Rombongan kecil itu siap pulang. Khusus hari ini, berhubungan kaki Ara masih pegal, dia mendapatkan bonus. Hampir seluruh isi ranselnya berpindah ke tangan ransel Lian sehingga ranselnya sangat enteng, hanya berisi sebotol air minum, jas hujan, sehelai baju ganti dan permen. Sedangkan Ditto yang tetap belum tahu kalau dia lagi di kerjain, setia dengan batu bata dan tali tambangnya plus tambahan bonus kompor paraffin dan beras yang belum habis.
Langkah kaki mulai berayun, berderap meninggalkan Telaga Dewi yang telah meninggalkan seribu satu kesan buat Ara. Sesekali dia menoleh ke belakang. Seolah memastikan puncak Gunung Singgalang dan Telaga Dewi masih berada di tempatnya. Suatu hari nanti, saat dia ingin kembali lagi, dia berharap tempat itu masih ada dan akan selalu menunggunnya.
Mendung mulai menggelayut, semakin lama semakin menghitam. Titik-titik air mulai berjatuhan, membasahi jalur yang cenderung lurus, terjal dan curam. Pepohonan lebat dan semak-semak tumbuh menjalar di sepanjang kiri dan kanan.
Sebentar kemudian, hujan berangsur berhenti. Pandangan yang sebelumnya terhalang oleh air hujan di gantikan kabut tebal.
"Sini aku lepasin jas hujannya," Rian menyorongkan tangan, membantu melepaskan jas hujan yang membungkus badan Ara. Tapi gadis itu menghindar dan memilih minta tolong pada Ezhar. Sejak semalam Ara menghindari Rian meskipun tidak terlalu jelas tapi beberapa pasang mata yang selalu memperhatikan mereka tentu saja tahu. Terutama Aisyah dan Ezhar yang mendengar semua cerita mereka malam itu diam-diam dari dalam tenda.
"…Dingin?" Tanya Ezhar di sambut anggukan Ara.
Ezhar kemudian menyodorkan teh manis hangat. "Ini minum, biar badan mu hangat."
Ara meminum seteguk demi seteguk. Membasahi tenggorokannya, mengalirkan rasa hangat seketika, merambat sekujur tubuhnya. Semburat kemerahan mulai mewarnai pipinya yang pucat dan semangatnya tumbuh kembali.
"Udah enakan?" Tanya Ezhar, menepuk-nepuk pelan pipi itu.
"Banget. Thanks ya," jawabnya tersenyum lebar. Ara menoleh ke belakang mereka ada satu rombongan yang sepertinya juga akan turun. Mereka saling ber iringan.
Kabut telah menipis. Jarak pandang lebih aman. Hujan sudah berhenti sama sekali. Rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan. Ezhar dan Ara berjalan melintasi jalur licin dan terjal. Ezhar dan Ara berjalan paling belakang, di depan ada Rian, Aisyah dan Lian. Sedangkan Ditto dan Disa entah sudah sampai di mana sekarang. Tapi Rian yakin mereka berdua baik-baik saja, setelah bertanya ke pendaki yang kebetulan berpapasan.
Sembari terus berjalan, sesekali Ara melempar pandangan ke sekeliling. Jurang menganga di sebelah kanan. Mengerikan sekaligus mempesona dengan pemandangan indah hamparan hutan dan lanskap yang menakjubkan. Angin gunung bertiup kencang menggerak-gerakkan dedaunan, menimbulkan suara gemerisik.
"Ara, jangan sembarang megang pohon!" Tegur Rian. Yang berjalan di depan yang selalu menoleh kebelakang untuk melihat kondisi Ara.
"Kenapa?" tanya Ara, heran. Tapi nalurinya dengan cepat mendorong untuk menarik tangan kanannya yang hampir menjangkau sebuah pohon yang batangnya di tumbuhi lumut.
"Pohon-pohon yang tumbuh di sini, suka rapuh akar atau batangnya, entah karena sudah mati atau keropos.atau kelihatannya seperti pohon hidup tapi sebenarnya pohon tumbang yang bersandar di pohon lain. Salah-salah, bukannya kau bersandar ke pohon, tapi pohon itu yang bakalan jatuh menggelinding ke bawah sama kamu."
Bulu kuduk Ara sontak merinding. Mungkin inilah salah satu misteri kenapa mendaki gunung bukan perkara gampang. Lengah sedikit saja, maut bakal mengintai. Cepat-cepat Ara menggandeng erat tangan Ezhar. Suara batuk terdengar dari arah belakangnya tapi dia abaikan.
Namun pikirannya kembali melayang kemana-mana. Terutama ke Arka. Pada saat lengah itulah, Ara lupa anjuran Rian.
Tanpa sengaja tangannya memegang batang pohon rapuh yang berdiri di dekatnya, sehingga pohon itu langsung roboh dan berguling ke jurang. Dalam hitungan detik Ara yang berusaha menyeimbangkan badan dengan menjejakkan kakinya agar tidak jatuh, gagal akibat licinnya lumut. Tanpa ampun dia tergelincir jatuh ke bawah menuju jurang yang menganga. Sebelah tangannya yang sebelumnya erat memegang tangan Ezhar terlepas begitu saja.
Semuanya terjadi begitu cepat. Tanpa sempat berteriak, tahu-tahu Ara telah terjerembab di tebing jurang dengan sebagian tubuh tertahan di akar pohon yang tumbuh melintang di bawah ceruk lembah dan lebatnya semak belukar. Kedua tangannya menggapai-gapai memegang akar pohon serupa tali yang menjuntai ke tanah dan sebuah batu berukuran sedang.
Secepat kilat cowok yang berada di belakangnya bergerak menolongnya, merangkak turun ke bawah dan menangkap sebelah tangan Ara, sementara tangan kirinya berpegangan pada akar pohon yang tumbuh melesak di bibir jurang. "Ara! Tahan, ya? Jangan banyak bergerak!" katanya seraya berusaha membesarkan hati Ara agar tetap tenang.
"I..iya…." Ara mengangguk lemah, mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan keberaniannya.
"Aku akan tarik kau ke atas!" lanjut pemuda itu, mengeratkan pegangannya, bersiap-siap merangkak naik.
Sementara itu, kabut tipis perlahan menghilang, menjernihkan daya pandang. Muka Ara yang terlihat begitu pucat menengadah menatap pemuda yang ternyata adalah Arka penuh harap bercampur ketakutan. Sekilas Ara merasa De Ja Vu dengan keadaanya sekarang tapi dia tidak sempat berpikir panjang.
Suara teriakan Rian dan Ezhar dari atas menyadarkannya.
Kraak..!! gruduk.. gruduk… gruduk..
Tanah yang melekat di akar pohon yang menahan sebagian badan Ara mendadak longsor, pecah menjadi serpihan. Kerikil berjatuhan. Sarung tangan yang membungkus tangan kiri Ara terlepas, begitu pula pegangan Arka. Tapi sebelum Ara melayang jatuh, tangan Arka gesit meraih kembali tangannya.
"Ara! Ya tuhan!" teriak Arka panik "Apa yang kalian lakukan cepat bantu aku!" Teriak Arka pada Rian dan Ezhar.
Aisyah dan Lian yang telah jauh di bagian depan mendengar keributan dan berbalik ke belakang untuk melihat.
"Ya tuhan! Ara jatuh!" teriak Aisyah panik.
Seketika wajahnya pucat kala melihat sahabatnya di bawah sana berpegangan pada akar-akar dengan seorang pemuda juga memegang tangannya. Aisyah berteriak pada Rian untuk membantu sahabatnya itu naik ke atas.
Rian cepat-cepat mengikat tali ke sebatang pohon besar dan kokoh. Lalu Rian mengaitkan dirinya sendiri dengan tali, lantas meniti turun ke bawah sambil berpegangan pada tali yang di amankan oleh Ezhar dan Lian yang mengontrol tarik-ulurnya. Setibanya di tempat Arka bertumpu, Rian membantu menarik tangan Ara dan meraih tubuhnya, kemudian bersama-sama dengan Arka memeluk Ara. Membawanya merangkak naik sambil berpegangan pada tali. Pelan-pelan, seinci demi seinci, setapak demi setapak melewati akar pohon dan bebatuan licin.
Waktu terasa merayap sangat lama. akhirnya Rian, Ara dan Arka berhasil kembali dengan selamat, di sambut seruan lega Lian dan Aisyah.
"Ra, kau tidak apa-apa kan? Kau baik-baik saja kan?" tanya Arka seraya memeluk Ara dengan tangan gemetar. Arka menatap Rian sengit ada kemarahan di matanya tapi dia berusaha menahannya namun bibirnya tidak bisa bertahan untuk selalu tertutup rapat "Kenapa! Apa kau ingin membunuhnya lagi! Tidak kah kau merasa cukup dengan membunuh Azka!"
Rian terdiam wajahnya pucat, nama itu adalah beban yang harus di tanggungnya seumur hidup, sekilas dia menoleh pada Ara takut jika gadis itu mendengar perkataan Arka. Namun Ara terlalu lemah dan shocked tidak sempat menjawab apalagi mendengar apa yang di katakan Arka karena pandangangannya menggelap. Sebelum akhirnya dia jatuh pingsan.