Masih pukul dua siang ketika aku memutuskan untuk pulang. Selain pekerjaan yang tidak terlalu banyak dan aku berhasil mendapatkan tender lagi, aku hanya ingin segera menemui istriku. Rasa cemas yang sedari tadi menggelayuti pikiranku, membuat aku sempat tidak fokus untuk melakukan presentasi di depan klien.
Untungnya, klien itu mengerti dengan sikapku ketika aku menceritakan jika istriku sedang sakit. Dan entah karena memang sudah rezekinya atau karena simpati akan kecemasanku terhadap Bening, membuat klien dari India yang sulit sekali diajak kerja sama itu akhirnya terkesan akan sikap dan kinerja kami dan memutuskan untuk bekerja sama.
"Yo, gue pulang duluan. Gue gak tenang kalo ninggalin Bening lama-lama." Membereskan berkas-berkas ke dalam tas.
"Oke, Lam. Lo balik aja. Kasian Cibey. Dia pasti butuh support dari lo." Tatapan Mario sendu. Aku tau, saat ini juga dia pasti ingin berlari melihat istriku.
"Oke, thanks, Yo. Gue balik. Tolong lo handle dulu semuanya. Thanks juga tadi lo udah bantu wakilin presentasi sementara nunggu gue datang." Tanpa mau menanggapi lebih lama lagi aku keluar dari ruang kerjaku yang terasa sesak.
Aku berlari, suara ketukan dari sepatuku di lantai bermarmer ini menggema di lorong saat aku hendak menuju lift.
Sialnya, mengapa lift ini turun begitu lama. Dan seketika aku berpikir lebih baik mempunyai ruangan di lantai satu bila ada saat-saat penting seperti ini maka aku bisa keluar lebih cepat.
Aku mengemudikan mobilku dengan cepat menuju toko. Ingin segera membawa istriku ke rumah ternyaman kami. Bukannya tak suka jika kami harus tidur lagi di rumah toko, rumah itu sama nyamannya. Tapi jika di sana, aku khawatir dia malah mengerjakan pekerjaan seperti biasanya dan tak mempedulikan kesehatannya.
Seperti orang gila, aku terus menggerutu dan mengumpat di jalanan. Perasaan ini seperti ketika Erina meninggalkanku. Namun ini jauh lebih parah padahal istriku tidak meninggalkanku.
Dalam sekejap, aku sampai di parkiran toko. Aku melihat mobil yang aku kenali. Ah ya, aku melupakan sesuatu tentang anak kecil yang merepotkan istriku. Aku tidak membenci anak itu. Aku hanya tidak suka perhatian Bening tersita hanya untuk mengurusi anak orang lain. Bahkan anak itu terkesan diktator yang sepenuhnya mengklaim jika Bening adalah miliknya.
Perasaan gemuruh dalam dadaku semakin berdebar. Aku terus bertanya-tanya sejak kapan mobil Rudy terparkir di sana?
Dan, mengapa Yuni atau Iman yang sudah aku percayai tidak mengabariku sama sekali?
Segera, aku keluar dari dalam mobil. Menggiring kakiku untuk melangkah lebih cepat. Aku membuka pintu toko, ada Yuni yang terkesiap saat melihatku. Mengapa? Apa aku hantu di sore hari?
"M-mas Aslam," gugupnya.
"Yun, gimana keadaan istriku?"
"Mbak Cibey, dia..."
"MAMI! CEPAT KE SINII!"
Perhatianku teralihkan ketika mendengar suara teriakan anak kecil dari dalam. Aku menatap Yuni, bertanya dengan isyarat. Dan dari raut wajahnya yang terlihat kikuk, aku rasa ada sesuatu yang tidak beres.
"PAPI! Cepat tangkap mami, CEPAT!" Lagi, teriakan itu semakin jelas.
Papi? Mami? Apa Rudy membawa calon ibu baru untuk anaknya?
Perlahan aku masuk ke dalam ruang pantry. Gerakan Yuni seolah ingin mencegahku, namun merasa serba salah. Di susul suara pintu toko terbuka. Iman yang sepertinya baru tiba sehabis mengantarkan pesanan, merasa kebingungan dan bertanya-tanya pula.
"Papi, ayo cepat tangkap kami dan peluk mami!"
Teriakan itu semakin jelas ketika aku mulai memasuki ruang dapur. Pemandangan tak terduga tepat di depan mataku. Seorang pria dewasa sedang kucing-kucingan mengejar seorang perempuan dan anak kecil yang sedang mengitari meja.
Perempuan mungil yang terlihat ceria di balik muka pucat dan kelelahannya. Berkali-kali ia mengusap keringat di pelipis dan lehernya. Dan aku tau, itu adalah keringat dingin yang tak enak dirasakan.
Aku bergeming di ambang pintu, mengepalkan kedua tanganku. Dan emosiku langsung memuncak ketika melihat pria itu berhasil menangkap kedua orang incarannya. Terlebih, dia mendekap erat perempuan yang menjadi istriku.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN?!" Teriakku menahan kegeramanku.
Ketiga orang itu menoleh bersamaan. Dan yang lebih menyebalkan adalah Rudy yang tak melepaskan pelukannya pada istriku!
Aku berjalan cepat ke arah mereka. "Lepaskan tangan sialan ini dari tubuh istriku!"
Aku menjauhkan Rudy dengan kasar. Berdiri menghalangi istriku dari pandangan kedua orang di depannya.
"Apa-apaan ini?" Menatap Rudy dengan tajam.
"L-lam, ini gak seperti yang kamu kira." Rudy mencoba menjelaskan.
"Mas." Tangan Bening mencengkram lenganku, dingin dan berkeringat. Hampir saja aku melayangkan tinjuku pada wajah Rudy.
Berkali-kali aku mengumpat dalam hati. Rasanya tak sanggup untuk melampiaskan kekesalanku dikala istriku sedang sakit. Tapi aku tak bisa menahan diri. Aku berbalik menghadap istriku dengan mengetatkan gerahamku.
"Apa yang kamu lakuin, hm?" Aku mencengkram kedua bahu istriku, mengintimidasinya. "Bukankah mas udah bilang, kalo kamu harus istirahat? Kenapa kamu sering sekali membantah apa yang mas bilang? Tidak bisakah kamu nurut apa yang mas bilang, hah?" Akhirnya, aku mengomeli dan membentak istriku yang tanpa sengaja pula mengguncangkan bahunya.
"Om, kenapa marahin mami? Kita kan lagi main. Papih udah berhasil tangkap kita dan peluk mami!" Byan berseru, menantang kekesalanku.
"Mami?!" Pekikku kesal.
"Iya, dia mamiku!" Tunjuknya pada Bening. "Om jahat! Om nakutin mami Byan!"
"Byan." Rudy menggeleng agar anaknya tidak membantah. "Lam, sorry gue gak ada maksud apa-apa, kok," jelasnya.
"Byan, jangan bilang mami yang kamu maksud itu kak Bening?" Tanyaku memastikan. Dan anak itu mengangguk.
Wah, aku tak bisa berkata-kata. Berjalan hilir mudik sambil mengacak rambutku lalu mengusap wajahku dengan gusar, merasa frustasi.
"Mas, maafin aku, ini bukan salah mereka. Aku juga gak apa-apa, kok," bela Bening.
"Gak apa-apa katamu?!" Aku semakin frustasi. "Kamu gak liat muka kamu udah sepucat apa?" menangkup kedua pipinya. "Dan tangan kamu, ini dingin, Yank!" Mengangkat tangannya. "Dan ini, badan kamu tuh masih panas!" mengecek suhu tubuhnya.
"Aku baik-baik aja, Mas." Bening menyanggah. "Orderan hari ini juga udah pada diambil, jadi udah gak terlalu sibuk." Kesal, aku memalingkan wajahku. "Mas, ayo kita pulang." Membenamkan tubuhnya memelukku dengan erat.
Panas, tubuhnya terasa panas. Nafasnya terdengar terengah. Aku tak bisa mengomelinya dan kesal padanya lebih lama. Pelukannya membuat aku luluh.
"Lain kali tolong jangan membantah lagi," tuturku lembut mengelus rambut kepalanya yang bersandar di dadaku. Aku membalas pelukannya dengan sikap yang depensif sekaligus possesif. Aku sungguh takut jika seseorang merebut istriku.
"Om, jangan peluk-peluk mami!" Byan, anak itu berusaha menjauhkan kami dengan tangan mungilnya.
"Hei, dia bukan mamimu!" Aku tak mau kalah.
"Dia mamiku! Iya kan, Papi?"
"Byan, jangan seperti itu." Rudy menggeleng agar anaknya tidak berlebihan.
"Maaf, Lam. Kami tidak bermaksud keterlaluan. Tadi Byan..."
"Dari kapan kalian ke mari?" Aku memotong ucapan Rudy.
"Tadi sepulang sekolah Byan langsung ke mari," jawabnya.
"Sudah lama juga kalian di sini," desisku menahan kesal.
"Ini artinya mereka tiba setelah mas berangkat ke kantor. Benar begitu, Yank?" Bening mengangguk ragu.
"Dan sekarang udah sore, ini berarti mereka..." Aku kehabisan kata-kata. Melepas diri dari pelukan istriku.
Bagai orang tak waras aku kembali berjalan hilir mudik yang kebingungan dan tak tau arah. Ingin rasanya aku melampiaskan kekesalanku. Aku memandang satu persatu orang-orang yang ada di sana. Termasuk Yuni dan Iman yang ternyata menyaksikan interaksi kami.
"YUNI!!" Ya, hanya dia yang tadi aku titipkan istriku padanya. Iman sedang mengantarkan pesanan.
"Y-ya, Mas?" Yuni datang dengan gemetar di seluruh tubuhnya.
"Kamu tau arti daripada menjaga amanat?"
"Y-ya, Mas." menundukkan kepala, takut.
"LALU KENAPA?!" Aku melemparkan sendok yang ada di atas meja ke sembarang arah.
Yuni berjingkat, kurasa semua yang ada di situ merasa kaget akan kelakuanku.
"M-maaf, Mas." Yuni semakin menundukkan kepalanya.
"Ini bukan salah mbak Yuni, Mas. Ini salahku. Aku yang memang beraktivitas karena kalo aku diam aja rasanya gak enak," sanggah Bening.
"Terus aja kamu bela orang-orang yang tak tau diri itu!" Aku membentak, hilang sudah kendali diri.
"Om, jangan marahin mami!!" Lagi, Byan memanggil Bening dengan mami.
"Cepat bawa pulang anak lo dari sini, Rud!" Perintahku.
"Gak mau! Byan gak mau pulang!" Byan histeris. Ia berlari memeluk Bening dengan erat.
"Byan, ayo kita pulang, Nak. Kasian kakak Bening lagi sakit. Dia harus istirahat," bujuk Rudy.
Ck, sejak kapan Rudy bersikap lembut pada anaknya? Seingatku dia masih bersikap keras pada anaknya sendiri. Apa karena pengaruh istriku ia menjadi lebih ke-bapak-an dan bersikap lembut?
"Gak mau, Papih! Aku gak mau pulang! Aku mau di sini lindungin mami!" Byan bersikeras.
Aku bergeming di tempat. Sungguh pemandangan yang membuat aku muak. Mereka bak keluarga dalam drama, di mana seorang anak yang menempel erat memeluk pinggang ibunya, sedang sang ayah berjongkok di hadapan mereka. Mereka seakan saling melindungi dari ancaman monster jahat yang pemerannya adalah, aku.
Wah, aku tak ada apa-apanya saat ini!
"Byan sayang, hari ini kita mainnya udahan dulu yah? Kita bisa lanjutin lagi mainnya besok. Kamu sayang kakak, kan?" Kali ini Bening yang membujuk.
Ya, lengkap sudah. Mereka memang orang tua kompak yang sedang membujuk anaknya.
Berkali-kali aku menghela dan menghembuskan nafas dengan kasar. Aku memalingkan diri. Tak ingin melihat kedekatan mereka.
"Gak mau! Byan masih mau sama mami! Mami juga bukan kakakku! Byan mau pulang kalo mami juga ikut pulang! Papih, ayo cepat bawa mami dari sini!" Menarik-narik tangan Bening.
"BYAN, jangan seperti ini!" Rudy menaikkan nada suaranya.
"Ayo...mami ikut Byan pulang!"
Anak kecil itu sungguh menyebalkan. Ia menarik-narik istriku yang kewalahan akan sikapnya.
"Byan, tolong lepas. Tangan kakak..." pinta Bening dengan lemah.
"Byan! Jangan seperti ini. Kakak Bening kesakitan!" seru Rudy mencoba melerai.
"Gak mau! Kalo aku lepas, mami gakkan ikut sama aku!"
"Akh! Aww!" Bening memekik, bersamaan dengan suara bedebum yang keras di lantai.
"Mami!" Byan.
"Bening!" Rudy
"Mbak Cibey!" Yuni dan Iman.
"Sayang!"
Aku berlari menuju istriku yang tergeletak di lantai. Menarik tubuhnya yang sempat berada di pangkuan Rudy.
"Yank, bangun Yank," panikku saat itu. "Sayang!"
Wajahnya memucat, suhu tubuhnya panas. Namun telapak tangannya begitu dingin Berkali-kali aku menepuk pipinya berharap ia sadar.
"Mami..." Byan menangis.
"DIA BUKAN MAMI KAMU, BYAN!" Aku berteriak, lupa jika yang dihadapi adalah anak kecil.
"Sebaiknya lo bawa Byan pulang, Rud!" Pintaku menahan kegeramanku.
"Yank, bangun Yank. Sayang, pliss!" Aku bergetar. Sumpah, aku begitu takut dan kalut.
"Lam, tapi..."
"Tolong lo pergi dari sini, Rud. Gue mohon."
"Oke, Lam. Sekali lagi gue minta maaf karena gue benar-benar gak tau kalo Bening lagi sakit. Dan gue gak bermaksud apa-apa dengan panggilan mami," jelasnya.
"Pergi!" Sungguh, aku gak mau dengar penjelasan apapun saat ini!
Rudy pergi bersama Byan yang terus merengek ingin melihat Bening. Aku segera mengangkat tubuhku istriku yang lunglai dan lemah, memasukkannya ke dalam mobil ditemani Yuni dan membawanya ke rumah sakit. Sementara Iman kusuruh menjaga tokonya.
Semoga tidak apa-apa...
Semoga baik-baik saja...
Bertahanlah, Sayang...
Berkali-kali, dalam laju mobilku, aku bergetar serta merapalkan kalimat itu seperti mantra.
TBC