Chereads / Sebuah Kata Kerinduan / Chapter 49 - 49. Heart 1

Chapter 49 - 49. Heart 1

Sinar matahari menembus sela-sela dedaunan, menerpa lembut wajah pucat Ara yang terbaring dalam pelukan Arka. Perlahan-lahan, matanya membuka, mengerjap-ngerjap. Tangan dan kakinya bergerak-gerak lemah. Bibirnya mencoba bersuara, tapi gagal. Sayup-sayup di dengarnya suara lembut bercampur cemas dari Arka.

"..Ra.. Ara.."

Dia menoleh perlahan, memandangi seraut wajah yang menatapnya dengan perasaan yang sukar di gambarkan. Ada kecemasan, penyesalan, ketakutan, sekaligus kesaih sayang yang mendalam.

"…Ka..," bisiknya lirih. Dirasakannya pelukan cowok itu semakin erat.

"..Aku kira… aku akan kehilanganmu. Aku tidak mau kehilanganmu lagi, tidak akan!" ucap Arka tersendat, penuh emosi. Di bersihkannya wajah Ara yang belepotan tanah. Di genggamnya tangan yang tanpa balutan sarung tangan itu. Dibelainya rambut dan wajah Ara dengan tangan gemetar, seakan kurang percaya kalau ternyata Ara masih hidup.

Di saat seperti inilah, dengan kesadaran penuh, akhirnya Arka mengakui perasaannya yang sebenarnya. Selama ini dia selalu ragu-ragu. Apakah kepedulian dan kasih sayangnya hanya karena sebuah permintaan atau memang lahir dari hatinya. Setelah kejadian yang meninmpa mereka hari ini Arka tersadar sepenuhnya. Bahwa itu benar-benar cinta. Bukan sebuah perintah.

Di saat itu jugalah dia menyadari semuanya. Cinta yang harus di perjuangkan sekaligus akan di pertahankan. Dan kini jawaban yang di carinya terbentang jelas. Memberinya kemantapan bukan lagi keraguan. Perasaannya pada Ara bukanlah sebuah pilihan dari sebuah permintaan, melainkan datang dari lubuk hatinya yang paling dalam. Ara adalah tanggung jawabnya, dan akan selalu menjadi tanggung jawabnya.

'Aku sangat menyayanginya, lebih dari yang dia tahu, jangan engkau ambil dia dari sisiku, ya tuhan. Aku berjanji akan selalu menjaganya.

"Kenapa… aku… di sini…" tanya Ara terbata-bata, menatap bingung.

"Tadi, kau hampir jatuh ke jurang," suara Arka agak bergetar.

"Jatuh?"

Arka menganggukkan kepala, membelai lembut wajah pucat itu. "Tapi sekarang kau sudah aman."

Ara memejamkan mata, perlahan-lahan mulai mengingat kejadian itu. Dia terpelosok jatuh. Dia tidak tahu jika Arka lah yang akan memegang erat tangannya. Rian dan Ezhar dan Lian datang membantu. Lalu semuanya gelap. Tapi sebelum kesadarannya benar-benar hilang dia merasa mendengar Arka dan Rian berdebat dan menyebutkan nama seseorang. Semuanya terjadi begitu cepat, dia juga tidak bisa yakin apakah itu benar.

"Aku takut…," hanya kalimat itu yang keluar dari tenggorokannya, dan Ara pun menangis sesenggukan dalam pelukan Arka. Lama.

Ezhar dan Lian duduk di dekat mereka melihat adegan itu dengan penuh haru. Dua anak manusia yang nyaris mati berhasil selamat tanpa kurang suatu apa pun. Saling berpelukan, seakan menyiratkan bahwa hidup ini akan tetap di lalui, apa pun yang telah terjadi.

Tanpa dapat di cegah, air mata mulai mengalir di kedua pipi Lian yang notabene kekar, hitam dan hidup, namun mudah tersentuh hatinya.

"Sial…!! Aku nangis! Haduuuh," desis Lian, mengusap air mata dengan topi hijau abu-abu loreng kebanggaannya, sementara Ezhar berkali-kali menghela napas seraya menggelengkan kepala.

Sesekali dia melirik pada Rian yang duduk agak menjauh. Cowok itu terlihat sedang perang mulut dengan Amel. Ezhar merasakan kepalanya sakit. Kenapa hubungan sepupunya sangat rumit.

***

Untuk beberapa lama, mereka berdua duduk bersandar di bawah pohon. Beberapa pendaki menyempatkan diri untuk menyapa dan menanyakan apa yang terjadi. Arka masih kelelahan hanya tersenyum sambil mengatakan kalau mereka sempat terpeleset tapi semuanya baik-baik saja.

"Sebaiknya kita sekarang jalan lagi, terus istirahat di tower" ditatapnya wajah Ara penuh perhatian "Ra, kau masih bisa jalan, nggak? Kalau nggak, kita istirahat lebih lama di sini."

"Bisa kok, tidak jauh kan?" sahut Ara. Menguatkan diri, membuang jauh-jauh sisa ketakutan dan kelelahannya karena dia tidak ingin merepotkan mereka semua akibat kecerobohannya tadi.

"Deket banget. Kalau kau lelah kita bisa berhenti nanti dan istirahat lagi. Sekarang, sini pegang tanganku, dan jangan megang apapun selain tangan aku," Arka mengulurkan tangannya.

Tidak lama kemudian mereka sampai di tower sekitar jam enam sore. Tampak di bawah pemandangan rumah-rumah penduduk dengan dominan warna merah yang begitu mencolok. Rombongan kecil itu berjalan menuju sebuah masjid yang terletak di dekat simpang. Masuk untuk bersih-bersih.

Arka mengambil handuk kecil yang terlebih dahulu di celupkan dengan air hangat, lalu membersihkan wajah dan leher Ara yang kotor. Termasuk kedua tangannya yang lecet-lecet. Di ambilnya obat merah dan di bubuhkannya dengan hati-hati.

Sementara Arka dengan telaten merawatnya, Ara mengamati. Rambut Arka juga basah dan kotor, sama seperti rambutnya. Tangan Arka juga lecet, sama seperti tangannya. Nasib mereka juga sama. Mungkin kalau tadi dia jatuh , Arka pun akan jatuh. Mereka akan bersama-sama menyongsong kematian atau sebaliknya bersama-sama bertahan hidup.

"..Ka, boleh aku bertanya sesuatu..?" Arka yang sedang membersihkan tangan Ara mengangguk "Apa sebelumnya kita pernah terjatuh dan kau datang menolongku! Aku merasa kejadiannya hampir sama dengan tadi."

Tangan Arka yang tadi serius membersihkan tanah di tangan Ara berhenti. Terdiam cukup lama. Sesekali dia menoleh kearah Rian. Tatapan matanya lebih pada ketakutan, kekecewaan, dan kemarahan. Kening Ara berkerut tidak suka. Karena selama ini Arka selalu menjawab semua pertanyaannya dengan mudah namun kenapa kali ini dia sepertinya sulit untuk menentukan kalimat seperti apa yang akan dia ucapkan.

Posisi Arka menjadi serba salah. Jika dia mengatakan semuanya, akibatnya tidak akan bisa dia bayangkan. Namun, jika dia tidak mengatakan apa pun akibatnya juga akan sama buruknya. Arka menghela napas kepalanya mengangguk lalu menggeleng.

"..Tidak! kita tidak pernah jatuh sebelumnya!" tatapan Arka layu dia kembali menerapkan obat merah pada luka lecet di tangan Ara. 'Karena yang jatuh bersama mu saat itu bukan aku, tapi dia..' gumam Arka dalam hati. Tapi jelas gumam itu tidak akan di dengar oleh Ara.

"Kau pasti pegel banget ya.." tanya Arka mengalihkan pembicaraan. Ara mengerti dan tidak memaksa lagi.

"Kau sendiri..?" tanya Ara balik.

"Yaaah, lumayan sih," cowok itu tersenyum lebar. "Tapi kau harus makan dulu sebelum jalan lagi, setelah ini kita bisa langsung pulang."

"Iya tapi aku ingin berdiri, badanku pegal-pegal ," tukas Ara cepat.

"Ra, ini ada coklat," ujar Ezhar.

Tanpa banyak bicara Ara memakannya habis tiga potong coklat, teh hangat dan tidur nyenyak membuat tenaganya benar-benar pulih. Berbanding terbalik dengan Arka yang menatap Ezhar tajam.

"Hei.. tolong! Aku sudah puas mendapatkan tatapan sinar petirmu itu semenjak kita di Pare. Tidak bisakah di sini kita damai dulu!" ucap Ezhar mengangkat kedua tangannya menyerah. Karena perasaan permusuhan Arka padanya tidak berkurang sedikitpun.

Arka merengut. Dia cukup terkejut melihat Ezhar makhluk karnivora itu berada di sini. Dan lebih terkejutnya lagi dia mengenal Rian dan parahnya ada Ara dalam rombongan itu membuat mood mendakinya sangat buruk.

Sekali lagi Ara terbangun dalam pelukan Arka. Dia ingat dengan jelas tadi dia duduk sambil bersandar di tembok masjid. Kenapa saat bangun dia kembali berada dalam pelukan erat Arka.

"Eh, kau sudah bangun?" tanya Arka saat merasakan gerakan gadis itu. Ara bergerak dan pindah untuk duduk di lantai bersama yang lainnya. Arka terpaksa membiarkannya, tanpa melepaskan tatapan.

"Apa kita bisa pulang sekarang, tenagaku sudah terisi penuh" suara Ara terdengar masih lelah. Arka mengangguk dan mulai mengemas barang-barangnya.

Aisyah yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. Dia merasa kasihan untuk sepupunya Rian. Tapi dia tidak bisa mengatakan apa pun karena jelas hubungan di antara mereka tidak lah sederhana dan semua itu berhubungan dengan Ara. Di sisi lain ada kakaknya Ezhar yang gila kerja tiba-tiba di pindah tugas kan ke lapangan. Apakah pekerjaan lapangannya juga berhubungan dengan Ara.

Sepanjang perjalanan Arka tidak pernah melepaskan genggaman tangannya dari Ara. Ezhar yang sejak awal pendakian sampai mereka akan kembali pulang tidak pernah jauh dari Ara, seperti itu sudah menjadi tugasnya menjaga gadis itu. Membuat Arka semakin membenci Ezhar. Dan Rian. Cowok itu berjalan paling belakang dengan rombongan Amel. Suasana dalam rombongan itu terasa kaku dan canggung.

Tatapan Rian tidak lepas dari Ara. Sedangkan tatapan Amel tidak lepas dari Arka. Lian dan Aisyah melihat pemandangan itu serempak menghela napas dan menggeleng kepala. Sesaat kemudian mereka saling pandang dan merasa tindakan mereka itu lucu membuat dua orang itu tertawa lepas.

"Sesungguhnya apa yang terjadi dengan dirimu teman-teman…"