Tahu-tahu Ditto muncul di depan mereka dengan ekpresi bingung.
"Heh, ngapain kau ada di sini?" tegur Lian kaget, melempar ranting kecil ke arah Ditto.
"Bukannya tadi kau sudah jauh jalannya?" tambah Ezhar, melempar ranting yang lebih besar.
"Kok balik lagi? Sejak kapan setia kawan? Kau kan setia perempuan," cibir Lian sambil memegang batang pohon, berlagak akan melemparkannya ke Ditto.
"Cewek mu dimana?" Tanya Rian yang berjalan di belakang.
Ditto membisu sebentar.dengan nada mengalun sedih, dia menjawab, "Sesungguhnya dirinya Disa telah berpaling kepada dirinya teman sekolahnya yang telah bertemu tadi di perjalanan."
"Oooh…" ketiga temannya itu mengangguk maklum. Namun sesaat kemudian perhatian Ezhar, Lian dan Ditto beralih pada arah Rian paling belakang, lalu pada Ara yang berjalan paling depan di gandeng oleh seorang cowok yang sama tampannya dengan Rian. Ditto ingin mengucapkan sepatah kata namun di hentikan oleh Lian.
"Kau sih, To. Aku bilang juga apa?" Lian mulai sok menasehati dengan kalimat menjerumuskan. "Harusnya kau itu jangan pakai kostum beginian kalau mau naik gunung. Lihat tuh. Sol sepatu mu somplak gitu. Celana jins mu basah. Mana bau nggak ketulungan! Mendingan kau itu beredarnya di padang rumput, naik kuda dan berpanas-panasan atau sekalian saja jadi tukang odong-odong."
Ditto menunduk dengan muka semakin tertekuk.
"Dirinya Ditto, dengerin ya?" Ezhar ikut-ikutan menasehati. "Pada dasarnya manusia itu di ciptakan berbeda-beda tujuan dan keinginan. Aku lihat, kau itu lebih cocok jadi motivator dari pada jadi seniman. Kau kan doyan baca buku-buku filsafat, mulai yang ringan sampai yang berat, dari yang serius sampai yang ngawur. Nah, mulai sekarang, buanglah jauh-jauh keinginan mu untuk gabung dengan kita-kita berpetualang di alam bebas. Mendingan kau berpetualang di alam kata-kata. Kita-kita ini kan tipe pecinta alam, bukan pecinta kata-kata. Aku yakin seyakin-yakinnya, kau akan jadi motivator keren kalau mau banting setir dari sekarang."
Agak lama Ditto diam terpekur. Wajah tirusnya menerawang jauh. Selekuk garis mulai menghiasi bibirnya, membentuk senyuman.
"Dirimu Ezhar memang benar-benar hebat," Ditto menganggukkan kepala. "Sesungguhnya mulai sekarang, diriku akan jadi motivator sejati untuk memotivasi dirinya orang-orang supaya jadi hebat. Salam hebat selalu!!"
Penuh semangat, Ditto mengepalkan tangan, di iringi cengiran lebar oleh tiga temannya dan cekikikan geli Ara dan Aisyah.
***
Sebulan telah berlalu. terkadang Arka dan Rian datang sillih berganti ke rumahnya tapi tidak satu pun di atanra mereka yang di temuinya. Keberadaan Ezhar cukup membantunya, sekarang dia baru tahu pekerjaan Ezhar dan kenapa cowok tampan itu selalu berada di sisinya. Karena itu tugas yang di berikan oleh bunda untuk menjaganya. Seharusnya itu tugas Kak Alden tapi profesor muda dan culun itu sibuk dengan penelitian untuk gelar masternya.
Ara juga baru tahu jika perkejaan Ezhar dan kakaknya Kimi sama yaitu seorang polisi, mereka berdua adalah bawahan bundanya. Pangkatnya lumayan tinngi dan Ara juga tidak ingin bertanya banyak. Yang dia tahu Ezhar di tugas kan untuk menjaganya. Itulah kenapa cowok itu bisa tinggal di rumahnya. Awalnya dia tinggal dengan alasan liburan untuk menghemat biaya meminta tinggal gratis di rumah Ara tapi semakin hari waktu liburan Ezhar semakin lama dan itu membuatnya curiga dan akhirnya dia tahu yang sebenarnya.
Satu bulan sejak mereka kembali dari mendaki Ara merasa di ikuti oleh seseorang tapi dia tidak bisa menemukan siapa yang telah mengikutinya.
"Ezhar! Ke pantai yuk?" Ezhar yang mengerti mengangguk saja.
Mereka pergi menggunakan sedan Altis hitam milik Ezhar. Mereka sengaja memilih jalan yang sepi untuk memancing orang yang mengikuti mereka keluar lebih cepat. Dan akhirnya mereka melihat sebuah mobil yang tidak asing di mata Ara menyalip mobil Ezhar dan berhenti mendadak di depan mereka.
Ezhar menginjak rem mobil dengan cepat. Ara dan Ezhar duduk tenang dalam mobil masih memperhatikan apa yang akan mereka lakukan. Beberapa orang turun dari mobil tampang mereka terlihat sangar tapi tidak cukup membuat Ezhar dan Ara merasa takut.
Seorang pria mendekati pintu mobil dan mengetuk kaca. Ara melihat pria itu yang memakai jaket denim hitam robek di beberapa bagian, celana jins yang juga robek di bagian lutut. Rambut gondongnya di kuncir, bekas luka di pipi menambah kesan sangar.
Ara hendak membuka pintu mobil namun di hentikan oleh Ezhar. Gadis itu menoleh "Hati-hati.."Ezhar mengingatkan.
Ara mengangguk "… kau juga,"
Mereka keluar dari mobil bersamaan. Ara masih dengan wajah datar polosnya menatap wajah-wajah sangar yang juga menatap mereka. Lebih tapatnya menatapnya. Jelas mereka datang untuknya bukan untuk Ezhar.
"Apa mau kalian!" suara Ezhar berat dan serius. Sekilas bibir Ara tersungging membentuk senyum tipis. Sepertinya mode gila tempur Ezhar dalam proses ON.
Sorang pria yang memiliki bekas luka di wajah menunjuk pada Ara "Serahkan dia!"
Ezhar terkekeh, tatapannya berubah tajam "Tidak akan pernah!"
"Baik!" Pria itu menatap teman-temannya dan berteriak "Singkirkan dia dan bawa gadis itu!"
Perkelahian mereka tidak dapat di hindari. Jalan yang sepi tanpa ada penerangan membuat mereka menggila. Ezhar mulai menghajar dua orang yang ingin meninju wajah dan perutnya tapi dia mengindar dengan cepat membuat dua orang itu yang tersungkur di tanah karena tendangan dan tinjunya.
Ara tidak jauh berbeda gadis itu bergerak dengan gesit, badan kecilnya terlihat melayang saat menendang wajah pria yang memiliki luka di pipi hingga mengeluarkan darah. Ara tersenyum miring melihat lawannya yang terkapar di aspal. Ezhar yang melihat itu langsung mengacungkan jempolnya dan di balas anggukan kepala oleh Ara.
Dalam hati Ara berteriak kegirangan sambil terus menghajar, menendang, meninju orang yang datang untuk menangkapnya. Dia sangat senang karena akhirnya latihan berat yang dia terima dari kakaknya berguna.
"Dasar gadis sial!!!" Teriak salah seorang pria itu mendekat sambil mengeluarkan sebuah pisau dan menghunuskannya ke perut Ara. "Akan ku bunuh kau!"
Ara yang sedang tidak siap karena sedang menghadapi penjahat yang lain tidak bisa mengindar. Ezhar yang berada jauh tidak bisa menolong. Ara tersenyum pasrah sambil menatap Ezhar penuh terimakasih. Pemuda itu berteriak panik.
Namun, Ara tidak merasakan sakit melainkan beban berat yang tiba-tiba menimpanya, wangi parpum yang familiar membuat gadis itu tersadar. Ezhar yang telah menghajar penjahat yang menghalanginya sampai babak belur datang mendekat dan kembali menghajar penjahat yang tadi hampir menusuk Ara dengan pisau.
"Kau sial!! Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!" teriak Ezhar penuh emosi sambil terus menghajar wajah penjahat itu sampai mengeluarkan darah. Ezhar seakan tidak sadar saat dia mengamuk. Suara lirih Ara menghentikannya dan segera mengeluarkan ponselnya untuk menelpon temannya yang bekerja di kepolisian dekat sana untuk menjemput penjahat yang sekarang pingsan babak belur di aspal.
Tidak lama kemudian sebuah mobil polisi datang lengkap dengan anggotanya, mereka langsung menangkap penjahat itu dan membawa mereka menuju kantor untuk di interogasi.
Setelah itu Ezhar berjalan mendekati Ara yang sedang merangkul Arka. Sebelah tangan kanan Ara berusaha menekan perut Arka yang mengeluarkan darah.
"Ezhar… Arka.. tolong…" kata-akat Ara sudah tidak teratur lagi. Wajahnya pucat.
Ezhar yang tanggap langsung memabwa Arka kedalam mobil di ikuti Ara yang merangkul badan Arka yang sudah pingsan. "Aku akan cepat!" kata Ezhar duduk dan lansgsung menginjak gas menuju rumah sakit terdekat.
Ezhar melajukan mobilnya seperti pembalap menyalip dan menerobos lampu merah. Seorang polisi yang berjaga di pos melihat mobil yang melaju kencang. Polisi itu langsung mengejar dan meminta untuk menepi namun di abaikan. Ezhar malah menambah menginjak gas sampai akhirnya mereka sampai di pelataran UGD dis sebuah rumah sakit.
Ezhar membuka pintu langsung melompat turun dan melempar kunci mobilnya pada polisi yang tadi mengejarnya. Berteriak pada beberapa perawat untuk membawa brangkar. Ezhar bergerak sangat cepat dan cekatan. Mendorong brangkar menuju ruang operasi setengah berlari. Ara juga berlari mengikuti namun tidak sekencang Ezhar. Karena dia harus bertumpu pada dinding jika tidak begitu maka kakinya tidak akan mampu menopang badannya.
Kembali ke pelataran UGD. Polisi muda yang tadi mengejar mobil Ezhar menatap kunci di tangannya lalu beralih pada Ezhar yang sudah hilang masuk ke dalam rumah sakit. Polisi itu menghela napas menggelengkan kepala. Lalu masuk ke dalam mobil mencari tempat untuk memindahkannya ke parkiran.