Adzan subuh berkumandang. Aku mengerjapkan mataku. Sebelah tanganku terasa kebas. Rupanya aku tak lepas memeluk istriku. Aku memandang wajah yang damai dalam tidur lelapnya itu. Kejadian tadi malam membuatku terus melepaskan senyuman yang terukir di bibirku. Perasaan yang membuncah membuatku begitu ringan.
"Yank..." Panggilan itu lolos begitu saja dari bibirku. Aku mengelus rambutnya dan mengusap keringat yang mengembun di dahinya. "Yank...Sayang..." Aku mengucapkannya lagi. Rasanya begitu menyenangkan.
Bening mengerjapkan matanya. Ia tersenyum samar padaku meski belum sepenuhnya membuka matanya. Apa ia akan meloncat ketika ia menyadari kegiatan kami semalam?
Oh, untuk apa aku memikirkan hal itu? Posisiku seperti perempuan yang ketakutan akan ditinggalkan setelah diambil kesuciannya. Padahal, akulah pelaku perampas kesucian istriku sendiri.
Sialnya memikirkan hal itu membuat sesuatu yang di bawah sana bangkit. Mengapa dekat dengannya selalu tak bisa menahan diri untuk tidak bangkit.
"Udah adzan subuh ya?" Tanyanya parau, masih belum membuka matanya.
"Hm," jawabku dengan deheman.
"Aku mau mandi trus sholat subuh," ucapnya lagi. Tapi ia malah semakin bergelung di dadaku.
"Lantas, kenapa gak segera beranjak untuk ke air?" tanyaku membuatnya seketika membuka matanya.
Bening melirik tangannya yang melingkar erat di tubuhku. Kemudian ia memekik lalu segera beranjak. "Maaf."
Ia tak menyadari jika dirinya tak memakai sehelai benang pun untuk menutupi tubuhnya. Membuat bagian atas tubuhnya terekspos begitu saja ketika selimut yang ia kenakan sebelumnya melorot karena ia segera beranjak untuk duduk.
Ow, apa istriku tidak tau betapa aku menginginkannya lagi saat ini?
Aku menarik tangannya, tubuhnya terjerembab ke dalam pelukanku kembali.
"Mas, aku mau ke air dulu." Bening meronta.
"Ssst...diamlah." Aku tak ingin ditolak, sungguh!
"Ya ampun, Mas. Kita gak pake baju?" Pekik Bening kemudian saat ia menyadari jika tubuhnya sama-sama tak berpakaian sepertiku.
Aku terseyum jahil dan merasa tak berdosa.
"Kamu pikir, kita ngapain kalo gak pake baju? Apa kamu gak ingat apa yang udah kita lakuin semalam?"
Bening menenggelamkan wajahnya, merasa malu. Dan entah mengapa hal itu membuat aku tak bisa untuk tidak tersenyum. Aku menenggelamkan dirinya semakin erat. Hawa panas dari suhu tubuhnya membuat aku tak bisa menahan diri lagi. Seketika aku berguling dan sudah berada di atasnya. Menatap wajahnya dengan penuh damba.
"Bolehkah? Aku menginginkannya lagi," tanyaku yang merasa ketagihan.
"Mas, tapi kita harus sholat subuh. Dan...aku juga belum gosok gigi..." Lirihnya memalingkan muka.
"Ayok, kita mandi lalu sholat subuh bersama. Tapi...sebelumnya, kita olah raga dulu." Aku tersenyum penuh maksud.
Sebelum Bening memprotes. aku sudah menutup mulutnya dengan bibirku. Memberinya lummatan kecil penuh cinta.
Cinta? Apa perasaan itu telah muncul?
Entah apa sebutannya. Yang jelas, kami sekarang melakukan hal yang aku inginkan. Dan setelahnya, kami mandi serta melaksanakan sholat subuh bersama sebelum waktunya berakhir. Walaupun aku tak ingin segera mengakhiri pergumulan dini hari.
Akh, sekarang aku bagaikan seorang yang tak pernah puas. Tapi tak apa, bukan? Lagipula itu pada istri sendiri.
***
"Maaf, kemarin kami gak pulang. Kami tidur di rumah Bening," jelasku pada mama dan papa yang sudah menunggu kami hari ini.
Setelah 50 panggilan tak terjawab dari mama yang kami - tepatnya aku abaikan karena tak ingin siapapun menginterupsi kegiatan panas yang terjadi antara kami, akhirnya pukul sepuluh pagi ini, aku dan Bening sudah berada di rumah. Dan kini, kami semua berkumpul di ruang keluarga. Entah ada hal mendesak apa sehingga suasana terasa begitu tegang.
"Kalian ngapain, sih? Ampe mama nelpon kalian gak nyahut," kesal mama.
"Maaf, Ma. Hp-nya aku silent," bohongku.
"Udahlah, mama ngerti." Mama tersenyum menyebalkan.
"Ada yang mau papa sama mama sampaikan sama kalian. Untungnya kami masih bisa bertemu kalian sebelum pamit. Karena jadwal penerbangan kami sebentar lagi," tutur papa memulai pembicaraan penting.
"Lho, kalian mau ke mana?"
"Kami mau Hongkong, Lam. Ada tender besar yang harus papa urus di sana. Lagipula, udah cukup lama kami meninggalkan rumah kami di sana. Dan papa rasa, ini waktu yang tepat untuk kami menetap di sana. Mengingat kami gak perlu cemas jika meninggalkanmu sendirian," jelas papa.
"Betul yang papa bilang. Mama rasa juga keadaan kamu sudah lebih baik. Ada Bening yang bisa mengurus dan menjaga kamu. Mama cukup lega selama Bening yang mendampingi kamu," tambah mama.
"Apa...kalian benar-benar akan menetap di sana?" Aku memastikannya sekali lagi.
"Ya, kami rasa begitu. Mengingat di sana juga banyak sekali bisnis yang mama dan papa jalani," tegas papa.
"Lalu, bagaimana dengan di sini?"
"Papa serahkan sama kamu. Sisanya Pak Yosep yang urus dan bantuin kamu. Ya...papa tau, kamu juga ada perusahaan sendiri. Papa gak maksa kamu untuk terbagi fokus. Tetap jalani usaha kamu, karena papa tetap memantau perusahaan papa dari jauh," terang papa kemudian.
.
.
.
"Mama pamit ya, sayang. Jaga istri kamu baik-baik. Percayalah, kalian pasti akan bahagia. Karena mama lihat, sekarang kamu udah mau nerima istri kamu," wejangan mama sembari memelukku.
"Dan, kabarin mama kalo suami menyebalkan ini nyakitin kamu." Gantian memeluk Bening.
"Apaan sih, Ma. Tenang aja aku gak bakalan nyakitin mantu kesayangan mama ini," pungkasku.
"Iya, mama tenang aja. Mas Aslam udah jinak, kok. Hehe..."
"Mama sama papa tunggu kabar baik dari kalian," senyum mama penuh arti.
"Maksud mama?" Aku tak mengerti.
"Mama mau tahun depan ada tangisan bayi," bisiknya kemudian lalu tertawa ringan bersama papa. Wajah Bening memerah, sedang aku hanya tersenyum.
Kami melambaikan tangan. Aku dan Bening mengantar papa dan mama ke bandara. Rasanya begitu berat, mengingat selalu ada mama yang memperhatikan aku. Aku pasti akan begitu merindukannya, karena mama orang yang menjagaku selama ini. Di masa-masa terburuk bahkan terpurukku.
Berkat mama pula aku bisa bersama seseorang yang tak kuduga sama sekali, istriku. Yang mulai sekarang akan kucoba mencintai dirinya.
Ya, aku akan belajar menerima serta mencintainya. Mencintai segala apa yang ada dalam dirinya...
***
"Mas." Bening menahanku saat kami hendak pulang selepas mengantarkan papa dan mama.
"Ada apa?" Aku berbalik. Dan betapa terkejutnya aku karena wajahnya begitu pucat.
"Mas, bisakah kita duduk dulu di sana?" Tunjuknya pada kursi tunggu.
"Kamu baik-baik aja?" cemasku.
"Tangan kamu dingin banget." Aku meraih telapak tangannya ketika rasa dingin menembus kulit lenganku.
"Tolong, aku ingin duduk dulu, Mas."
"Kenapa kamu memohon begitu?" Aku kesal mengapa ia memohon, terkesan aku selalu melarangnya ini itu. Memang iya, sih.
"Ayok, duduk dulu." Aku memapahnya untuk duduk.
"Beneran, kamu gakpapa?"
Aku berjongkok di hadapannya. Gak peduli tatapan orang-orang yang melihatku. Ya, aku tau jika kursi di sebelah istriku masih kosong. Tapi aku hanya ingin merendahkan diriku di hadapan istriku sendiri.
"Aku cuma pengen duduk aja, Mas." Bening menjawab dengan senyuman.
"Mas, duduk sini," menepuk ruang kosong di sisinya.
"Jangan berjongkok kayak gitu," merasa gak enak.
"Memangnya kenapa kalo mas berjongkok di depan istri sendiri? Jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu itu, kalo sakit bilang sakit. Kamu gak usah nutupin apa-apa lagi dari mas!"
Wah, kenapa emosiku selalu naik ke permukaan bila menyangkut soal Bening?
Sikapku seperti ini pasti terkesan jika aku orang yang temperamen. Dan aku gak mau Bening berpikir seperti itu. Kejadian satu tahun lalu membuat aku tak ingin hal tersebut terulang lagi. Tapi hal itu membuat aku bersikap protektif dan possesif yang berlebihan.
"Aku baik-baik aja, Mas." Bening menangkup kedua telapak tanganku dengan tersenyum. Aku meleleh...
"Hmm...hangatnya..." Meletakkan tangkupan telapak tangan kami ke pipinya sambil terpejam.
"Aku memang kesakitan..." Lirihnya kemudian membuat aku terkesiap.
"Tuhkan, kamu sakit. Kalo sakit kenapa gak bilang? Kita sebaiknya ke dokter sekarang juga. Harusnya kamu gak usah maksain ikut anter mama sama papa ke sini. Apanya yang sakit, hm? Ini pasti karena hampir seminggu ini kamu ngurusin anaknya Rudy, belum karena sibuk di toko," omelanku kemudian karena panik.
Bening menggeleng. "Bukan karena itu, kok..."
"Kalo bukan karena itu, trus karena apa? Jangan mengalihkan sumber rasa sakitmu, Yank!"
"Mas yang bikin aku sakit..." tuturnya pelan dengan semburat pipi yang memerah. Dan ucapannya berhasil membuat aku salah tingkah.
"Emmh...karena mas, ya? Apa...mas keterlaluan?" Sesalku merasa tak enak.
Ya, seharusnya sebagai orang pertama yang menembus kesuciannya aku harusnya bisa lebih peka dan merasakan apa yang ia rasakan. Mungkin saat ini rasa linu dan ngilu juga perih dirasakan oleh istriku. Apalagi aku melakukannya berkali-kali di malam pertama kami.
"Mau mas gendong?"
"Hah?"
"Bukankah 'itu'mu sakit jika berjalan?"
"Mas, ini gak seperti yang diceritain di novel. Cuma ya...serasa ada yang aneh aja, di 'situ', hihi..." Bening merasa malu, ia tertawa ringan.
"Maaf."
"Mas gak perlu minta maaf. Aku bersyukur dan aku senang karena sekarang udah jadi istri Mas seutuhnya." Bening tersenyum, menggenggam telapak tanganku.
"Walaupun sebenarnya aku takut. Takut karena hal ini, mbak Erina merasa terkhianati."
Beberapa saat aku menatap wajahnya yang berubah sendu sambil tertunduk ketika mengucapkan kalimat terakhirnya. Aku tak peduli! Karena sekarang kamu istriku!
Aku bergerak memeluk Bening dengan erat. Setiap kata yang ia ucapkan penuh rasa syukur dan tulus sehingga aku bisa merasakan perasaannya. Hatiku membuncah bahagia tanpa bisa ditutupi ketika ia senang menjadi istriku seutuhnya. Aku mengecupi wajahnya berkali-kali. Gak peduli dengan orang-orang yang menyaksikan apa yang kulakukan pada istriku sendiri.
"Mas, apaan sih? Diliatin orang-orang tau..." malunya.
"Bomat!" mendekapnya dengat erat. Bening tertawa mendengar ucapanku.
"Mas, aku haus."
"Oke, mas beliin dulu."
Mas? Aku baru menyadari jika sedari tadi aku memanggil diriku sendiri seperti itu. Tapi aku senang.
"Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Ingat, jangan ke mana-mana!" Bagai orang tua yang mengarahkan anaknya, berkali-kali aku bilang padanya untuk tunggu.
"Iya..."
Aku pergi meninggalkannya untuk membeli minuman. Berkali-kali aku menengok hanya untuk sekedar melihatnya. Memastikan agar ia mematuhi apa yang aku bilang. Kalau boleh memilih, aku ingin membopongnya di pundakku agar ia tetap bisa bersamaku. Konyol, bukan?
Rasa takut kehilangan selalu hinggap dalam pikiranku karena kehadirannya.
Entah sejak kapan aku ingin menjadi seorang suami yang seutuhnya bagi dirinya.
Ya, aku ingin menjadi suamimu seutuhnya, mulai saat ini. Dan semoga selamanya...