"Yank, bangun. Nih, minum dulu airnya."
Aku membantu Bening agar ia bisa minum dengan menyangga bahunya, ia duduk bersandar di dadaku. Suhu tubuhnya benar-benar terasa panas. Meski begitu, keringat tak kunjung datang. Kontras sekali dengan telapak kakinya yang terasa dingin saat bersentuhan dengan kakiku.
Bening meneguk air minumnya hingga tandas. Kemudian ia merebahkan kembali badannya untuk tidur.
"Makasih, Mas." Matanya kembali terpejam.
Aku meletakkan gelas kosongnya di atas meja kecil samping tempat tidur. Aku merasa cemas melihatnya meringkuk seperti itu. Hilang sudah rasa lelahku setelah seharian bekerja hingga dini hari. Dan hasrat yang tadi sempat bergejolak pun menyurut kembali bila melihat istriku seperti itu. Untungnya si junior pengertian bila pasangannya tidak bisa memenuhi permintaannya.
Ya, aku harap kau tidak terbangun kembali karena melihat istriku tertidur seperti itu saja, biasanya akan selalu membuatku berhasrat.
Tidak, aku bukanlah seseorang yang tidak peduli bagaimana kondisi pasanganku.
Aku, menghormati dan menghargai pasanganku...
"Sayang, kamu mau ngapain?" Aku memekik ketika melihat istriku yang terbangun tiba-tiba dari tidurnya.
Dia tak bicara, hanya berusaha untuk bangkit dan mencari-cari sesuatu. Dengan susah payah, sepertinya ia ingin segera beranjak dari tempat tidur.
"Kamu mau ke mana?" Aku membantunya untuk berdiri. Dengan sempoyang ia memegang erat lengan tanganku. Tangannya menunjuk arah kamar mandi. Seperti ingin berlari, ia berjalan cukup cepat namun aku menahannya.
"Pelan-pelan!" Aku sedikit membentaknya. Dan pergerakannya pun terhenti.
Bening memandangku dengan tatapan tak percaya. Matanya hampir berkaca-kaca. Oh, ya ampun, mulut cabe ini!
"Mas...humpt_"
Sesuatu menyembur dari mulutnya. Basah mengenai pakaianku. Bening muntah, memuntahkan segelas air yang sebelumnya ia minum. Tak lama kemudian ia memuntahkannya kembali.
Tak apa, tak apa. Muntahi aku sepuasmu karena aku pantas mendapatkannya. Ini balasan karena mulut tanpa filterku tadi.
"Maaf...abisnya Mas tadi malah menahanku di sini. Padahal aku mau lari ke toliet!" Sesalnya merasa tak enak setelah ia puas mengeluarkan isi perutnya. Mata dan hidungnya berair setelah muntah.
"Mas bilang juga apa, harusnya kamu ke rumah sakit!" Aku kesal karena cemas, sungguh!
"Mas, ayo ke air dulu. Baju Mas kotor dan...ini pasti menjijikan. Maaf," sesalnya lagi menggiringku ke kamar mandi tanpa bergeming lagi di tempat.
Aku melepas baju kotorku dan membersihkan diri setelah membantu istriku terlebih dahulu untuk membersihkan dirinya.
Mengapa ia muntah? Apa benar seperti yang diucapkannya karena masuk angin saja?
Kurasa ia begitu kelelahan. Belum lagi ia yang harus bekerja melayaniku setiap malam.
Ya, staminanya menurun pasti karena itu. Kuputuskan agar ia tak usah ke toko lagi jika begitu. Masih ada pegawai lain seperti Yuni dan Iman yang membantunya. Aku juga akan meminta tante Lily untuk bantu mengelola tokonya lagi atau sekedar memantau sekali-kali.
"Apa masih mual dan pusing?" Mendaratkan tubuhku di samping istriku yang tengah berbaring.
Bening menggelengkan kepala, "Udah nggak, kok. Makasih ya Mas. Dan...maaf,"
"Gak perlu minta maaf, udah kewajibanku sebagai suamimu." Mengusap pipinya yang masih terasa panas.
"Mas?"
"Hm?"
"Jangan menyuruh aku untuk berhenti mengelola toko," ucapnya yang spontan membuat aku terkesiap.
Ia membuka matanya menatapku dengan senyuman yang meluluhkanku. "Aku baik-baik aja, jadi jangan pernah berpikir untuk menyuruhku berdiam saja di rumah." Tangannya mengulur, menggenggam erat tanganku.
"Ya, lakukan apa maumu," tanggapku tak ingin berdebat. Karena kutahu jika semakin dilarang, istriku akan memberontak.
Aku heran, entah bagaimana dia selalu saja bisa tau apa yang aku pikirkan. Hal itu membuatku tak ingin mendebat dan memilih untuk tersenyum getir. Merasa konyol dan lucu saja.
"Istirahatlah, masih cukup lumayan untuk tidur." Aku berbaring di sampingnya, menariknya dalam pelukanku.
"Mas, jangan dekat-dekat. Aku panas. Nanti Mas ketularan." Dia menjauhkan tubuhnya. Namun, aku tak melepaskannya. Kali ini aku yang memeluknya semakin erat.
"Tadi katanya gak apa tidur bareng kuman."
"Ya tadi. Mas kan sekarang udah seger." Meronta dari pelukan.
"Gak apa," mendekap semakin erat. "Lagipula, kamu emang udah bikin diri ini terbakar saat di dekatmu..." lirihku seraya memejamkan mata.
"Hah?" mendongak menatapku.
"Tidurlah..." mendekap erat, mengusap rambut kepalanya.
Aku memperhatikan istriku, sekilas ia tersenyum sambil terpejam mendengar gombalanku. Kucium keningnya begitu dalam.
Tak lama kemudian, aku menyusulnya ke alam mimpi sambil memeluknya yang terasa...panas.
***
"Yo, gue agak telat hari ini. Tolong elo yang handle kerjaan pagi ini. Gue bangun kesiangan. Dan...Bening sakit, semalam ia demam dan muntah-muntah."
'Hah? Serius lo? Cibey sakit? Trus, gimana keadaannya?'
Mario panik, walau gimanapun, aku tetap gak suka jika ia bersikap berlebihan seperti itu pada istriku.
'Hallo? Lam? Lam lo masih di sana, kan? Lam?'
"Ah ya, Yo. Dia baik-baik aja. Dia hanya butuh istirahat yang cukup. Yo, udah dulu ya. Tolong lo bantu handle dulu kerjaan pagi ini."
Aku menutup segera panggilanku, tak ingin Mario bertanya lebih banyak.
Bening masih tertidur lelap. Waktu sudah pukul delapan pagi, tak tega untuk membangunkannya. Aku segera ke kamar mandi untuk membersihkan dan menyiapkan diri untuk ke kantor.
Bening terbangun ketika aku keluar dari kamar mandi. Dia tersenyum lemah. Setelah selesai bersiap, aku menitipkan Bening pada Yuni dan Iman. Menyuruh mereka menghubungiku jika terjadi sesuatu padanya. Sebenarnya aku tak tega untuk meninggalkannya seperti itu. Aku sudah bertekad untuk tidak akan pergi ke kantor dan merawatnya. Tapi, istriku bersikeras menyuruhku pergi ke kantor karena ia baik-baik saja.
"Mas, maaf hari ini aku gak masak dan bikinin sarapan. Tapi aku udah bekalin blueberry cheesecake kesukaan Mas dalam kotak makan untuk ngemil. Untuk makan siangnya, Mas nanti beli aja bareng Bang Iyo," ucapnya merasa bersalah cuma karena gak siapin sarapan untukku.
"Kamu gak usah cemasin Mas. Kamu pikirin diri kamu aja. Jangan capek-capek, istirahat yang cukup. Hari ini biar Yuni dan Iman yang bantu."
"Iya, Mbak. Tenang aja, nanti aku sama Iman yang bantuin," sahut Yuni.
"Iya, Mas. Udah berangkat sana, ini udah siang." Menyalim punggung tanganku.
"Kamu beneran udah mendingan? Gakkan Mas temenin?"
"Iya..."
"Ya udah, Mas pergi dulu." Masih gak tega meninggalkannya. Aku mengecup kening dan bibirnya sekilas. Gak peduli ada Yuni dan Iman yang bersikap canggung melihat kami.
***
Setelah Aslam pergi, tak lama kemudian Rudy dan Byan tiba.
"Mamiii!!!" Byan berteriak memanggil Bening dengan panggilan sesukanya.
Bening menoleh pada sumber suara itu. Ia celingukan benar-benar memastikan jika tak ada orang lain lagi di sekitarnya. Bersyukur, suaminya yang emosian sudah menjauh. Bila Aslam mendengar apa yang Byan teriakan padanya dan terlebih ada Rudy yang tak melarang anak laki-lakinya itu memanggilnya seperti itu.
Byan berlari membenamkan tubuh mungilnya untuk memeluk perempuan yang sangat ingin dijadikannya maminya. Berkali-kali ia memaksa papinya - Rudy, untuk menjadikan Bening maminya dan segera menikahinya.
Byan masih belum mengerti jika Bening sudah menikah. Panggilan Mas pada Aslam mengasumsikan sendiri jika mereka kakak beradik. Byan hanya tau jika panggilan 'Mas' itu untuk seorang kakak laki-laki. Karena yang ia tau, bagi suami yang udah menikah biasanya memanggil masing-masing daripadanya; papi mami, papa mama, ayah bunda dan sebagainya.
"Hai, anak ganteng. Baru pulang sekolah?" Lagi sakit pun, Bening berusaha tetap ceria di depan Byan.
"Iya, Mami. Tadi aku berani nyanyi di depan kelas," ceritanya bangga.
"Wahh... hebat!"
"Hai," sapa Rudy.
"Hai."
"Tadi, bukannya Aslam?"
"Iya, mas Aslam baru berangkat ngantor."
"Oh..." Rudy manggut-manggut. "Bening, maaf. Seperti biasa, Byan bersikeras untuk ke mari. Padahal aku tadi udah melarangnya untuk tidak sering-sering menemuimu. Karena Byan pasti akan merepotkanmu," sesal Rudy. Padahal hatinya senang.
"Gakpapa kok, Om."
"Haha, kenapa kamu selalu memanggilku om? Padahal kita udah sering bertemu." Rudy merasa kikuk.
"Iyah, Mami. Panggil aja papihku dengan papih." Byan menyahuti. Membuat Rudy kegirangan.
"Tapi papi Byan bukan papinya kakak," sanggah Bening dengan lembut agar Byan tak salah paham.
"Tapi kalian papih maminya Byan!" Byan mulai menyebalkan.
"Iya iya...kakak Bening maminya Byan," ujar Rudy membuat Bening kehabisan kata-kata. Terlebih ia sekarang merasa pusing hanya untuk sekedar meladeni kata-kata Rudy.
Bening membawa Byan masuk ke dalam toko. Diikuti Rudy yang mengekori mereka.
"Om, gak pulang?" Bening menoleh ketika menyadari ternyata Rudy mengikutinya.
"Kurasa hari ini saya ada waktu luang untuk menemani kalian." Senyum nyengir tanpa dosa.
"Yeayyy!! Papih mau temenin kita, Mami," girang Byan.
"Om..." Bening hendak bicara ketika Byan menyelanya.
"Papih, Mami! NO OM!" tukas Byan menyilangkan tangan di dadanya.
"Hah? Y-ya, pap-pi..." terpaksa Bening menuruti. "Om, maksudku Pi. Apa gak sebaiknya Anda pulang dan kembali ketika menjemput Byan seperti biasanya?"
Rudy merasa sumringah. Panggilan papi membuatnya ke-geer-an.
"Tolong jangan salah paham. Aku gak ingin Byan terus mendebatku," tegas Bening.
"Tak apa. Aku senang kalo kamu terus memanggilku seperti itu," tuturnya.
"Lagipula hari ini aku punya banyak waktu untuk menemani kalian."
"Oo..."
"Oo?"
"Ya...kemarin-kemarin Anda memang sibuk."
"Kamu merasa kesal? Kalo dengan ini membuatmu_ maksudku kalian senang, aku akan meluangkan waktuku tiap hari untuk kalian."
"Menyebalkan dan gak tau diri!" Bening hanya bisa membathin.
"Terserahlah," desis Bening kemudian.
Namun tak gentar membuat Rudy kecewa. Bening meninggalkan Rudy dan fokus pada Byan yang sedang asyik bermain sendiri.
Bening duduk menemani Byan. Padahal ia ingin sekali merebahkan tubuhnya yang terasa lemas. Namun, rasanya kesempatan itu takkan ada mengingat ada ayah dan anak yang sama-sama menyebalkan - menurutnya - kali ini. Rasa sakit di seluruh tubuhnya membuat ia benar-benar tak bisa menoleransi hal-hal yang membuatnya semakin pusing.
"Mbak, biar aku yang temenin Nak Byan. Mbak Cibey istirahat aja," bisik Yuni ketika Bening sedang menyiapkan minuman.
"Gak apa, Mbak. Aku gak enak, nanti Byan malah rewel. Lagian aku udah mendingan."
"Mendingan apanya? Muka Mbak Cibey pucat gitu. Nih, badan Mbak panas gini." Yuni menempelkan punggung tangannya pada kening Cibey, memastikan jika bosnya itu masih sakit.
"Udah...ini biar saya aja yang bikin. Mbak tiduran aja di kamar. Nanti aku bilangin sama mas Rudy juga nak Byan kalo Mbak lagi sakit. Saya gak mau nanti mas Aslam marahin saya karena gak bisa jaga amanatnya buat jagain Mbak Cibey," cemas Yuni.
"Gakpapa, Mbak. Mas Aslam gakkan marahin Mbak. Nanti aku yang ngomong," tutur Bening membawa nampan berisi minuman yang sudah siap disajikan.
"Oalah, Mbak Cibey ini. Kalo dikasih tau malah ngeyel! Nanti gimana coba kalo ketahuan? Bisa-bisa, aku sama Iman remuk ini..." gerutu Yuni pelan. Melihat punggung Bening yang menjauhinya.
TBC