Di kamar rawat VIP.
Dua hari berlalu Ara duduk di kursi menatap ke arah tempat tidur, operasinya berjalan lancar. Beruntung tusukan penjahat itu tidak melukai organ vitalnya. Meski begitu jantung Ara hampir lepas saat melihat cowok itu pingsan dalam pelukannya dengan senyuman lega. Jujur Ara tidak ingin melihatnya dalam keadaan bersimbah darah lagi.
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Ara. Dia melihat Ezhar, Rian, Abe dan Hana datang berkunjung. Rian meletakkan sekeranjang buah-buahan di atas meja. Beruntung ruangan itu luas. Dengan dua tempat tidur. Satu untuk pasien satu lagi untuk penunggu. Kamar itu juga di lengkapi dengan pasilitas AC, televisi, dua kursi penunggu, meja, overbed table, bedside cabinet, lemari es, dispenser, lemari pakaian, kamar mandi dengan air panas dan dingin serta ruang keluarga dengan satu set sofa.
Ara tersenyum lemah pada Hana dan Aisyah yang datang mendekat dan langsung memeluknya.
"Kamu yang sabar ya, Arka pasti akan baik-baik saja.." ujar Hana dan di angguki oleh Aisyah memberi semangat.
Sedangkan Rian,Abe dan Ezhar memilih duduk di ruang keluarga. Mereka seperti berbincang serius Ara tidak bisa mendengar karena suara mereka sangat kecil hanya terdengar seperti berbisik-bisik.
"Bagaimana orang tua Arka. Apakah mereka sudah mengetahuinya?" tanya Aisyah.
"Sudah.."Ara menghela napas. Dia teringat kembali pertemuannya kembali dengan ibu Arka, wanita paruh baya yang memiliki hati lembut itu menangis histeris saat melihat kondisi anaknya, dan… hampir pingsan saat melihatnya.
Ara tidak heran kenapa reaksi ibu Arka seperti itu. Karena wajah yang di milikinya itu dulu di kabarkan sudah meninggal dan di kuburkan namun sekarang, berdiri didepannya tampak sehat dan tanpa kurang satu apa pun. Siapa yang tidak akan terkejut dan takut.
Sedangkan para penjahat itu kini mendekam di penjara mereka tidak mengatakan siapa yang telah memberi perintah untuk menyerang dan berencana menculiknya. Mereka sangat setia pada pesuruhnya. Ara menjadi jengkel jika mengingat itu, andai saja dia bisa menghajar mereka sampai hanya tinggal satu napas saja alangkah bagusnya itu.
Ara mengenggam tangan Arka yang tidak di inpus, selang oksigen melintang di hidungnya. Wajahnya pucat, meskipun cowok itu sudah sadar beberapa waktu lalu dan melewati masa kritis tapi Ara masih tidak tenang sebelum Arka kembali membuka mata dan kembali sehat seperti sebelumnya.
Terdengar suara langkah kaki mendekat itu adalah Rian.
Hana dan Aisyah langsung mengerti setelah memberi kode pada Ara mereka pergi ke ruang keluarga meninggalkan mereka berdua untuk bicara.
"Maaf kan aku!" bisik Rian lirik.
"Bukan salahmu.." kata Ara datar. Dia masih marah karena Rian tidak bisa bersikap tegas dan masih saja plin-plan. "Ini bukan yang pertama kalinya, juga.."
Rian menelan ludah, hatinya sakit dan kecewa pada dirinya sendiri. Dia menatap Ara penuh kesedihan. Rian pikir setelah mendaki hubungannya dan Ara akan kembali membaik tapi siapa yang akan mengira jika akhirnya semakin memburuk. Satu persatu kebohongan yang mereka sembunyikan terbongkar begitu saja.
"Aku.. bodoh! Maafkan aku! Tapi sungguh aku tidak mengira jika dia akan melakukan hal ini lagi.." kata Rian prustasi.
Ara menatap Rian penuh kesedihan, dia tidak pernah menyesal telah mencintai Rian sebelumnya tapi dia menyesal karena harus memberikan kepercayaannya begitu saja. Karena cowok itu berulang kali menghinatainya.
Perhatian Ara beralih pada Arka yang masih terlelap karena pengaruh obat, tangannya mengenggam erat berharap tindakannya itu memberinya kekuatan. "… Jadi, kisah putri ketiga dalam ceitamu itu adalah aku?" sekarang ingatan Ara sudah sangat jelas tidak lagi acak seperti sebelumnya.
Ingatan masa kecil yang membuatnya trauma hingga harus menemui psikiater dan melakukan hipnoterapis untuk melupakan kenangan yang menyakitkan. Kini kenangan itu kembali dan sangat jelas seakan semua itu baru terjadi kemaren.
"Kau sudah di tunangkan dengan Rena, tapi Rena menolak! Dan setelah itu Rena di tunangkan dengan Alden namun batal, dan aku yang harus menggantikannya! Lalu Amel.. setelah kejadian itu memilih tinggal di rumah paman dan bibinya karena tidak ingin berada di satu atap dengan ku yang di anggapnya sebagai pembawa sial." Mata Ara memerah perlahan-lahan air mata meluncur di pipinya.
"Maafkan aku.." kepala Rian tertunduk.
"Jika maaf bisa memperbaiki keadaan lalu… aku akan memaafkanmu!"
Jantung Rian berdenyut sakit. Inilah yang dia takutkan Ara membencinya.
"Aku bisa menebaknya… kejadian tiga tahun lalu. Kau sengaja bermesraan dengan Rena dan bergonta-ganti pacar untuk membuatku jauh darimu. Kau ingin menjagaku dari Rena tapi cara mu salah. Bukan hanya cara mu salah kau juga membuatku harus mati dan menggunakan identitas lain.." geram Ara tertahan takut membuat Ezhar terbangun.
"Ya, aku salah. Caraku juga salah. Tidak seharusnya aku melakukan itu. Aku seharusnya jujur padamu sejak awal. Tentang Amel dan Rena dan hubungan kita." Ujar Rian pelan.
Ara terdiam lama. matanya menatap wajah Arka sedih. "Kau pasti ingat.. di antara tiga orang putri itu masih ada dua anak laki-laki. Tapi entah kenapa salah satu di antara anak laki-laki itu menghilang." Air mata Ara kembali mengalir deras, hatinya sakit dadanya sesak. "Itu karena dia telah meninggal, kan? Dan penyebabnya adalah aku!"
"Tidak!" bantah Rian cepat "Bukan karena kau! Itu karena Amel..! sejak awal ke kacawan ini karena Amel.!"
"Yaaah. Jika aku tidak jatuh.. dia tidak akan jatuh juga.. dan akhirnya meninggal.." Ara terkekeh pelan, suaranya sembab karena hidungnya tersumbat "Karena Amel cemburu. Dia, selalu bermain bersamaku. Amel ingin membunuhku!" lirih Ara mengingat kenangan masa kecilnya. Rian tahu siapa 'Dia' yang di maksud Ara.
"Amel memang sakit sejak awal..!" kata Rian kaku.
"Tapi kenapa harus aku yang berada di sana!"
Jantung Rian seakan tertusuk jarum. Dia sendiri juga tidak tahu keberadaan Ara saat itu. Setiap kali dia bertanya orang tuanya hanya mengatakan kalau Ara tinggal di rumah pamannya untuk sementara waktu. Meskipun dia mencari tempat pamannya itu tapi tetap tidak menemukan apa pun.
"Kenapa harus aku yang di anggap sakit! Tidak kah kau berpikir jika mereka sangat kejam mengurungku di rumah sakit jiwa hanya untuk memuaskan kegilaan putrinya yang lain? Kenapa harus aku yang terus di tindas dan mengalah! Kenapa mereka seenaknya mengacak-acak ingatanku! Kenapa!" teriak Ara.
Mendengar itu orang-orang yang duduk di ruang keluarga berdiri menghampiri mereka berdua. Ezhar mengusap punggung Ara meminta gadis itu untuk tenang. Dan memberi kode pada Abe untuk membawa Rian kembali. Tapi sebelum mereka pergi pertanyaan Ara membuat wajah Rian pucat seketika, bahkan Arka yang baru saja membuka mata tidak bisa mengerjap karena terkejut.
"Mereka ingin harta yang di wariskan ayah untukku, kan? Karena ayah hilang ingatan membuat gerakan mereka lebih mudah! Mereka bahkan menjadikan ku sebagai anak adopsi dari ayah kandungku sendiri, mereka menghancurkan keluargaku membuat bundaku menderita selama dua puluh tahun karena harus kehilangan Suami dan anaknya. Aku pun harus kehilangan tunanganku di usia yang masih muda. Namaku bahkan sudah tertulis di batu nisan. Dan sekarang aku hidup dengan nama lain tidak bisakah mereka membiarkan aku hidup normal dan anggap aku orang asing saja…," suara Ara bergetar.
"Rian… kau ingin aku memafkanmu , kan.."
Rian langsung berbalik menatap punggung Ara. Kepala gadis itu tertunduk dari tempatnya berdiri dia bisa melihat jika Arka sudah bangun dan sepertinya mereka saling bertatapan. Rian menelan ludah. Kenapa dia masih tidak bisa mnedapatkan gadis itu. Jika dulu ada Azka kenapa sekarang harus ada Arka. Kenapa dua kembar ini menyukai gadis yang sama.
"Azka.. di mana makamnya…"
Arka yang menatap mata Ara juga mengeluarkan air mata. Akhirnya sesuatu yang ingin dia jelaskan, gadis itu mengetahuinya lebih awal. Arka menelan ludah gugup dia melirik Rian mengerutkan kening dan kepalanya sedikit menggeleng.
Rian terdiam, sebelum suara Ara kembali terdengar "… Jika kau tidak ingin mengatakannya aku bisa menebaknya lagi.." Arka yang berbaring di tempat tidur menahan napas. Ara tersenyum lembut pada Arka sambil mengangguk menenangkan. Melihat itu Arka menjadi tenang meskipun dia tidak tahu apa yang akan di lakukan Ara selanjutnya.
***
Terdengar kegaduhan dari arah pintu kamar. Amel menerobos masuk dengan wajah galak. Dia akan mendekati Ara namun di halangi oleh Ezhar, Abe dan Rian. Di tambah Hana dan Aisyah. Mereka berdiri seperti tembok yang menghalanginya dari badai.
"Kau! Kenapa selalu kau! Kau mengambil semua milikku! Pertama Azka dan sekarang Arka! Kenapa kau tidak mati saja!" teriak Amel penuh emosi sambil menunjuk-nunjuk pada Ara.
"Lalu kenapa kau tidak mati juga? Kenapa harus aku yang mati." Tukas Ara dingin masih membelakangi Amel.
"Kau! Anak sialan! Brengsek!" teriak Amel kalap, meronta-ronta dalam dekapan Rian dan Abe. Amel seperti akan menerkam Ara " Lepaskan aku! Biarkan aku mencabik-cabik wajah tidak tahu malunya itu!"
"Amel!" bentak Rian kemudian "Kau pergi sekarang!"suara Rian bertambah kejam. Membuat Amel terpana.
"Kau, membela gadis pembawa sial ini? Apa kau lupa? Aku itu tunangan kakak ku! Kenapa masih mengejar-ngejar perempuan tidak tahu malu ini!" Amel kembali memberontak ingin mendekati Ara sambil berteriak-teriak, tangannya mengapai-gapai seperti mencakar. Tatapan matanya liar, mulutnya menceracau kacau.
"Wah, gejalanya benar-benar terlihat jelas!" gumam Ezhar.
Mendengar itu Amel melotot kejam pada Ezhar dan berteriak "Apa yang kau katakan! Dasar cowok miskin!"
Sudut bibir Ezhar terangkat membentuk senyum kecil nan tipis. Aisyah yang mendengar itu tertawa terbahak-bahak. Amel tidak tahu jika kekayaan keluarga kakaknya itu jauh lebih besar dari kekayaan keluarga Amel.
"Benar-benar gila dan bodoh!" Aisyah menoleh ke arah Ezhar "Apakah tipe seperti itu yang kau suka.?"
Ezhar tersenyum tipis lalu menggeleng dan menjawab singkat dan padat.
"Tidak!"