat denganku seperti ini. Dalam hati aku berdoa, agar aku dikuatkan iman sehingga hal apapun takkan membuat perasaanku goyah.
"Lo ngapain ke sini?" Ketusku pada Frendian.
"Gue? Emh...gue hanya ingin memastikan kalo Erina benar-benar kembali sama lo," jawabnya. "Dan...gue mau memastikan suatu hal saja," sambungnya kemudian dengan nada misterius.
Sebenarnya aku tak peduli apa yang mau dilakukan Frendian. Namun dari gaya bicaranya saja sudah mencurigakan. Dan mengapa ia datang bersama Erina?
"Bukankah tadi kamu berada di rumah sakit?" Baru teringat jika Erina memang berada di sana tadi pagi.
"Ya...aku udah baikan," sikapnya salah tingkah. "Kok, kamu tega banget ninggalin aku sih, Hon." Erina mencebik lalu memelukku, ingin diperhatikan
"Rin, jangan seperti ini." Merasa risih akan tingkahnya.
Sebenarnya aneh, melihat wajahnya yang penuh lebam membuatku ingin bertanya-tanya. Aku melepas tangannya yang melingkar di pinggangku. Namun, bukannya lepas, ia malah semakin memelukku dengan erat. Badannya bergetar. Erina terlihat tegar dan angkuh seperti biasanya, tapi jelas-jelas ia ketakutan.
"Rin, apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu bisa pingsan?" penasaranku.
Aku bisa merasakan tubuhnya menegang. Apa yang salah dengan pertanyaanku?
Kulihat ekspresi Frendian yang tak terbaca namun menyimpan penuh misteri saat menatap Erina. Yang ditatap memalingkan muka dari bos sekaligus manajernya itu dengan takut.
Sebenarnya ada apa dengan kalian?
"Hon, boleh kan, aku tinggal di rumahmu? Apartemenku sudah di jual ketika aku pergi ke Paris. Lagipula, bukankah nanti aku akan tinggal di rumah ini bersamamu?" Pintanya. "Plisss..."
Lidah ini terasa kelu. Apa yang harus aku jawab? Tidak mungkin kami tinggal serumah, bukan? Bagaimana dengan istriku?
"Emh...Rin, kalo kamu mau, aku bisa bantu kamu mencarikan apartemen yang lebih nyaman. Untuk sekarang, aku akan mem-booking hotel untuk kamu tinggali sementara ini," putusku kemudian.
"Kenapa harus tidur di hotel? Bukankah rumah elo cukup besar untuk menampung satu orang saja?" Frendian menyebalkan! Dasar kompor!
"Erina lagi sakit, dia butuh perhatian dari elo. Gue sebagai manajernya gak bisa selalu dampingi dia karena pekerjaan gue yang sibuk," sambungnya lagi.
"Waktu di Paris bukankah kalian selalu bersama? Kenapa di sini tidak?"
"Oh, itu beda lagi. Gak perlu gue jelasin, bukan?" Frendian memang menyebalkan.
"H-hon, tolong, biarkan aku tinggal di sini," mohon Erina. Tangannya mencengkram lenganku dengan erat dan gemetaran. Kenapa aku tak bisa marah dan membencinya karena meninggalkanku? Harusnya aku mengusirnya saat ini.
"Mas." Suaranya menenangkanku.
Aku menoleh pada sumber suara yang memanggilku. Aku melepaskan tangan Erina yang bagaikan gurita lalu beranjak menghampiri istriku.
"Yank, kenapa kamu turun?" bisikku di telinganya.
"Kan, tadi Mas yang nyuruh aku buat nemenin," ucapnya pelan.
"Hai, gadis manis!" Frendian menyapa Bening dengan begitu sumringah.
Tatapannya begitu senang ketika melihat istriku. Berbeda sekali saat Bening belum turun, seolah ia siap berlari dan memeluk Bening ketika bertemu. Tapi tunggu, mengapa dia menyapa istriku seakan sudah mengenalnya?
Sejenak istriku mengening saat Frendian menyapanya.
"Ikat rambut." Frendian mengingatkan dengan memutar-mutarkan jari telunjuk di sisi kepalanya.
"Ah...om pemaksa itu ya?"
"Om pemaksa?" Frendian tergelak, namun kemudian ia tertawa riang.
Aku, bahkan Erina yang menyaksikan interaksi mereka merasa ada yang aneh saat melihat ekspresi yang ditunjukan Frendian pada istriku. Ekspresi itu, seperti orang yang begitu bahagia saat bertemu kekasihnya. Dan hal itu membuat aku tidak menyukai suasana ini.
"Kamu mengenalnya, Yank?" tanyaku dengan sikap yang posesif. Melingkarkan tanganku pada pinggangnya dengan manja.
"Emh...dia...tadi..." Bening terlihat gugup.
"Aku hanya membantu mengikatkan rambutnya." Frendian menyahut kembali.
"Karena suami yang ia tunggu tak kunjung tiba. Ternyata si suami sibuk mengurus sesuatu." Ia menyindirku dengan telak, senyuman di wajahnya sangat menjengkelkan.
"Mengikat rambut?" menuntut jawaban dari istriku.
"Emh...tadi...waktu di rumah sakit, jepit rambutku melorot ke bawah. Dia yang membantuku," terangnya.
"Lalu apa maksudnya dengan sibuk mengurus sesuatu?" dadaku bergemuruh.
"Emh...ya kan tadi Mas lama ke basement-nya." Wajahnya sendu. Apa dia mulai belajar menutupi sesuatu? Tak mungkin jika istriku mengetahuinya. Ya Tuhan, jangan sampai!
"Honey, siapa dia?" Erina berdiri menginterupsi suasana di antara kami.
TBC