Jembatan Siti Nurbaya.
Malam ini, Ara mengajak Ezhar untuk menghabiskan waktu di jembatan Siti Nurbaya sambil menikmati jagung bakar dan pisang bakar coklat. Suasana malam terasa mempesona dan menyenangkan. Di tambah angin sepoi dan lampu yang berjejer indah menerangi sepanjang jalan.
Mereka duduk di atas jembatan. Tepatnya di sisi jalan yang sudah di tempat kan kursi oleh beberapa pedagang. Dan memesan jagung bakar pedas.
Ara duduk menyilangkan kakinya, badannya bersandar di kursi sambil bertopang dagu, menatap hampa pada kendaraan yang berlalu lalang di depannya.
Satu minggu sudah berlalu. Ara juga kembali seperti biasa. Tidak larut dalam kesedihannya, meski terkadang Amel datang mencari masalah padanya. Selain itu, semuanya berjalan lancar.
"Ini.." Ezhar menyerahkan jagung bakar pedas pada Ara.
Ara mengambil jagung bakar pedas nya dan langsung menggigitnya. "Enak.." katanya singkat.
Ezhar juga tidak mau kalah dia memesan tiga potong jagung bakar pedas dan dua piring pisang bakar coklat. Saat mereka asyik menggigit jagung bakar tiba-tiba seseorang berdiri di depan mereka, menghalangi cahaya lampu.
Ara mendongak untuk melihat tapi tidak bisa karena terlalu silau, dia menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas dan seketika matanya terbelalak. Jagung bakar yang di pegangnya terlepas dan di sambut dengan cepat oleh Ezhar.
"Mubazirrr..."Katanya dan lanjut menggigit jagung bakarnya setelah meletakkan jagung bakar yang tadi hampir mendarat di aspal ke atas piring. Dia tidak peduli pada sosok yang baru saja sampai dan mengganggu mereka.
"... Arka.." bisik Ara ".. Sedang apa kau di sini?".
Arka menatap Ara datar, pemuda itu terlihat lebih kurus dari sebelumnya, wajahnya juga kusam seperti tidak terurus. Perhatian Arka beralih pada Ezhar yang menggigit jagung bakarnya dengan santai. Tanpa sadar dia mengepalkan jari-jari tangannya hingga memutih. Dia sangat cemburu pada Ezhar yang berjiwa bebas tanpa terikat oleh aturan.
"Seharusnya aku yang bertanya.. Sedang apa kau di sini, bersama nya.." nada suara Arka terdengar berat campur kesal.
"Menghabiskan waktu, apa lagi yang bisa ku lakukan di sini?" Kata Ara balik seakan menantang Arka untuk bertengkar.
Dia juga sudah cukup sabar menahan emosinya pada pemuda itu. Yang menggoda, merayu, dan mengucapkan banyak janji namun pada akhirnya dia bertunangan dengan orang lain. Dan yang lebih membuatnya marah adalah kenapa harus Amel yang menjadi tunangannya.
"... Kau.."Kata-kata Arka tersangkut di tenggorokannya..
".. Apa? Kau ingin menyuruhku pulang! Aku bukan anak kecil! Lagi pula kau tidak ada hak untuk mengatur kehidupan ku!" kata Ara sinis.
"Aku berhak! Karena.."
"Karena janjimu? Atau karena ke egoisanmu? Arka kita sudah tidak memiliki hubungan apa pun lagi sejak satu minggu lalu..." Ara menunduk menatap ujung sandal jepitnya. "Dan, jangan memberiku harapan palsu lagi, aku lelah!". Ucapnya lirih.
Arka menghela napas kasar, matanya terpejam seakan menekan emosinya yang siap meledak. Dia mendekati Ara berniat untuk menggenggam tangannya tapi gadis itu mengelak dengan cepat. Membuat tangan Arka hanya menggapai udara.
"Kenapa? Kau tidak menginginkanku lagi? Bukankah kita saling mencintai?" tanya Arka berturut-turut.
Ara menegakkan kepalanya menatap Arka bingung. Sesaat kemudian dia sadar bahwa ada ember rombeng di sampingnya. Ya, tentu saja Arka tahu karena ada Ezhar yang akan memberitahunya.
"Itu tidak penting lagi!"kata Ara cepat.
"Itu penting!" teriak Arka emosi, membuat beberapa pengunjung menatap ke arah mereka.
Ezhar tersenyum canggung sambil meminta maaf, dan meminta dua orang itu untuk menyelesaikan masalah mereka di tempat yang tertutup. Tapi, sarannya itu di abaikan.
"Jika itu penting kenapa kau bertunangan dengannya!" tanya Ara dengan suara lirih.
Arka terdiam tidak bisa menjawab. Kemudian Ara kembali bertanya.
"Aku mengerti kita memiliki pemikiran yang berbeda, walaupun pemikiran kita berbeda, aku masih saja berharap kita bisa berjalan bersama. Tapi, sekarang sepertinya aku harus berhenti berharap. Perbedaan akan tetap sebuah perbedaan yang akan terus menjadi pemisah antara kita. ".
"… Ara, ini bukan keinginan ku?"
"Tapi ini tetap terjadi, kan? Arka.. tolong berhenti. Aku juga memiliki batas lelah. Menjauhlah dan jangan temui aku lagi."
Kemudian Ara mengambil kunci mobil di atas meja dan pergi meninggalkan Arka yang terpaku dan Ezhar yang melongo bingung karena di tinggal dengan tumpukan jagung bakar.
Dengan jagung bakar masih di mulut Ezhar melambai-lambai pada Ara seakan memanggil gadis itu untuk jangan pergi tapi terlambat mobil yang di kemudikan Ara telah lama menghilang di ujung gelapnya malam. Ezhar lalu menunjuk pada dirinya sendiri, dengan wajah memelas.
"…Lalu, aku pulang dengan siapa?" tanyanya entah pada siapa. Karena Arka sudah pergi untuk menyusul Ara, entah itu masih bisa atau dia telah kehilangan jejaknya.
***
Ke esokan harinya, Ara pergi nonton bioskop seorang diri. Awalnya dia ingin mengajak Ezhar pergi bersama tapi pemuda itu tidak dia temukan batang hidungnya di sudut mana pun di rumahnya.
Setelah nonton bioskop, Ara pergi ke Gramedia berharap di sana dia bisa melepaskan sesak di dadanya. Sesak yang tidak dia tahu penyebab dan obatnya. Dia hanya ingin pergi ke tempat di mana dia bisa melupakan Arka. Namun sepertinya hari ini bukanlah keberuntungannya.
Saat kakinya akan turun dari lantai tiga terpaksa dia urungkan. Di anak tangga menuju lantai tiga dia melihat Amel yang sedang merangkul Arka dengan mesra. Napas Ara sesak, jantungnya terasa di tusuk ribuan jarum. Dia mundur dan besembunyi di balik rak-rak buku. Sesekali dia mengintip di antara celah buku.
Dia benci perasaan yang menyesakkan itu. Ara meringis sambil memegang kepalanya, pandangannya mulai buram. Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Ezhar.
Ara berlutut di lantai sambil memegang kepalanya, sesekali terdengar ringisan lirih keluar dari bibirnya. Seorang karyawan toko yang melihat itu datang mendekat.
"Kak, apa kau baik-baik saja.."
Ara berusaha untuk tetap sadar melihat siapa yang bertanya padanya. Namun pandangannya semakin buram.
"…Tolong…" Ara menyerahkan ponselnya yang masih tersambung dengan Ezhar. Karyawan itu mengerti dan berbicara, mengatakan kalau kondisinya memburuk. Saat karyawan itu akan pergi meminta bantuan Ara menariknya mendekat sambil menggeleng. "…Jangan.." di antara rasa sakit di kepala dan takut ketahuan oleh Arka membuat Ara semakin kalut ".. Tolong, sembunyikan.. aku.. dari…dia.."Tunjuk Ara pada Arka yang saat itu posisinya berdiri tidak jauh dari mereka.
Karyawan itu hendak menolak mengingat kondisi Ara yang menurutnya sangat buruk, wajah pucat, bahkan darah mengalir keluar dari hidungnya. Karyawan itu mengangguk pasrah dan membawanya ke balik rak buku yang sedikit tersembunyi.
Ara berusaha untuk tetap tersadar, napasnya mulai berat dan tersengal-sengal. Karyawan yang menunggunya mulai khawatir.
"Kakak, tunggu di sini, saya akan pergi cari bantuan.." kata Karyawan itu pergi.
Ara ingin menghentikannya tapi terlambat. Namun sebelum kesadarannya menghilang dia samar-samar melihat Ezhar datang bersama Karyawan yang tadi bersamanya.
"Ara!!"
Dan semuanya gelap.