"Udah nyampe nih kita. Jangan cemberut terus dong, Yank. Nanti cantiknya ilang, lho.."
Kami tiba di rumah sakit. Sepanjang perjalanan, istriku tetap memunggungiku dan memilih menatap pemandangan luar lewat jendela.
Aku membuka sabuk pengamannya. Tubuhnya tak merespon ketika aku membukanya. Tidak seperti tadi ketika diperjalanan aku mencoba menggodanya dengan cara membelai rambutnya, menarik ujung bajunya, atau mencoba meraih tangannya. Dengan sigap ia akan menangkis atau memukul tanganku.
Seketika aku merasa cemas. Apa dia sudah tak mau mendebatku lagi atau...
"Yank?" aku memegang bahunya, menariknya kemudian untuk menghadapku. Tubuhnya berbalik dengan bersandar pada kursi tanpa perlawanan. Kepalanya lunglai kemudian.
Aku menyeringai dan tak bisa menahan senyumanku ketika mendengar dengkuran halus yang keluar dari nafasnya. Matanya terpejam rapat, sungguh damai dan cantik ketika aku menatap wajahnya. Dan itu tak ayal membuat tubuhku mendekat dan mencium kening serta bibirnya yang begitu menggemaskan.
Sebuah dorongan membuat tubuhku menjauh. Istriku terbangun karena aku melummat bibirnya dengan lembut.
"Messum!" semburnya kemudian dan aku hanya tersenyum mendengar umpatannya. "Jangan tersenyum! Kegantengan mas gak akan bikin aku meleleh!" Menegaskan jari telunjuknya dengan melotot.
Sikapnya benar-benar tak membuatku tersinggung. Malah terlihat imut dan sangat menggemaskan. Membuat aku tak bisa menahan diri untuk tidak mencaplok bibirnya lagi.
"Mas!" Memukul-mukul lenganku dengan keras. Akupun tertawa.
"Lucu banget, sih. Istri siapa sih ini?" menguwel-uwel kedua pipinya hingga membuat bibirnya manyun. Aku mengecupnya kembali.
"IGH!" kesalnya dengan gemas.
"Ayok, udah sampai. Tolong, jangan membantah lagi. Cuma kontrol doang, kok. Kalo nanti hasil kontrolnya oke, kamu gak usah ke sini-sini lagi. Dan ini, apa kamu mau gips ini terus menempel? Mang kamu nyaman?" bujukku, mengelus rambutnya dengan lembut.
"Kamu gak kasian apa sama mas? Udah semingguan nih," sindirku mencebik.
"Iya..." setujunya masih dengan cemberut.
"Nah...kalo nurut, kan, oke. Gemesin banget sih..." mencium pipinya
"Gak usah cium-cium! Basah!" sewotnya mengusap pipinya.
"Haha..."
***
"Dengar baik-baik. Lo harus ikutin semua intruksi dari gue. Lo gak punya pilihan lain selain deketin mantan cowok elo yang beggo itu. Tugas lo cuma satu, gimanapun juga, elo harus berhasil menjeratnya kembali jadi cowok lo dan mengambil hartanya untuk gantiin duit gue yang ludes karena harus bayar penalty pelanggaran kontrak agensi di Paris." Frendian berucap dingin dengan sikap mengancam dan mengintimidasi.
"Dan ingat, gue bakal siksa elo terus-terusan kalo lo gak berhasil dan laksanain apa yang gue suruh!"
"Br3ngs3k!"
"Ah, elo mau gue lakuin 'itu' sekarang juga di sini?" Ancamnya dengan nada penuh maksud.
Erina menghindar ketika tangan Frendian sudah mengangkup belakang lehernya.
"Kali ini, gue berbaik hati bebasin elo. Karena lo harus berperan menjadi artis yang profesional sekarang." Frendian mengendikkan dagunya. Menunjuk pasangan yang hendak memasuki lobby rumah sakit.
Pasangan itu terlihat berbahagia. Walau sang perempuan terus-terusan cemberut layaknya anak kecil yang merengek karena terus di dorong-dorong tubuhnya oleh sang pria hingga saat ini pria itu menggendongnya ala bridal style dengan senang. Entah apa yang dilakukan sang pria karena tiap kali perempuan itu terlihat kesal, sang pria malah tertawa. Sesekali dia pun mengecup perempuannya dengan jahil dalam gendongannya yang terlihat ringan dan santai.
Wajah pria itu terlihat sangat familiar. Wajah tampan yang begitu sumringah dengan kebahagian yang terpancar dari rona wajahnya.
Pria itu, pria yang setahun lalu melamarnya setelah dua tahun kebersamaannya. Pria yang rela melakukan apa saja yang dimintanya. Pria yang bagi dirinya, Erina adalah cintanya. Pria itu, pria yang masih memberikan like serta pesan di sosial medianya. Pria yang tanpa lelah terus-terusan menyemangatinya dari jauh walau tak satupun pesan yang ia balas untuknya.
Namun, kali ini tangannya terkepal tatkala mengingat pria itu yang hampir dua bulan ini tak lagi memberikan like dan pesan padanya. Pria yang pernah melamarnya itu kini sudah berstatus sebagai suami seseorang. Dan seseorang itu adalah gadis kecil yang dilihatnya dari kejauhan sekarang ini
Dasar pria tak bisa menahan diri. Katanya akan menunggunya tak peduli berapa lama ia harus meniti karir di Paris. Tapi nyatanya, pria itu malah menikah dengan orang lain.
Sungguh ironis pemikirannya. Erina menjadi dongkol sendiri akibat perbuatannya. Ia sendiri yang memilih meninggalkan pria sebaik Aslam demi karir dan demi pria br3ngs3k seperti Frendian yang selama ini hanya memanfaatkannya.
Dan...sekarang, ia sungguh menyesal. Benar-benar menyesal karena tidak menjadi bagian keluarga Dewantara yang terkenal akan bisnisnya di mana-mana. Bahkan Aslam, pria bodohnya itu sekarang menjadi insinyur dan pengusaha di bidang properti dan juga konstruksi tersukses di usianya yang masih terbilang muda.
Setahun lebih tak berjumpa, membuat ia sadar jika tampilan Aslam bagaikan eksekutif muda yang sangat berkelas. Walau sekarang tampilannya tampak santai hanya memakai sweater broken white kedodoran dan celana gading pendek selututnya, Aslam terlihat begitu berkharisma di mata Erina.
Tampan, satu kata untuk mewakili perasaannya saat ini sehingga dirinya tak berkedip sama sekali.
Dulu, Erina tak akan pernah membiarkan penampilan Aslam sesantai itu. Aslam harus tetap terlihat keren dengan balutan setelah jas yang baginya terlihat seperti pengusaha pemilik perusahaan.
Erina akan marah dan langsung menyuruhnya berganti pakaian dengan membelinya hari itu juga, jika kedapatan Aslam menemuinya dengan gaya santai seperti sekarang.
Pria itu hanya memakai sandal. Namun sangat cocok dengan pakaian yang ia kenakan. Terlihat cool dan imut layaknya oppa-oppa korea yang membuat jantungnya berdebar.
Frendian bisa melihat perubahan ekspresi dari wajah Erina. Terlihat jelas dan itu membuatnya tak suka. Jika mereka berada di Paris, mungkin saat itu juga dia akan mengeksekusi Erina di dalam mobil tanpa mempedulikan orang-orang yang berlalu lalang karena kegiatan panas yang mereka lakukan.
Tapi demi tekadnya, ia harus menahan diri. Kepulangan mereka lima hari yang lalu setelah membereskan penalty yang harus ia bayar kepada pihak agensi di Paris, membuatnya bertekad menyatukan kembali Erina dengan Aslam hanya untuk merenggut hartanya yang ia yakini tak akan habis walau berkali-kali Erina menggunakannya.
Bagi Frendian, Aslam adalah pohon uang yang menghasilkan baginya saat ini. Dan untuk itu, ia harus bisa menekan perasaan kesalnya untuk meniduri Erina saat ini juga karena melihat ekspresi penyesalan yang terpancar dari wajah perempuan yang sebenarnya dicintai Frendian hingga gila.
"Mantan lo itu, maksud gue calon pacar. Hari ini mengantar bininya yang imut itu untuk kontrol." Frendian menjelaskan.
"Lihatlah, pria yang katanya sangat mencintai lo itu begitu sayang sama bini yang 12 tahun lebih muda dari usianya. Dari usia kita juga," jelasnya lagi.
"Dasar, ternyata semua pria sama aja. Gak liat yang cakepan dan mudaan dikit, langsung aja dicaplok dan lupa sama yang lama," cibirnya sengaja mengompori Erina yang terlihat semakin cemburu.
"Eh, gak mudaan dikit juga sih, tapi emang muda banget."
"Ngapain dia repot-repot anterin bininya? Biasanya dia paling anti jika harus ke tempat yang ada antriannya," desis Erina tanpa sadar.
"Seperti halnya elo, bininya juga baru sembuh dan sempat di rawat di rumah sakit," jawab Frendian memecah rasa penasaran Erina.
"Hari ini jadwal kontrolnya," terangnya kemudian.
Ya, setelah kepulangan mereka dari Paris. Erina pingsan di bandara dan sempat dilarikan ke rumah sakit ini akibat dehidrasi serta infeksi luka di tubuhnya. Erina sempat kabur, namun kekuatan Frendian yang menyuruh seseorang untuk mengawasi Erina, membuatnya tertangkap dan tak bisa ke mana-mana.
Dan sekarang, jadwal pengontrolan yang sama yang harus dilakukannya membuat Frendian seperti mendapat jalan agar Aslam dan Erina bertemu kembali. Sebelumnya ia sudah menyuruh seseorang untuk mengorek informasi lebih banyak mengenai Aslam dan istrinya.
"In action now, Baby? Gue rasa elo udah gak sabar buat nemuin calon suami yang tertunda itu." Frendian menyeringai penuh makna.
***
"Gips udah di lepas, tapi kenapa masih harus di bebat gini sih tangannya?" Tak henti-hentinya Bening mengeluh.
Dokter Baskoro sudah melepas gips yang terpasang karena cedera penggeseran pen di tangannya akibat tarik paksa Byan terhadapnya. Dan kini tangannya terpaksa harus di bebat sementara agar tidak membuat kegiatan berlebih pada tangannya.
By the way soal Byan dan Rudy, mereka masih menghubungi istriku dengan melakukan video call atau sekedar bertukar pesan menanyakan kabar terkini dari Bening. Ya...terkadang aku kesal, tapi setidaknya mereka tidak bertemu dan aku memakluminya. Aku akan menghentikan percakapan mereka jika berdurasi lama dan tak kenal waktu. Aku akan tiba-tiba memutus percakapan mereka dengan berdalih habis baterai atau berpura-pura mengeluh kesakitan karena istriku tak akan tega jika aku sakit. Pada akhirnya, aku akan merasa bersalah karena telah menipunya demi mengatasi kecemburuanku.
"Hp sama dompet mas ketinggalan, Yank. Kamu duduk dan tunggu di sini. Mas udah kasih resepnya di sana," perintahku pada Bening ketika aku meraba saku celanaku.
Akibat terlalu sibuk membujuk dan membawa paksa Bening untuk kontrol, aku sampai lupa membawa dompet dan juga handphone. Untungnya aku selalu menyimpan kartu debit darurat lainnya di dalam dashboard mobil dan itu berguna ketika situasi genting saat ini.
Dengan cemas aku meninggalkan istriku sendirian di ruang tunggu pengambilan obat. Banyak sekali yang mengantri menunggu giliran untuk dipanggil. Ternyata masih banyak pasien umum seperti kami yang penuhnya sama seperti pasien berbasis jaminan sosial.
Aku berjalan dengan cepat dan sedikit berlari agar sampai di basement rumah sakit. Cukup sulit, entah karena faktor U atau memang ruangan basement ini yang sulit, aku berkeliling mencari posisi mobilku. Aku hendak menelpon istriku karena dia selalu bisa mengingat di mana letak mobilku terparkir jika kami belanja ke mall atau ke tempat yang basement-nya seperti ini.
Tapi sekali lagi aku benar-benar lupa jika hp dan dompet saja tertinggal di rumah, bagaimana cara menelpon istriku? Lagipula, apa dia membawa ponselnya? Secara, tadi aku membopongnya dengan paksa.
Tau begitu, aku memarkirkannya di halaman parkir depan rumah sakit saja tadi. Selain gampang karena berada di luar dan cepat terlihat, parkir di sana membuat aku lebih cepat sampai dan kembali menemui istriku yang aku tinggal di dalam. Basement yang memang aman dari hujan dan panas pun tidak menjadi jaminan jika aku lupa di mana memarkirkan mobilku.
Aku sampai di lobby rumah sakit ketika kulihat banyak orang-orang berkerubung layaknya semut yang mendapati gula. Salah seorang panik dan memanggil suster ataupun dokter.
Ah, ada yang pingsan rupanya.
Awalnya aku berkomentar dan bergumam begitu saja. Tapi gumamanku berubah ketika orang yang pingsan itu di angkat para suster ke atas hospital bed.
Wajah itu familiar...
Aku bergeming di tempat ketika melihat orang itu di dorong dengan tergesa-gesa oleh suster.
"Siapa keluarganya?" Teriak salah satu suster pada orang-orang yang tengah berkumpul saat itu.