Bening terpaku di tempat. Langkah kakinya terhenti dan mengurungkan niatnya untuk masuk lebih dekat di mana Erina terbaring di dalam ruang ICU tersebut. Sosok wanita yang dilihatnya adalah sosok yang sama ketika jiwa keponya meronta dulu.
Di hari pertama ketika ia sah menjadi istri dari suami yang tak pernah menyatakan cintanya itu, maka di hari itu pula Bening mencari-cari siapa wanita yang bernama Erina yang dicintai dan ditunggui suaminya.
Bening berhasil menemukannya dengan menjelajahi sosmednya. Wanita itu sungguh cantik. Dengan melihatnya sekilas saja, Bening tahu aura yang muncul dari wanita bernama Erina itu sungguh berbeda. Wajahnya bahkan terpatri jelas dalam ingatan Bening hingga saat ini ketika ia melihatnya secara langsung untuk pertama kalinya walau dari jauh, ia bisa langsung mengenalinya.
Suaminya di sana, terlihat panik. Ekspresinya berantakan. Dia melihat suaminya duduk di samping wanita itu dengan cemas, namun tak terbaca apa yang ada dipikirannya.
Ingin rasanya saat ini Bening memanggil suaminya tersebut dan pura-pura bertanya sedang apa di sana. Tapi, lidahnya terasa kelu. Bahkan ia harus mundur beberapa langkah dan bersembunyi di balik tirai ruang sebelah ketika suara lirih tersebut memanggil suaminya, kemudian memeluknya erat.
Kaki telanjangnya yang sedang berpijak saat ini, serasa runtuh. Ia bagaikan berdiri di atas gempa bumi yang siap meretakkan tanahnya lalu terbelah menjadi dua dan ia masuk ke dalam lubangnya. Tubuhnya bergetar, dengan sekuat hati ia meremmas ujung sweater yang ia kenakan.
"Hon? Honey, aku sangat merindukanmu." Erina terbangun lalu dengan gerakan cepat ia memeluk Aslam yang tengah duduk di sampingnya.
Tanpa bisa menolak, Aslam bergeming dan tak membalas pelukan Erina. Dirinya masih tak siap. Ia sendiri saja sudah merasa dikejutkan akan kehadiran Erina yang tiba-tiba di waktu yang tak terduga pula.
"Hon, aku benar-benar merindukanmu. Sangat merindukanmu. Kamu masih nungguin aku, kan?" Menangkup kedua pipi Aslam.
"Ternyata kamu memang cowok setia dan benar-benar mencintaiku." Mengecup bibir Aslam tanpa permisi.
Seketika Aslam menjauhkan Erina dari tubuhnya. Jantungnya berdebar, bukan karena kecupan yang tiba-tiba itu. Tapi jantungnya berdetak dengan cepat oleh perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
"Ini rumah sakit," ujarnya merasa salah tingkah.
"Kenapa? Bukankah biasanya kamu gak peduli di mana aja kalo mau mesra kita bisa tunjukin pada siapa pun?" Erina merasa gencar sendiri.
"Ya, tapi gak seharusnya kamu begitu."
"Hon, kamu masih marah, ya. Karena aku menolak lamaranmu tahun lalu?" Memeluk erat tanpa mau dijauhkan.
"Sekarang aku udah pulang. Aku mau kita menikah, Hon. Aku siap dan ingin menjadi istri yang baik untukmu. Maafin aku yang dulu bersikap kekanak-kanakan dan gak berpikir panjang," isak tangisnya yang terdengar menyebalkan di telinga Aslam.
Pun, bagi Bening yang mendengarkan interaksi mereka dari tadi, sungguh menggelikan. Rasanya ia ingin memuntahkan isi perutnya kepada wanita itu dan...suaminya.
Menyesal apanya? Siap nikah apanya? Pria itu suamiku! Ingin rasanya Bening memprotes isi hatinya saat itu.
Suaminya itu memang sungguh mengesalkan. Dia diam saja ketika wanita yang bukan muhrimnya itu memeluk bahkan mengecup bibirnya.
Dosa, Mas. Dosa!
Bening ingin meneriakkan hal itu juga. Namun, kembali lagi ketika akal mengalahkan logika. Karena saat ini, dengan kurang ajarnya air mata itu tanpa permisi lolos begitu saja dari pelupuk matanya. Sekuat apapun ia mengerjap serta menahannya, air matanya itu terus mengalir seakan tak mau berkompromi untuk berhenti. Ia mengusap berkali-kali, namun air mata sialan itu tetap jatuh.
Bagaimanapun, Bening tahu jika wanita itu telah kembali. Dan suaminya sangat mencintainya. Ia harus mundur. Kehadirannya hanya akan mengganggu suasana rindu di antara mereka.
Perlahan, Bening melangkah meninggalkan ruang ICU yang masih dipenuhi perawat dan dokter yang berlalu lalang, bergiliran untuk memeriksa pasien darurat lainnya. Beruntung tak ada seorang pun yang menyadari sosoknya dari tadi.
***
Erina, wanita yang sedang memelukku sekarang ini adalah Erina. Antara percaya dan tidak, namun dia benar-benar Erina.
Kecupan yang tiba-tiba mendarat di bibirku membuat aku terkesiap. Dengan segera, aku menjauhkan dirinya. Hatiku bergemuruh. Rasanya jantungku berdebar begitu kencang.
Bukan! Debaran serta gemuruh dalam hati ini bukan karena aku jatuh cinta ataupun rasa rindu yang memuncak karena bertemu dengannya. Perasaan ini seolah aku melakukan dosa besar. Dosa yang masih belum aku ketahui apa penyebabnya.
Erina kembali memelukku, ia meracaukan sesuatu yang bagiku terdengar basi. Aku menyunggingkan senyuman penuh ironi. Rasanya masih terasa sakit ketika sekelebat ingatan tentang ia yang menolak menikah denganku lalu pergi tanpa memilihku, membuatku enggan menerima kehadirannya yang tiba-tiba.
Namun, memang tak bisa dipungkiri, perasaan cinta yang aku tanam dulu untuknya selama dua tahun lebih tak bisa hilang begitu saja. Masih ada setitik rasa yang tertinggal untuknya ketika wanita itu benar-benar kembali dan berada dekat memelukku seperti saat ini. Rasa rindu ini ada, tapi hambar.
"Hon, kamu sakit?" tanya Erina membuat aku mengening.
Sakit? Bukankah dirinya yang sakit?
"Kamu kok bau minyak kayu putih, sih? Apa ini minyak telon? Wangimu kayak bayi." Erina terkekeh saat mengendus. Aku segera menjauhkannya dari tubuhku lalu mengusap wajahku dengan gusar.
Astagfirullah...
"Kenapa? Gakpapa, Hon. Aku suka apapun baumu. Walaupun aku lebih suka kamu memakai parfum favoritmu. Tercium lebih maskulin dan...menggoda," bisiknya mendekat ditelingaku.
"Lagipula...kita sudah saling menyukai aroma kita masing-masing, bukan?" ucapnya menggoda dengan nada yang sensual.
"Setahun lebih gak ketemu...kamu makin cakep dan mempesona..." jari tangannya menyusuri dadaku.
Dulu, jika ia bersikap seperti itu, maka jangan ditanya bagaimana reaksiku. Tentunya aku akan melahap habis Erina saat itu juga tanpa belas kasih hanya demi memuaskan hasratku yang sudah memuncak.
Tapi kali ini berbeda, tak ada reaksi apapun padanya. Yang ada, berkali-kali aku mengucapkan kata istighfar dalam hati dan tanpa sadar lolos dari bibirku.
"Astagfirullah..." Tubuhku menjauh dari godaan jari tangannya, lalu mengusap wajah dengan gusar berkali-kali.
"Kenapa, Hon? Apa aku gak salah dengar kamu beristighfar?" Erina mendelik.
"Apa yang salah denganmu?"
Aku menjauhkan diri, beranjak dari ranjangnya. Ya Allah, maafkan aku. Aku benar-benar lupa!
Aku lupa! Aku melupakan istriku!
Seketika jantungku bergemuruh. Lebih bergemuruh karena aku melakukan dosa besar. Sudah berapa lama aku meninggalkan istriku?
Aku berlari, tanpa mau berbalik aku meninggalkan Erina yang berteriak memanggilku.
Seperti orang gila aku berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Menuju tempat di mana aku menyuruh istriku untuk menungguku.
Langkahku terhenti. Aku menetralkan nafasku yang terengah karena setiap langkah kaki yang aku ajak berjalan dan berlari seolah tak mendapati ujung.
Perempuan itu masih bergeming di tempat. Duduk dengan patuh di tempatnya semula. Perempuan berdaster navy dan bersweater itu masih ada. Ya, istriku masih ada di sana.
Dengan perasaan bersalah aku menghampirinya.
"Yank." Aku menepuk pundaknya.
Bening menoleh. Hatiku seakan mencelos dari tempatnya. Dia tersenyum dengan kondisi tangannya yang dibebat perban saat ini. Wajahnya memucat, namun begitu berseri karena senyuman manisnya. Melihatnya seperti itu, aku bersedih. Sedih karena sikapku beberapa saat yang lalu sempat mengabaikannya. Aku mendekap erat tubuhnya. Berharap dengan memeluknya dapat mengurangi rasa bersalah yang bercokol dalam hatiku.
"Mas, kenapa? Mas, malu ih dilihat banyak orang," bisiknya menjauhkan diriku. Namun, aku tak mau melepaskannya.
"Mas, ih!" Sekuat tenaga dia melepasku. Tatapannya marah. Wajahnya lembab, bola matanya memerah, serta poni rambutnya sedikit basah.
Apa dia habis mencuci mukanya? Apa dia habis menangis? Kenapa? Apa dia melihatnya?
Tidak mungkin karena itu, mungkin saja dia marah karena terlalu lama menungguku. Ya, kuharap begitu.
"Yank, kamu_"
"Mas, bayarin obatnya di kasir. Tadi aku udah dipanggil. Mas, kenapa lama banget?" tanyanya sedikit ketus.
"Ah, udah dipanggil ya? Dari tadi?"
"Udah seabad!"
"Oh, ya." Ada yang berbeda dari sikapnya.
"Mas, bayar dulu. Kamu tungguin, ya." Menepis tanganku yang hendak mengelus rambutnya.
Bening menghindariku? Kenapa?
Aku menuju loket pengambilan obat dengan perasaan kalut. Hingga kuputuskan untuk berpikiran positif. Mungkin dia kesal karena aku meninggalkannya terlalu lama.
"Yank, ayo pulang. Obatnya udah mas ambil dan katanya tadi udah bayar." Kulihat Bening mengerutkan kening.
Sebenarnya heran juga siapa yang sudah membayar resep obatnya. Karena ketika kutanya, suaminya yang sudah membayarnya.
"Kalo udah dibayar kenapa kamu gak ambil obatnya?..." lirihku masih merasa heran, tapi aku tak ingin membuat suasana hati Bening memburuk. Ia terlihat Be-Te...
Aku membungkukkan tubuhku di depannya, hendak memangkunya ke dalam gendonganku.
Karena keteledoranku yang membawa paksa untuk check up, ia sampai tak memakai alas kaki.
Namun, seketika Bening berdiri. Dia berjalan tanpa mempedulikanku yang tengah membungkuk di depannya. Aku tak bisa berkata-kata.
"Yank, nanti kaki kamu kotor." Aku mengejarnya. "Yank, mas pangku lagi, ya," bujukku.
"Gak usah. Aku berat," ketusnya, mengabaikanku. Aku memepetnya, layaknya seorang remaja yang berusaha mendekati gebetannya.
"Yank, kenapa kamu gak nelpon mas kalo memang tadi udah dipanggil?" pura-pura gak ngeuh padahal tau, hp-ku aja ketinggalan.
"Gak bawa hp!" masih ketus.
"Ato kamu kan' bisa nyusulin mas ke parkiran, Yank. Tadi mas keliling-keliling nyari mobil di parkir di mana. Lupa!" Aku terkekeh canggung.
Konyol! Aku menanyakan pertanyaan yang bodoh.
"Mas kan' yang nyuruh aku buat nunggu dan jangan ke mana-mana. Apa mas lupa?" tuhkan, masih ketus aja.
"I-iya...tapi kan biasanya kamu gak patuh..." Aku merasa tak enak.
"Yank, sini mas pangku lagi, nanti kakimu kalo kena pake ato benda tajam gimana?" menghentikan langkahnya.
"Gak usah! Kalo luka tinggal obatin!"
Kami terus berjalan, langkah kakiku rasanya terseok-seok melihat perubahan sikap Bening yang ia tujukan padaku.
"Cepat bukain mobilnya," perintahnya yang tanpa sadar ternyata kami sudah berada di basement di mana mobilku terparkir.
Mengapa ingatannya sebagus itu? Dengan cepat ia bisa langsung menemukan mobilku.
"Ah ya." Menekan tombol membuka kunci mobil.
"Silahkan_" Bening cepat-cepat masuk lalu menutup pintu mobilnya dengan keras di depanku hingga aku berjingkat kaget.
"Tu-an putri..." yang bisa kulakukan hanya mendesah pelan.
Aku mengitari mobilku lalu masuk ke dalam dan melajukannya.
"Yank, kamu kenapa sih?" Aku mengajukan pertanyaan yang sedari tadi bercokol dalam kepalaku, memecah keheningan yang terjadi sepanjang perjalanan kami.
"Fokus aja nyetir. Anggap aja aku gak ada," dengkusnya membalikkan badan, memunggungiku kembali.
Bagaimana bisa aku menganggapnya tak ada? Sedang saat ini saja aku ingin mendekapnya dengan erat.
Huffthh, yang bisa aku lakukan saat ini adalah sama-sama mendengkus melihat perubahan sikapnya.
***
"Memang istri yang baik." Frendian menyeringai melihat interaksi suami istri di hadapannya.
Ia duduk menjauh, mengawasi mereka dengan memakai kaca mata hitam dan topinya. Sedari tadi ia masih mengawasi live drama baginya itu.
Setelah ia mengikuti Bening dan mengawasinya, membuat ia menyadari perempuan itu terlalu baik untuk disakiti olehnya. Dengan melihatnya yang begitu tegar menghadapi suaminya yang sempat bertemu dengan mantannya, tak membuat perempuan itu melarikan diri.
Frendian sungguh berharap Bening berlari atau memarahi Aslam saat itu. Namun, hal itu jauh dari bayangannya. Perempuan itu kembali ke tempatnya semula. Duduk dengan baik setelah ia kembali dari toilet wanita yang dirasa menangis dengan puas di dalamnya lalu membasuh wajahnya setelah cukup tenang.
Ia pun kembali ke loket obat, lalu menitipkan bungkusan obat Bening yang sudah dibayarnya.
Tatapan Bening kosong, sampai-sampai ia tak menyadari jika Frendian berdiri memandangnya dari jauh. Rona kesedihan terpancar dari wajahnya. Namun, senyumannya mengembang ketika Aslam menemuinya. Dan itu membuat Frendian tak suka. Seolah tak terjadi apa-apa, perempuan itu hanya bersikap merajuk saja karena suaminya lama kembali untuk menyusulnya.
Benar-benar perempuan yang menarik...
TBC