Sepanjang perjalanan pulang di dalam mobil Arka, Ara bungkam seribu bahasa, wajahnya di palingkan memandang lalu lintas lewat jendela kaca. Sesekali di liriknya Arka yang menatap lurus ke depan sambil menyetir. Di helanya napas berkali-kali untuk menenangkan gejolak perasaannya.
Sebelum mobil sampai di depan gerbang komplek cowok itu meminggirkan mobil ke tepi jalan parkir di bawah jejeran pohon mahoni. Jalan tersebut lumayan sepi hanya sesekali melintas kendaraan yang memakai jalan itu sebagai jalan alternative.
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Ra," ucap Arka pelan, tetap menatap lurus ke dapan.
Ara memandang Arka sekilas, lalu menundukkan kepala, memainkan ujung kaosnya dan melihat-lihat kuku jari-jarinya yang pendek dan bersih. Angin sepoi-sepoi yang berhembus lewat jendela mobil yang terbuka lebar membantu meredakan degup jantungnya yang berdebar tak karuan.
Seraya menghela napas panjang, Arka menoleh menatap Ara, menggenggam tangan kanannya. Sentuhan itu membuat Ara tersentak seperti kena setrum, sehingga debar-debar di dadanya semakin kencang dan wajahnya merona.
Lama Arka menggenggam tangan Ara tanpa sepatah kata, hanya menunduk memperhatikan lekuk tangan halus itu. di bukanya telapak tangan itu, di telusurinya garis-garis tangannya, di balikkan lagi. dan di belainya jemari itu satu persatu.
Sentuhan itu begitu lembut, penuh kasih sayang. Sehingga sulit bagi Ara untuk menolak. Namun di saat yang sama, Ara merasakan kebingungan yang amat sangat.
'Hampir semua sel nya sudah berbentuk abnormal, dan penyebarannya sudah cukup luas bahkan menyebar ke bagian luar otak. Kau akan mengalami sakit kepala yang begitu menyakitkan, obat yang kau minum pun sudah tidak memberikan pengaruh lagi. kadang kau juga akan merasa gerakan tubuhmu menjadi terbatas, dan perlahan-lahan daya ingatpun juga akan menurun. Sebaiknya kau segera melakukan operasi'.
"Kita menjadi teman sudah berapa lama?" Tanya Arka halus.
Ara mengunci bibir rapat-rapat.
Arka menatapnya sebentar, dan kembali menelusuri lekuk tangan mungilnya. Pikirannya menerawang, menembus masa lalu, mengingat pertemuan pertamanya dengan Ara.
"Itu… bertahun-tahun lalu.." lanjutnya.
Di kecupnya punggung tangan itu, di tempelkannya bibir yang hangat. Lama. kemudian di gosok-gosokkannya tangan itu ke pipinya, dan ke dagunya.
"Aku cinta kamu, Arabella." Akhirnya Arka mengucapkan kalimat itu lagi.
Suaranya begitu dalam, jernih dan penuh perasaan, memaksa Ara menoleh, menatapnya setengah tidak percaya.
"Bukannya kau hanya menggantikan Azka? Kau tidak mencintaiku, Arka…, kau hanya… terbawa suasana saja..?" kata Ara terbata-bata.
"Awalnya iya. Mengingat aku sudah berjanji padanya untuk menjagamu," ucap Arka seraya menatapnya dalam-dalam. "Tapi, bukan itu yang aku rasakan seterusnya aku rasakan. Aku menyayangimu lebih dari itu, lebih dari teman dan lebih dari sahabat."
Ara membisu, senang, bingung, bahagia, sedih, gembira, sakit..
"Ara..," teguran halus cowok itu belum juga menyadarkan Ara dari kebisuannya.
"Beri aku kesempatan," pinta Arka penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyia-nyiakan mu seperti yang pernah di lakukan Rian."
Mendengar nama Rian di sebut-sebut, Ara terkenang kembali masa lalunya dengan cowok itu. Rian yang bebas, Rian yang playboy, Rian yang akhirnya menghianatinya.
Tapi, bagaimana setelah itu? apa yang akan dia lakukan? Waktunya tidak banyak lagi, dia tidak ingin meninggalkan Arka sendirian dengan kesedihan yang tak berujung seperti sebelumnya.
Ara menundukkan wajahnya, menggigit bibirnya. Katanya lirih, "Tapi, aku tidak bisa.."
"Kenapa..?" tanya Arka pelan.
Lagi-lagi Ara membuang muka. Mulai putus asa.
"Terus terang, aku memang pernah berpikir untuk membiarkanmu pergi dengan yang lain tapi hatiku tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Awalnya aku terbebani oleh permintaan kakak ku dan mencoba membiarkanmu bersama Rian, tapi melihat mu yang di hianatinya itu membuatku marah dan ingin merebutmu darinya. Dan yang lebih penting aku tidak bisa berbohong soal perasaan ku," papar Arka yang mengira Ara bimbang.
"Ka.., aku.. tidak bisa," ucap Ara pelan, menahan sakit di dada.
"Kenapa?" suara Arka terdengar kecewa.
Ara menunduk, kembali menggigit bibirnya. Keras. Sampai terasa perih.
"Apa kau masih belum bisa melupakannya, melupakan Rian?"
Ara mendongak, menatap Arka dengan pandangan getir "Kau dan Rian.. berbeda. Tapi aku tidak bisa.." dia lalu cepat-cepat menunduk dan menyembunyikan perasaannya.
Lama Arka memandangi wajah itu. "Aku akan buktikan kalau aku serius, tidak seperti yang kau kira."
Ara menatap mata yang berkilat-kilat itu tanpa suara.
"Aku akan menunggu mu, Arabella," ucap Arka seraya mengecup punggung tangan Ara dengan lembut.
Ara memalingkan wajahnya.
****
"Ezhar, aku bingung nih," keluh Ara, seraya rebahan di kasur beralas bantal, memandangi plafon putih kamar tidurnya.
"Kenapa, honey doll? Lagi bokek? Atau punya pacar lagi? kalau nggak doyan sama Arka, mendingan sama aku aja deeh!" Ezhar nyerocos yang juga berbaring di samping Ara. Mereka berdua memang sering curhat seperti itu semenjak pulang dari mendaki Gunung Singgalang.
"Kemaren sore, Arka bilang kalau dia cinta sama aku."
Uhuk! Uhuk! Sontak Ezhar terbatuk-batuk. Dan langsung duduk menatap Ara horror, "Jadi, dia akhirnya mengatakannya?" tanyanya setelah batuknya reda, kemudian kembali berbaring bermain dengan ponselnya. "Wah…wah.. akhirnya… kau itu memang beruntung banget, tau nggak? Udah langsung di terima kan?"
"Tidak."
Uhuk! Uhuk! Uhuk! Ezhar terbatuk-batuk lagi lebih keras.
"Wooiii, dasar pinokio sableng!" serunya gemas sambil mengetuk kepala Ara membuat gadis itu mengeluh kesakitan. "Cowok keren begitu kau tolak! Baik lagi! belum tentu seribu tahun lagi kau bakal ketemu sama spesies seperti itu, bakalan nyesel nanti!"
Sambil menghela napas berat, Ara menukas, " Ezhar… aku itu bukannya nolak dia tapi aku masih bingung."
"Apa yang membuatmu bingung?"
Ara terdiam, memainkan ujung bantal.
"Mendingan kau terima saja Arka, yang jelas-jelas jauuuh lebih baik dari Rian. Soalnya aku perhatikan kalau kau bersama Arka, kau jadi periang dan tidak suka ngelamu, intinya sih lebih bahagia. Lain lagi jika kau bersama Rian, itu terasa seakan kau memaksakan diri untuk bahagia."
"Masak sih?" Tanya Ara agak malu.
"Yup! Nah, tunggu apa lagi?"
Muka Ara memerah. Menggigit bibir.
"Heh, kok diam aja sih? Masih mikirin Rian ya?"
"Tidak! Kau kenapa jadi seperti ini. Bukan kah Rian itu sepupumu! Kenapa kau tidak membelanya. Setidaknya katakan sesuatu yang baik tentangnya hingga bisa membuatku berubah pikiran dan memberinya kesempatan lagi, gitu?"
"Lha! Terus kenapa kalau dia sepupuku? Aku tidak peduli, aku hanya peduli pada tugasku! Yaitu menjagamu dan memastikan kau hidup bahagia dan aman! Jadi kenapa kau tidak menerima Arka?"
Ara menelan ludah. "Aku sebenarnya juga cinta sama Arka, tapi…" dia diam sebentar. "Bukan itu yang jadi pikiranku. Soalnya.."
"Wadoooh!!! Kalau ngomong jangan pelintat-pelintut gitu dooong!!" jerit Ezhar jengkel, sampai Ara meringis dan sedikit menjauh darinya.
"Waktu…" kalimat Ara mengambang.
"Memangnya kenapa dengan waktu?" Ezhar hilang kesabaran.
"Waktuku tidak cukup lagi…"
"Apaaa?!" Ezhar kaget. Dia hampir lupa tentang penyakit Ara mengingat gadis itu tidak pernah menunjukkan gejala sakit atau apa pun di depannya. "Tapi, waktu itu kau bilang…"
"Ya, aku pikir begitu.. tapi beberapa hari lalu aku pergi untuk chek dan hasilnya buruk! Aku tidak memiliki banyak waktu! Jika tiba-tiba sesuatu terjadi padaku, dan aku tidak sempat pamitan dengan bunda dan kak Kimi, tolong sampaikan permintaan maaf ku dan katakan kalau aku sangat mencintai mereka…"
Tanpa Ara tahu. Ezhar melihat ponselnya yang masih menyala dan itu sedang tersambung dengan Arka. Sekilas Ezhar tersenyum miring.
'Aku sudah membantumu, selanjutnya aku serahkan padamu'. Bathin Ezhar.