"Kekasihnya, Rian. Tuh" tunjuk Lian dengan dagunya, di ikuti tatapan tajam Amel ke sosok Ara yang lagi ngobrol dengan Ezhar dan Aisyah. Selagi Lian asyik berceloteh, Amel mengamati Ara dengan ekpresi kurang senang.
"Eh, aku naik dulu ya?" kata Lian sambil mengambil ransel punggung saat melihat Rian memberi koda untuk jalan. "Kami duluan. Sampai jumpa di Telaga Dewi."
Amel hanya tersenyum basa-basi. Dan memandangi rombongan kecil itu sampai lenyap di balik tikungan, terutama sosok Rian, dengan sorot mata cemburu ketika menyadari cowok itu semakin tampan dan bergaya. Di tambah lagi dia begitu memperhatikan gadis bertubuh kecil itu sedemikian rupa.
Dari posko pendakian mereka masih harus berjalan dua kilometer menuju titik awal pendakian yang di tandai dengan tiang-tiang pemancar stasiun televisi.
Medan yang harus dihadapi pertama kali adalah semak belukar atau orang minang menyebutnya hutan pimpiang yaitu sejenis rerumputan dengan ukuran batang sebesar jempol yang sangat lentur sehingga sering menutupi jalur membuat para pendaki harus menunduk dan merangkak.
Jalur ini cukup sulit dan melelahkan, kurang lebih satu jam untuk mengakhiri perjalanan di hutan pimpiang. Setelah itu akan di hadapi oleh jalur berupa akar-akar pepohonan, sayangnya tidak ada 'bonus' di sini.
Perjalanan mereka cukup aman. Cukup ikuti kabel dan tiang listrik yang menjadi patokannya. Setelah kurang lebih empat sampai lima jam perjalanan.
Rombongan kecil itu terus berjalan, menempuh jalan berbatu cadas. Sampai sejauh ini Ara masih mampu dan penuh semangat. Sementara itu, keadaan pacarnya Ditto lumayan parah. Berkali-kali minta berhenti untuk istirahat. Sebenarnya, keadaan Ditto jauh lebih parah.
Badannya yang kecil terbungkuk-bungkuk akibat menahan beban berat di punggungnya. Kemeja ungunya juga basah oleh keringat. Namun dia berusaha tetap menikmati dunianya yang indah berbunga-bunga sekaligus berat berkilo-kilo. Sang kekasih rajin berkeluh kesah. Ditto rajin menasehati dengan sikap sabar. Sang kekasih mengeluh kakinya pegal. Ditto tersenyum tabah dalam hati karena bukan saja kakinya yang pegal luar biasa, tapi punggungnya juga.
Untuk mengalihkan rasa lelah Ara sepanjang perjalanan, Rian banyak bercerita. Cadas merupakan check point yang pasti terlewati jika mendaki dengan jalur Koto Baru. Mereka akan di berikan 'bonus' di awal trek cadas, kemudian di hadapkan tanjakan terjal berupa batuan kuning.
Langit sejak awal sudah mendung dan hujan juga turun beberapa saat sebelum mereka mendaki. Tanjakan itu menjadi licin pada kondisi kadar air tanah yang berlebih.
Perjalanan melewati lereng curam, berbatu-batu, juga licin karena di aliri oleh kadar air tanah dari tebing di atasnya. Pendaki cadas dapat menghabiskan waktu dua jam . di tengah lokasi ini terdapat Tugu Galapagos. Tugu yang di buat untuk mengenang hilangnya salah satu siswa pecinta alam pada tahun 1990-an.
Ara harus berpegangan erat pada lengan Rian supaya tidak tergelincir. Betis Ara mulai mengeras, lututnya pun pegal bukan main. Tapi dia berusaha menahan tanpa mengeluh, biarpun sesekali dahinya mengernyit.
'Ayo Ara, jangan mengeluh! Berani berbuat, berani menanggung akibatnya, ini kan kemauan mu sendiri meskipun ada bisik-bisik juga dari Hana'
Kalau Rian sedang lengah, Ara buru-buru memijit betisnya sambil berjalan. Tenggorokannya juga terasa kering sehingga rasanya sanggup menghabiskan satu ember air yang sejuk. Baru terasa betapa berharganya air selama perjalanan yang sulit ini. Seteguk air berarti tambahan tenaga dan semangat.
Sampailah mereka di cadas yang merupakan lokasi yang cocok untuk beristirahat karena memiliki tempat yang cukup lapang untuk mendirikan tenda. Tapi mereka masih memiliki waktu dan fisik yang masih lumayan. Rian menatap rombongan kecilnya dan bertanya.
"Bagaimana masih sanggup? Jika tidak kita bisa istirahat di sini, tapi kita kesulitan mencari air saat malam akan ada tikus gunung yang mencari makan. Tapi jika kita lanjut jalannya lebih landai dan tentunya pemandangannya sangat indah serta air yang melimpah."
Rian menatap Ara meminta pendapat gadis itu masih bertenaga terlihat jelas tekat di matanya hanya wajahnya yang pucat, dan keringat di dahinya yang bercucuran. Aisyah juga berdiri di belakang Ara menjaganya dari tergelincir.
"Kita lanjut saja!" sahut Ara. Dengan napas ngos-ngosan.
Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan melewati Hutan Lumut. Di lokasi ini pendakian di dominasi akar dan pepohonan yang tertutup lumut. Suasana teduh di lokasi ini menjadi salah satu titik istirahat para pendaki. Keindahannya yang eksotik kerap kali menjadi objek foto yang perlu di dokumentasikan.
"Aduh, indah banget ya, Rian.." Ara mendesis kagum. Kalau bukan karena mengejar waktu supaya tidak kesorean tiba di Telaga Dewi, ingin rasanya dia duduk berlama-lama.
Lokasi Telaga Dewi dapat di temui setelah menempuh enam sampai tujuh jam pendakian. Keindahan panoramanya membayar rasa lelah pendaki yang menyiksa di awal trek pendakian.
"Kita istirahat di sini, besok pagi kita bisa melanjutkan perjalanannya lagi." Ujar Rian.
Mendengar kata istirahat, Arin berteriak girang dalam hati. Mereka langsung mencari lokasi untuk mendirikan tenda.
Rian berhasil menemukan lokasi yang cukup lapang di bawah pohon-pohon besar dengan semak-semak mengitari yang mampu menampung satu tenda besar dan satu tenda kecil untuk tempat rombongan mereka menginap malam ini. Musim liburan menyebabkan mereka harus pintar-pintar mencari tempat istirahat yang nyaman agar tidak berhimpitan dengan pendaki lain.
Matahari semakin tenggelam di tepi langit Barat. Sinar melemah, sementara langit menghitam. Udara semakin dingin mengigit . Malam itu, Telaga Dewi menjadi semacam perkampungan kecil yang di huni orang-orang dari berbagai kalangan, berbagai daerah dan usia. Beberapa pendaki saling bertegur sapa dengan ramah, beberapa lagi mengobrol dan tertawa-tawa. Sesuai peraturan, api unggun di larang. Sebagai gantinya, mereka duduk berhadapan di depan kompor untuk memasak atau masuk ke dalam tenda yang di buka sedikit tutupnya sembari berbincang-bincang.
Setelah selesai mendirikan tenda dome, mereka berlima baru sadar kalau Ditto dan Disa belum datang juga. Lian yang memusuhi Ditto, kali ini mencemaskan nasib sepasang sejoli yang mabuk asmara sekaligus mabuk gunung itu.
"Lian, taruhan yuk. Nanti yang sampai duluan si Ditto atau ceweknya?" canda Ezhar mencoba menghalau rasa cemas.
"Dua-duanya," cetus Lian acuh tak acuh, sibuk menyalakan kompor paraffin yang agak ngadat.
"Eh, ralat deng! Si Ditto yang ngegendong ceweknya atau ceweknya yang ngegendong Ditto, atau Ditto tetap setia ngebawa ranselnya?"
Lian terkekeh-kekeh. "Dia tuh sepertinya tidak sadar kalau kita kerjain. Mungkin di kiranya semua bawaan naik gunung, emang seberat itu. Padahal sih, hampir semua perabotan ada di ranselnya. Ada makanan kaleng yang berat-berat, tempat air ukuran gede plus airnya, dan beras lima kilo. Eh, aku masukin batu juga kali dan tali tambang yang gueede, terus aku bilang buat nahan tenda biar tidak roboh di tiup angin."
"Ransel kita kelihatannya aja yang besar, padahal isinya sedikit," imbuh Ezhar geli.
Sebentar kemudian api kompor berhasil menyala. Lian menjerang air panas untuk membuat teh dan kopi, lalu mengeluarkan bahan makanan untuk memasak, yaitu mie instan, telur dan sayuran yang masih segar. Ara dan Aisyah duduk di samping Lian, membantu memasak mie dan membuat kopi panas.
Setengah jam kemudian, datanglah dua bintang tamu yang di tunggu-tunggu. Dari kegelapan malam, di antara bayangan pepohonan yang menaungi jalur pendakian menuju Telaga Dewi, menyeruakkan dua sosok Ditto dan Disa, diiringi seruan lega teman-temannya.
Ternyata tebakan Ezhar dan Lian salah total. Bukan siapa yang menggendong siapa atau siapa yang duluan sampai, melainkan siapa yang memarahi siapa. Tangan Disa di gandeng Ditto yang bermuka sabar penuh kasih sayang walau berpeluh deras, sementara Disa mengomel-ngomel sambil meringis memegangi betisnya.