Jika ditanya hal apa yang membuat hidupku bahagia saat ini, jawabannya adalah berperan menjadi suami yang baik.
Ini sudah beberapa minggu yang lalu sejak mama dan papa memutuskan untuk tinggal di Hongkong. Tepatnya sudah hampir dua bulan pernikahan yang aku jalani bersama Bening. Kami menjalani kehidupan rumah tangga kami dengan penuh warna. Walau terkadang rasa canggung masih melekat di antara kami.
Tinggal berdua di rumah besar tak membuat suasana mencekam. Selain ada mbok Narti, sopir, satpam dan tukang kebun, kehadiran Bening seorang saja sudah membuat rumah sebesar ini layaknya taman hiburan yang ramai. Para pelayan yang sebelumnya membantu sudah tidak ada karena mereka hanyalah harian lepas yang sementara menggantikan mbok Narti waktu pulang kampung.
Siapa yang takkan betah jika penghuni rumah sebesar ini dihiasi dengan perempuan seceria istriku? Bukankah rumah akan terasa asri jika penghuninya bahagia, bukan?
Begitulah yang aku rasakan, kehadiran istri yang bahagia di rumah membuat hari-hari penatku selepas pulang kerja menguap begitu saja ketika dirinya menyambut kepulanganku atau menyambut kedatanganku ketika aku menjemputnya di toko.
Hari-hari kami dijalani seperti biasanya. Aku pergi ke kantor mengerjakan setumpuk pekerjaan yang tentunya tetap dibantu Mario. Kadang pula aku memantau usaha papa yang ada di sini. Dan juga Bening istriku yang tetap sibuk mengurus tokonya.
Bersyukur rezeki kami terus mengalir, baik usahaku ataupun usaha Bening. Sehingga hal tersebut selalu menunda rencana kejutan yang aku buat untuk mengajaknya berbulan madu sambil liburan. Terutama karena mama yang terus mendesakku untuk melakukannya.
Bukannya tak mau, tapi selalu saja ada hal yang membuatnya tertunda. Dan istriku, dia sama sekali tak pernah menanyakannya. Dia tak pernah menuntut apapun, bahkan soal materi ataupun perasaanku. Lain halnya jika bersama Erina. Sebelum menikah saja kami sudah merancang masa depan kami. Seperti bulan madu setelah pesta pernikahan dan juga soal menafkahinya. Mengingat hal itu, selalu berhasil membuatku merasa bersalah pada istriku.
Terkadang, kami juga tinggal di rumah peninggalan orang tua Bening jika ia sedang kebanjiran orderan. Kasihan jika aku harus memaksanya pulang ketika ia kelelahan setelah selesai mengerjakan semuanya.
Satu hal yang pasti, apakah kalian tau jika hampir setiap hari, setiap malam, kami selalu 'melakukannya'? Ya, tentu saja itu ulahku yang memintanya karena sehari tanpa 'jatah' rasanya bagaikan seblak kurang hot jeletot. Wkwk...
Bahkan aku bisa menagihnya berkali-kali di hari weekend sehingga seharian itu kami hanya bergelung di balik selimut dan tidak keluar kamar kecuali kami lapar dan haus.
Apa aku keterlaluan? Berdekatan dengannya selalu berhasil membuat hasratku bergolak. Dirinya bagaikan candu yang selalu membuatku menagih dan menagih. Beruntung, Bening selalu memenuhi hasratku yang seakan tak pernah puas. Dia tak pernah menolak ataupun mengeluh walaupun kutahu dirinya kelelahan dan selalu ada rasa malu dari dirinya saatku menginginkannya. Dia sungguh gadis yang polos dan tak berpengalaman. Tapi aku senang, karena aku pria pertama dan satu-satunya pria yang berhasil menjamahnya. Dan hasratku bisa terpenuhi hanya dengan dirinya.
'Nanti malam sepertinya Mas pulang agak malam, kamu...'
Aku mengetik pesan untuk istriku. Hari ini pekerjaanku masih banyak. Ada klien yang ingin desain project-nya segera rampung besok pagi. Aku menghentikan kalimat yang aku ketik untuknya, merasa bimbang karena tak tega menyuruhnya pulang sendirian. Terutama karena aku begitu merindukannya dan ingin segera bertemu dengannya.
Hingga bunyi singkat dari hp muncul dibalik lamunan bimbangku. Ada satu pesan masuk dari istriku, kubuka dan membacanya.
'Gakpapa nanti aku pulang sendiri aja.'
Bening mengirimiku pesan seperti itu? Apa maksudnya? Ck, jempol sialan! Tanpa sengaja aku mengirim pesan yang tadi belum selesai aku ketik.
Aku merasa panik dan serba salah. Arghh...bukan itu yang aku mau!
Jika kutarik pesannya pun percuma, Bening sudah membacanya. Bukan dibaca lagi, melainkan ia sudah membalasnya. Kuputuskan untuk menelponnya.
'Assalamualaikum...'
Salamnya membuatku terpaku. Selalu, setiap kali aku menelpon dirinya, suaranya membuatku terbuai. Ugh, aku semakin merindukannya.
"Waalaikumsalam..." balasku kemudian dengan tersenyum, walaupun ia takkan melihat senyumanku ini.
'Mas, lagi ngapain? Katanya sibuk. Kok, nelpon? Tenang aja, gakpapa aku pulang sendiri, nanti.'
"Gak boleh, Yank!"
'Kenapa?'
"Kamu jangan pulang sendiri. Gak usah pulang aja. Kamu tidur aja di toko_"
'Trus, Mas gimana? Mas ke toko juga kan, nanti?'
"Yank, Mas belom beres ngomongnya ini."
Salah satu kebiasaannya, dia selalu memotong pembicaraanku. Terkadang tebakannya benar, seolah ia mengetahui isi hati. Terkadang pula ia selalu mengasumsikannya sendiri, seperti barusan.
'Maaf, Mas. Tapi nanti Mas ke toko, kan? Kalo gak ke toko, nanti Mas kangen sama aku, lho...'
Gedubrak! Ada-ada saja yang istriku bilang. Dia memang paling bisa membuat suasana hatiku membaik dikala mumetnya pekerjaan ataupun hal lain.
"Ge-er banget kamu, Yank." Aku terkekeh, tak bisa menahan rasa yang membuncah dari hatiku.
'Oh...nggak kangen yah? Tapi kangen banget kan...?' Bening tertawa. Dan tawanya berhasil menular tanpa bisa kutahan lagi.
"Ya, kangen banget. Mas tutup dulu ya telponnya. Jangan lupa yang Mas bilang! Jangan pernah membantah! Tunggu Mas pulang!"
'Iyaa Mas bawel!'
"Kamu yang bawel. Mas kan ganteng."
'Iyaa cuamiku Mas Aslam yang paling guanteng sedunia! Hueek...'
"Kok gitu sih, Yank?"
'Haha, ya udah tutup dulu. Mas lanjut lagi aja kerjaannya. Bye!'
"Bye, Yank. Mmuu__" telpon terputus. "_ach."
Bening menutup telponnya sebelum aku selesai bicara. Kesal, karena ia tak membalas sun jauhku.
Hp-ku berbunyi pendek. Satu pesan kuterima darinya.
'Mmmmmuuuachh...😘💕'
Sun jauh plus emoticon love dari istriku.
Aku mesem-mesem sendiri. Rupanya ia membalas sun jauhku.
Bagai anak remaja yang sedang jatuh cinta, tak bisa aku menutupi perasaanku saat ini. Rasanya begitu konyol. Dan panggilan sayang itu merupakan kebiasaan baru yang mengalir begitu saja dari mulut berbisaku ini.
Yank, Yank, Yank, Sayang...
Rasanya sungguh menyenangkan memanggilnya seperti itu. Jika dulu Erina yang memang ingin dipanggil honey, lain halnya sekarang panggilan sayang kepada istriku keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam.
Dan panggilan Mas bagiku juga sangat menyenangkan. Bahkan aku menyebut serta membiasakan diriku sendiri dengan panggilan tersebut.
"Sepertinya hubungan kalian semakin membaik." Mario menyahuti. Dan seperti biasa, ia bicara tanpa mengalihkan pandangan dari layar monitornya.
"Ya...seperti yang lo lihat," tanggapku senyum-senyum.
"Syukurlah. Semoga kalian selalu seperti itu selamanya," doanya.
"Amin! Thanks, Bro! Semoga lo juga segera mendapatkan jodoh yang terbaik," doaku balik.
"Amin, thanks juga. Gue seneng akhir-akhir ini lo gak kayak terong rebus. Haha..."
"Sialan lo!" Melempar kertas yang udah jatuh duluan di lantai tanpa kena sasaran.
"Apa...lo mencintainya?"
Hening...
Pertanyaan Mario yang satu itu selalu berhasil membuatku terpaku.
***
Aku memindahkan istriku yang tertidur dengan meringkuk di sofa ruang tamu ke dalam kamar. Lalu menidurkannya dengan perlahan agar ia tidak terbangun. Mungkin dia menungguku. Aku pulang pukul tiga dini hari.
Bagiku rekor saat ini mengingat baru kali ini aku selesai bekerja pada jam segini setelah menikah. Dulu hal ini sudah biasa, bahkan bisa tidak pulang. Namun untuk sekarang hal ini sungguh melelahkan dan...menjenuhkan.
Satu hal yang pasti, setiap harinya, setiap saat tubuhku selalu mengajak berlari hanya untuk sekedar cepat pulang. Ada yang menungguku di rumah seperti sekarang.
Andai saja pintu Doraemon itu di jual di situs online, maka tak perlu waktu lama untukku cepat sampai.
"Udah pulang?" Paraunya. Rupanya Bening terbangun. Padahal aku sudah berhati-hati dan sepelan mungkin agar tidak mengganggu tidurnya.
"Hm. Tidurlah, kamu terlihat lelah." Mengusap pipinya.
"Hm. Mas juga, tidurlah." Menepuk ruang tempat tidur yang kosong di sebelahnya dengan matanya yang terpejam rapat.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Ia mengantuk namun berusaha agar terlihat masih bangun. Kurebahkan tubuhku di sebelahnya. Belum sempat aku mengganti pakaianku untuk sekedar membersihkan diri. Tangan dan kaki istriku bergerak layaknya gurita yang melingkari tubuhku.
Oh, sh*t! Seharusnya jangan seperti ini, Yank! Kau membangunkan si 'junior' yang sedang tidur.
"Mas belum bersih-bersih, Yank. Badan Mas bau." Aku melepas tangannya.
"Nggak...Mas wangi, kok..." semakin melingkar erat di tubuhku.
Aku merasa risih bukan karena pelukannya. Tapi aku tak enak jika tubuhku menguarkan aroma tak sedap. Dan...you know what, lha... sesuatu di bawah sana memberontak ingin segera keluar.
"Mas pasti capek, tidurlah. Soal kuman nanti juga mati karena Mas wangi..."
Hh, ada-ada aja yang Bening ucapkan. Mana mungkin kuman mati karena wangi. Rasa hangat tubuhnya menenangkanku. Aku mencium pucuk kepalanya yang beraroma candu. Sstt, 'junior' kali ini tertidurlah! Kasihan istriku...
"Biarkan kali ini kuman tidur bersama kita. Kuman takkan mengganggu karena hari udah terlalu malam. Ah ngga, ini udah dini hari, ya? Kuman pasti sedang lelap-lelapnya..." Istriku meracau lagi padahal matanya terpejam rapat.
"Mas, tau nggak? Aku juga belom sempat mandi, tadi."
"Kenapa?" Mengusap-usap rambutnya, menenangkan sesuatu yang menegangkan di bawah sana.
"Dingin." dia terkekeh pelan. "Entah kenapa dingin sekali. Padahal tadi udah pake air hangat tapi rasanya dingin sekali. Jadi, gak jadi mandi deh..." pipinya menempel di dadaku kali ini.
Benda kenyal di dadanya membuat aku semakin terusik. Berdekatan dengan istriku membuat aku tak bisa menahan diri lagi. Panas dari tubuhnya membakar hasrat yang bergolak dalam jiwaku.
Dulu tak pernah seperti ini jika bersama Erina. Bahkan berdekatan seperti ini saja tak pernah membuat si 'junior' langsung terbangun. Aku hanya bisa 'on' jika Erina memancingku dan aku menciummnya. Kelihaian tangan serta mulutnya membuat aku berhasil berhasrat. Namun, bukan hasrat yang seperti ini. Hasrat pada istriku seakan tak pernah padam. Tubuhnya sungguh membuatku panas.
Tunggu, panas? Ya, tubuhnya memang panas. Dan ini bukan panas karena bergolak.
"Yank, kamu sakit?" aku terkesiap. Mengecek suhu tubuhnya dengan telapak tanganku.
"Nggak, Mas yang adem," racaunya.
"Seriusan nih, Yank. Badan kamu panas banget. Kamu sakit ini mah. Pantesan aja kamu merasa dingin. Pasti itu karena kamu udah meriang," cerocosku kemudian karena panik.
"Ayok, kita ke rumah sakit sekarang, Yank." Melepaskan diri namun Bening tak mau lepas.
"Gak mau...aku mau tidur aja, Mas..." rengeknya.
"Badan kamu panas banget ini, Yank. Ayok, Mas bawa kamu ke rumah sakit sekarang. Sebentar, Mas cek suhu kamu berapa."
"Gak mau...Mas diam aja, aku mau peluk Mas. Nanti juga aku sembuh, kok. Aku cuma butuh tidur..." Menahanku agar tidak beranjak.
"Tapi Yank..."
"Aku gakpapa, Mas...akhir-akhir ini aku terlalu sibuk karena kebanjiran orderan aja. Alhamdulillah..."
"Oke, tapi kamu harus minum obat dulu, Yank. Agar panasnya turun. Sebentar, Mas cari dulu. Di mana kotak obatnya?"
"Mas...aku gakpapa...Lagian udah lama juga kotak obatnya gak ada paracetamol...Kalo ada juga takutnya udah expired...Kumau minum aja..." ucapannya melemah. Aku semakin khawatir.
"Mas ambilin dulu. Lepas bentar, Yank."
Aku pergi mengambil air ke dapur. Sekilas aku melihat cake-cake indah terpajang memenuhi showcase tokonya. Ya, orderannya banyak sekali. Bahkan rangkaian bunga-bunga segar sudah terpajang di depannya dan aku rasa itu juga pesanan untuk esok hari.
Bening terlalu bekerja keras akhir-akhir ini. Ditambah ada Byan. Oh ya, soal anak itu, dia masih sering mengunjungi Bening dan terus mengajaknya bermain.
Tanpa pernah mengeluh, Bening selalu bersikap ceria dan menerima jika Rudy menitipkan Byan padanya. Memangnya Bening itu tempat penitipan anak, apa?
'Jangan salahin gue karena Byan sendiri yang memilih bini lo untuk terus menemaninya. Katanya bini lo mima-nya yang baru.'
Begitulah kata-kata Rudy yang terus terngiang di telingaku. Aku bukan anak sebesar Byan yang tak mengerti arti kata mima
yang sering Rudy ucapkan.
Kerap kali aku mengepalkan tanganku, ingin menghajar Rudy yang terkadang ucapannya sangat menyebalkan. Hanya karena Bening yang menahanku agar tak emosi, membuat aku selalu mengalah. Dan tentu saja itu dimanfaatkan Rudy dengan tersenyum menjengkelkan. Ia tahu aku akan mengalah demi Bening.
Ya, silahkan Bening jadi mima-mu. Tapi sampai kapanpun, Bening takkan jadi mami-mu!
Ah, aku sampai lupa tentang airnya.
***
Jangan lupa slalu tekan like & votenya sehabis membaca yaaa..
Kasi komentar positif juga untuk koreksian.
Dukungan kalian sangat kutunggu akak², adek², semuanya...
Untuk yang masih setia nungguin up & simak terus kelanjutan kisah Bening & Aslam...Jinja Gomawo 🤗💕