St. Germain - Paris
"Ini semua gara-gara lo, Yan! Kalo aja lo gak macem-macem depan media, apalagi pihak agensi, mungkin gue gakkan di blacklist jadi brand ambassador mereka. Tinggal sepuluh bulanan lagi, Yan! Karir gue ancur gara-gara tingkah impulsif yang lo lakuin! Bahkan, gue kena penalty yang harus gue bayar karena melanggar kontrak!" Teriak seorang wanita yang sudah tidak mempedulikan lagi bagaimana riasannya saat ini.
Akibat ulahnya yang tak terkendali, ia melempar dan menghancurkan apa saja yang ada di dekatnya dengan marah. Ia menjerit dan menangis meraung-raung meratapi nasibnya yang dikeluarkan dengan tegas sebagai brand ambassador oleh pihak agensi di Paris yang mendapati adegan tidak senonoh yang mereka lakukan di ruang rias sebelum pengambilan gambar sesi pemotretan yang akan dilakukannya.
"Tapi, Beb. Saat itu gue benar-benar gak tau kalo kejadiannya bakal seperti itu. Ya, mana gue tau kalo si Lalita bakal masuk lagi. Lo kan tau sendiri, biasanya juga kita aman-aman aja 'ngelakuin'nya di sana, sebelum ato setelah melakukan pemotretan. Dan itu kita lakuin udah lama juga," sanggah pria yang kewalahan menghadapi amukan wanita itu.
Ya, siapa lagi kalau wanita berambut blonde kemerahan juga pria yang kewalahan itu adalah Erina dan juga Frendian.
Erina melempari Frendian dengan bantal. "Dasar mesum! Pria sang3! Hip3r53ks! Br3ngs3k!" apapun, kata umpatan Erina berikan untuk Frendian. Ia terduduk di lantai kemudian manangis sejadi-jadinya.
Walau di negara sana adegan dewasa bisa dilakukan di mana dan sah-sah saja, tapi tidak bagi Erina yang sudah menanda-tangani kontrak kerja sama yang mengharuskan dirinya untuk tidak terlibat skandal percintaannya dengan siapapun sebelum kontraknya berakhir.
Walaupun banyak taipan di Paris yang mengejarnya dan mengajaknya berkencan, tapi Erina terkenal dengan pencintraan model yang sulit didapat karena ia tegas menjalani kontraknya sebagai model.
Tapi hari itu, sepertinya Dewi Fortuna tidak berpihak padanya. Seorang make up artis yang berada di bawah naungan agensi yang menjalin kerja sama dengannya mendapati dirinya sedang bercinta dengan Frendian - manajer sekaligus kekasihnya. Bagai pasangan yang sedang melakukan kumpul kebo dan tak sempat melakukan penyanggahan, mereka langsung terciduk di tempat bahkan tak tanggung-tanggung seseorang melakukan jepretan ampuhnya untuk memfoto serta rekaman video di ponselnya untuk melakukan postingan skandal yang terjadi pada dewi high class model itu.
"Dan sialnya saat ketahuan lo bahkan terus-terusan dengan egoisnya gak mau melepaskan diri dan malah memuntahkannya di atas tubuh gue dengan sengaja, seolah agar orang-orang melihatnya!" Erina berkicau lagi.
"Sorry, gue bener-bener minta maaf. Saat itu lagi klimaks-klimaksnya, Beb. Lo kan tau, kalo itu gak keluar, gue bisa pusing dan lo harus kerja keras buat muasin gue," bantah Frendian seakan tanpa dosa.
"Ya, tapi kan, kita bisa melakukannya di apartemen. Kenapa lo selalu gak bisa mengendalikan diri dan gak liat tempat kalo lo lagi 'pengen'!" Teriak Erina.
"Gimana lagi dong, Beb. Gue gak bisa nahan kalo gue lagi 'pengen'. Dan cuma lo yang bisa meredakannya."
"Bahkan lo sering kali melakukannya dengan bule-bule sialan itu!" Erina melayangkan tangannya dan mencakar pipi Frendian kemudian.
Frendian meringis kesakitan, matanya berkilat dengan emosi yang tak terbaca. Ia melihat darah di jarinya ketika ia meraba luka perih di pipinya. Dengan amarah yang tak bisa ia tahan lagi, Frendian mencengkram kasar pipi Erina dengan tangannya.
"Mereka yang menawarkan diri! Dan gue yang haus akan 53ks lebih memilih mereka daripada harus menunggu lo berlama-lama karena kerjaaan lo! Dan yang terpenting, gue sering ngelakuinnya sama lo, bukan? Bahkan di hari pertama lo masuk jadi model di tempat gue, gue lelaki pertama yang menembus kesucian lo. Karena lo, wanita murahan yang rela menukar tubuh lo demi karir." Frendian menyeringai.
"Dan gue memilih bule-bule sialan itu karena lo sendiri yang mambuat gue memilih mereka. Lo pikir, gue gak tau kalo pria tua beruban itu pernah nyicipin dan bahkan sering make lo buat teman ranjangnya? Dan lo sendiri yang menawarkan tubuh lo padanya cuma karena di antara taipan-taipan yang mengejar lo, dia yang paling kaya di antaranya!" bentaknya lalu membuang wajah Erina dengan kasar.
"Dan sekarang, lo rasain akibat kelakuan lo yang gak bisa jaga diri karena udah ngkhianatin gue!"
"Cuih, ngekhianatin?" Erina tertawa getir.
"Br3ngs3k! DASAR MANIAK!" Teriak Erina.
"JANGAN SEBUT GUE KAYAK GITU!" Teriak Frendian.
"DASAR GAK TAU DIRI! LO GAK LEBIH DARI SEKEDAR BENALU YANG NGEMANFAATIN GUE!" Erina menggila.
"SELAMA INI LO MANFAATIN GUE CUMA BIKIN LO KAYA SENDIRI!"
"HEI! JAGA UCAPAN LO! Lo sendiri menikmati puing-puing euro masuk ke dalam rekening pribadi lo!" tunjuk Frendian di depan wajah Erina.
"Dasar sampah! Bahkan Aslam lebih baik daripada lo. Gue nyesel udah milih lo dan menolak menikah dengannya," desis Erina mencoba meredakan amarah yang sudah bercokol di dalam dadanya.
"Haha, apa gue gak salah denger? Aslam? Lelaki kekanak-kanakkan, posesif dan bodoh itu? Lo nyesel karena gak nikah sama dia?" tawa Frendian dengan sarkasme.
"Dia memang bodoh. Bahkan ia rela menghabiskan hartanya demi gue karena kebucinannya. Setidaknya dia lelaki bertanggungjawab yang mencintai gue tanpa pamrih!" Perkataan Erina membuat Frendian naik pitam. Ia kembali mencengkram pipi Erina dengan kuat sehingga membuat perempuan itu meringis kesakitan.
"Lo berani ngebandingin cowok bego itu sama gue, hah? Lo nyesel milih gue? Oke, sekarang lo rasain gimana nyeselnya lo karena memilih sampah kayak gue. Dan gue bakal ngelakuin lo sama seperti sampah karena lo emang pantas mendapatkannya! Dan gue pastikan, lo bakal ngerasain hidup seperti sampah sepanjang hidup lo!"
Frendian membenamkan bibirnya pada bibir Erina dengan kasar. Menciumm lalu merobek paksa dress yang dikenakan Erina dengan brutal. Telinganya menuli, tak mempedulikan bagaimana Erina meronta, meraung serta menangis di bawah kungkungan sadis dan kasar yang dilakukan Frendian padanya.
***
Pagi hari saat insiden keributan dan pemaksaan itu terjadi. Erina bangun dengan tubuh terbaring di lantai yang dingin dan tak memakai sehelai benang pun. Ia meringis tatkala merasakan seluruh tubuhnya remuk redam akibat perlakuan kasar Frendian padanya. Sepanjang hari kemarin dan semalaman Frendian bagaikan singa yang terus kelaparan, ia tak membiarkan Erina beristirahat sejenak.
Frendian bahkan merasa sangat puas ketika ia bercinta dengan melukai tubuh Erina. Ia mengiris kulit mulus punggung Erina bahkan menamparnya berkali-kali hanya untuk menyaksikan bagaimana Erina berdarah karena berani membuatnya terluka di pipinya. Ia bagaikan seorang masokis gila pada pasangannya. Frendian membabi buta.
Padahal sebelumnya, Frendian selalu bersikap manis dan romantis pada Erina. Bahkan ia selalu melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti kejutan yang membuat Erina melayang dan merasa bahwa Frendian pria paling sempurna di dunia. Walaupun Erina tau, ia selalu berselingkuh dari pria yang menjadi manajernya itu, namun Frendian selalu bersikap baik dan tetap perhatian padanya.
Bukan tidak mungkin mereka bagai pasangan yang baru jadian, pasalnya mereka kembali berhubungan setelah Erina memutuskan meninggalkan Aslam demi karirnya.
Tapi saat itu, hari di mana Erina menyerahkan tubuhnya pada pria tua beruban yang mengejarnya, sikap Frendian sedikit berubah. Frendian menjadi lebih agresif dan tak pandang bulu melihat tempat di mana dan kapan saja ketika ia 'ingin', maka saat itu juga mereka harus melakukannya tanpa ketahuan pihak terkait. Setiap hari, setiap saat dan bila ada waktu, mereka melakukannya disela-sela kegiatan wajib Erina yang bisa membahayakan karirnya.
Dan...saat ini sikapnya terlampau kasar. Frendian lepas kendali. Seolah hati yang mendendam, ia memperlakukan Erina seperti sampah yang bisa diinjak habis siapapun.
"Masih untung gue gak panggil teman-teman gue untuk bergiliran nyicipin lo," ujarnya ketika Erina masih berusaha mengerjapkan matanya dan merasakan nyeri di seluruh tubuhnya.
Frendian duduk di sofa memakai handuk mandinya dengan menyilangkan kaki sambil menyesap segelas wine di tangannya. Ia terlihat segar walau bekas cakaran itu masih membekas di pipinya.
"Walaupun udah berkali-kali dan beberapa pria nyobain lo, ternyata lo masih sangat nikmat." Frendian berjongkok di hadapan Erina yang kesakitan.
"Br3ng-s3k." Dengan lirih dan lemah, Erina mengutuk pria yang ada di depannya.
Frendian melempar gelas wine di tangannya hingga suara pecahan gelas itu memekakan telinga.
"Ya, katai aku sepuasmu, Beb. Setiap kata br3ngs3k yang lo ucapin, maka saat itu juga gue bakal ngelakuin hal yang lebih br3ngs3k lagi!" Dengan kasar ia membalik tubuh Erina lalu melakukan aksi bejadnya kembali.
Entah sudah berapa kali Frendian melakukan pelepasan. Setiap umpatan yang Erina layangkan padanya, maka saat itu juga ia akan menghukum Erina lagi dan lagi. Hingga pandangan gelap itu muncul, Erina sudah tidak bisa merasakan rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya.
***
Jakarta - Indonesia
"Mas, aku udah baik-baik aja. Kenapa harus datang ke rumah sakit lagi, sih?" Bening merengek karena tak mau aku ajak ke rumah sakit.
Ini sudah satu minggu sejak aku membawa istriku pulang dari ruang VIP yang tak menyenangkan baginya. Ya, tetap di hari ketiga kami keluar dari rumah sakit setelah dokter Baskoro yang menangani Bening sudah menanda-tangani berkas-berkas catatan rawat inap dan kepulangannya. Dengan catatan, seminggu kemudian, istriku harus kontrol memeriksa keadaannya.
Betapa bahagianya Bening saat itu. Ternyata membuat ia bahagia hanya sesederhana itu. Dalam hati aku terus bertekad, apapun dan bagaimanapun, apa yang akan membuat istriku bahagia, maka aku akan melakukannya.
Namun, saat ini rupanya kebahagiaan itu hancur dalam sekejap ketika aku mengajaknya untuk kontrol ke rumah sakit. Tubuhnya bersikeras bergeming di tempat tidur. Dan merengek sepanjang pagi ini. Aku memaksanya dengan mengangkat tubuhnya yang tak ringan itu dalam kungkungan kedua lenganku hingga akhirnya tubuhnya bisa bergerak. Tanpa mendengar rontaannya, aku terus membawanya dan memasukkannya ke dalam mobil. Dengan sikap berhati-hati juga agar aku tidak menyakiti lengan tangannya yang masih di gips.
"Sayang, tolong jangan kayak anak kecil..."
"Oh, jadi aku anak kecil?" ia mencebik lalu membalikkan badannya, membelakangiku.
"Bukan begitu maksudku. Dokter Baskoro kan' udah kasih jadwal minggu ini buat check up. Kalo kamu baik-baik aja, mungkin mas juga gak akan maksa bawa kamu ke rumah sakit," tutur sabarku, mengelus tengkuk lehernya dengan lembut.
"Tapi aku baik-baik aja," bantahnya.
"Ya, kalo kamu baik-baik aja, gak mungkin kamu hampir tiap hari muntah dan gak mau makan. Trus, sikapmu juga akhir-akhir ini aneh. Kadang, badan kamu juga sering terasa hangat_"
"Hangat karena idup, Mas. Kalo gak hangat, berati aku mati!" Potongnya. Aku tak bisa berkata-kata.
Entah mengapa akhir-akhir ini emosinya begitu labil. Bahkan aku yang tukang emosian saja bisa kalah menghadapinya. Terkadang, aku sampai kewalahan menghadapi keinginannya yang tiba-tiba di luar nalar. Ada perasaan luluh dan ingin terus mengalah saat melihat wajahnya. Dan anehnya, setiap ia selesai meluapkan semua itu, selalu saja berakhir dengan suasana gokil dengan tingkah konyol yang dilakukan istriku seperti biasanya.
Namun, seperti apa yang aku bilang sebelumnya. Apapun dan bagaimanapun, aku harus membuat istriku bahagia. Walau dongkol, harus bisa kutahan!
Sayang dan tak tega, mungkin sikap itulah yang selalu berhasil membuatku menahan ego dalam diri.
"Terserah kamu mau ato ngga, yang penting mas udah ada janji sama dokter Baskoro buat kontrol dan lepas gips kamu hari ini. Kamu gak mau kan' gips itu nempel terus di lengan kamu? Emangnya kamu bakal terus-terusan tega sama mas apa?" tegasku namun lirih di akhir kalimat, pura-pura mencebik.
Aku memasangkan seatbelt pada tubuhnya. Sekilas kulihat wajahnya merona. Entah karena ia tau makna ucapanku tadi atau karena kami berdekatan. Aku mengukir senyuman yang nyaris tak terlihat. Segera, setelah memakaikan seatbelt pada tubuhku sendiri, aku melajukan mobil dan tak mau berdebat lagi.
Ugh, plis jangan on dulu, 'junior'!!