Chereads / Sebuah Kata Kerinduan / Chapter 52 - 52. Heart 4

Chapter 52 - 52. Heart 4

Sore itu Ara yang kelelahan meminta izin untuk pulang dan istirahat. Kondisi Arka juga mulai membaik lusa juga sudah di perbolehkan pulang. Sebelum pulang ke rumah dia ingin makan sesuatu untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Tibalah di sebuah warung makan, dia memilih kursi bagian luar sambil menikmati suasana sore yang ramai.

Saat makanannya hampir selesai tiba-tiba Amel dan beberapa teman gilanya datang menghampiri. Mungkin ingin menyiksanya lagi seperti dulu.

Amel duduk di samping kirinya, sedangkan dua temannya lagi duduk di samping kanan dan di depannya. Ara yang lapar tidak mempedulikannya membuat Amel geram. Kepala Ara tersentak kebelakang saat rambutnya di tarik. Itu sakit. Ara meringis namun masih diam.

"Kau makan sendirian? Kenapa tidak ajak kami juga untuk makan.." Amel melepaskan tangannya yang tadi menarik rambut Ara. Kemudian memesan makanan sebanyak-banyaknya.

Ara yang melihat itu tersenyum miring tapi tidak protes.

"Kau makan juga, ini aku tambahkan ikan dan.. ayam.." kata Amel memasukkan tulang ikan dan ayam ke piring Ara yang sejak tadi tidak tersentuh lagi. "Ayo makan! Kau sangat kurus dan pucat!" dua teman yang bersama Amel cekikikan sambil terus melahap makanan mereka. Sedangkan Amel sesekali berhenti menyuap makanan dan mengusap rambut Ara seolah sedang membujuk anak kecil untuk makan.

Ara menghela napas menahan emosi. Dia ingin menghajar Amel tapi tidak ingin membuat warung makan itu hancur. Jadi, dia hanya bisa menunggu. Saat makanan yang di pesan Amel hampir habis, Ara berdiri pergi ke kasir untuk membayar makanan nya. Namun teriakan menyebal kan Amel yang memintanya untuk membayar tagihan makanannya juga membuatnya tersenyum sinis. Setelah membayar Ara keluar dari warung berdiri tidak terlalu jauh. Dia menunggu dan melihat bagaimana Amel bisa menyelesaikan masalah yang di buatnya sendiri.

Saat rombongan itu akan pergi seorang pelayan meminta mereka untuk membayar. Amel yang mendengar itu terkejut.

"Bukankah sudah di bayar!" teriaknya emosi.

Pelayan itu menjawab "Belum.."

Amel menggeretakkan giginya menahan emosi. Ara tidak membayarnya dan juga membuatnya malu. Dengan terpaksa Amel membayar tidak terlalu mahal tapi tetap saja harga dirinya terluka karena kelakuan Ara. Setelah membayar makanan Amel dan dua temannya pergi ke arah parkiran. Di sana di lihatnya Ara yang bersandar di mobilnya dengan tangan terlipat di dada. Melihat tatapan Ara penuh kemenangan emosi Amel memuncak. Langkahnya di percepat saat sudah dekat tangannya terangkat siap akan menampar Ara.

"Kau..!" teriak Amel tertahan. Karena tangannya yang akan menampar Ara di tahan.

"Kenapa kau ingin menamparku!" Ara mendengus "Maaf! Aku bukan Ana yang dulu mudah kau siksa!" Ara menghempas tangan Amel dan kembali menampar wajah menyebalkan itu. Senyum puas kembali terukir di bibirnya.

Amel memegang pipinya yang berdenyut-denyut perih dan juga merah bekas tamparan. Dua sahabatnya ingin membantu memegang Ara supaya Amel bisa membalas namun kejadian itu malah berbalik. Ara menendang kedua kaki teman Amel yang memakai sepatu tinggi hingga membuat dua orang itu terjerembab dengan pekikan kesakitan.

"Bodoh! Temanmu juga bodoh! Jika kau ingin menghadapiku jangan cara yang bodoh seperti ini! Kau buang-buang waktu ku saja! Sana pulang! Ganti pakaian mu, anak kecil tidak boleh memakai pakaian terlalu terbuka nanti masuk angin!"

Setelah itu Ara melenggang pergi mengabaikan Amel yang terpana dan kemudian berteriak histeris. Ara tersenyum lebar sambil menghitung.

Satu.

Dua.

Ti..gaaa..

"Aaaaarrrhhhh!!!! Dasar anak sial!!! Awas kau kalau bertemu lagi akan ku cincang kau!"

Ara tertawa terbahak-bahak, masuk ke dalam mobil Arka yang dipinjamnya. Dari dalam mobil dia melihat Amel yang menendang ban mobilnya yang tadi dia kempeskan, seakan melampiaskan emosinya. Ara melewati mobil Amel dan membuka sedikit jendela kaca lalu melambaikan tangan dengan senyum puas.

***

Di sebuah rumah bertingkat dua dengan pagar besi hitam. Terdengar teriakan dan suara bantingan barang pecah.

Rena yang kebetulan berada di rumah berjalan ke kamar adiknya " Amel..! apa yang sedang kau lakukan..!" teriaknya.

Amel menoleh menatap kakaknya yang berdiri di ambang pintu. sambil menunjuk ke arah yang tidak jelas dan meracau "Dia.. anak sialan itu.. Ana.. ah tidak itu sekarang Ara.. aku akan membuatnya mati sekali lagi."

Rena mendekati adiknya yang sedang meracau, dia membuka laci dan mengambil sebuah botol kecil, mengeluarkan isinya. Lalu menyerahkannya pada Amel. "Minumlah, dan ceritakan dengan jelas!"

Amel mengambil obat itu dan langsung menelannya. Perlahan-lahan emosinya mulai stabil. Dua kakak beradik itu duduk di kamar yang berantakan. Amel mulai bercerita.

"Dia kembali.."

"Siapa.." tanya Rena bingung.

"Ana! Dia kembali kaaak!!" Teriak Amel lagi sambil mengguncang-guncang lengan kakaknya.

"… Itu tidak mungkin! Dia sudah mati tiga tahun lalu! Bagaimana dia bisa hidup lagi! Apakah dia berubah jadi zombie!"

"Kakak!! Aku serius!"

Rena terdiam. Setiap kali dia mendengar nama Ana, mood nya selalu buruk. Hubungannya dengan Rian juga memburuk karena Ana, sekarang adiknya hampir gila juga karena Ana. Kenapa selalu Ana.

"Ceritakan semuanya.." pinta Rena kemudian.

Amel menarik napas menenangkan emosinya yang meletup-letup di dada. Mulai menceritakan semuanya tanpa ada satu pun yang tertinggal malah Amel melebih-lebihkan ceritanya hingga membuat kakaknya ikut emosi.

Rena terdiam.

Amel tersenyum miring, puas melihat ekpresi kakaknya.

"Jika yang kau katakan itu benar! Biar kan kakak menyelesaikan semuanya!" Amel mengangguk dan tersenyum puas.

***

Sebulan berlalu. Arka sudah pulih dan hubungannya dengan Ara juga semakin membaik. Arka berdiri di bawah pohon rindang di dekat gerbang kampus. Siang ini, dia ingin mengajak Ara berjalan-jalan. Dari jauh dia melihat sosok yang sudah begitu lama di rindukan sedang berjalan bersama Hana dan… Abe, menuju gerbang.

Kali ini ada yang berbeda dengan Ara. Gadis itu semakin ceria dan manis. Dengan rambut ekor kuda yang suka bergoyang-goyang bersamaan dengan gerak-geriknya yang lincah. Dan tawa lepasnya. Ah, ya, sorot matanya juga berubah. Sorot matanya. Dulu, bola mata hitam itu memancarkan sorot muram. Sekarang, jernih bersinar.

"Ciee…ciee!! Kalian berdua palingan sebentar lagi juga nikah," seloroh Ara seraya menggandeng Hana yang tersipu-sipu. Belum sadar dengan keberadaan Arka. "Tau nggak, Be. Kemarin Hana bilang ke aku kalau dia tuh sebenarnya udah nggak tahan…aduh!"

"Bohong! Jangan percaya!" seru Hana dengan wajah merah padam, lalu mencubitnya keras-keras.

Tapi Abe menyambut dengan wajah serius "Hmmm, kalau gitu aku sama Hana memang jodoh. Sebenarnya aku juga udah nggak tahan… lapar! Hahaha …!" dia tertawa keras-keras melihat Hana yang menganga kaget.

"Uuuh, sebel deh! Sebeeel! Awas yaaa..!!" teriak Hana, bergegas berjalan mendahului mereka. Namun mendadak dia menghentikan langkah ketika melihat Arka berdiri sendirian di bawah pohon dekat gerbang.

"Hai, Kak Arka..," sapa Hana bersemangat, memamerkan senyum terbaiknya. Karena dia selalu bersemangat saat melihat cowok tampan.

"Hai juga, Hana. Apa kabar?" sapa Arka ramah sambil berjalan mendekati mereka.

"Baik kok," sahut Hana sambil menoleh ke belakang. "Araaaa… ada kak Arka niiihh!" teriaknya keras-keras.

"Arka?" ucap Ara terkaget-kaget seraya memandang ke arah gerbang. Lalu mengalihkan perhatiannya pada Abe.

Abe yang melihat tatapan Ara yang bingung, mengangguk menenangkan "Tidak apa-apa. Kak Rian sekarang sudah jauh lebih baik."

Ara menghela napas. Memang setelah kejadian di rumah sakit mereka tidak pernah bertemu lagi, dia hanya sesekali mendengar kabarnya dari mulut Hana. Sekarang Abe melihatnya bersama Arka, dia takut Abe akan melihatnya sebagai orang yang buruk karena telah meninggalkan kakaknya.

Ara kembali menoleh ke arah gerbang. Di sana, Arka berdiri menatapnya dengan senyumnya yang tenang. Perawakannya yang tinggi, menjulang tegak, berkaos putih di balut kemeja flannel kotak-kotak biru-putih-merah yang di lipat di lengannya sampai sepertiga panjang tangan. Kulitnya semakin putih karena berdiam di kamar dalam waktu yang lama.

Entah kenapa Ara mendadak berdebar-debar. Sebuah perasaan Aneh menyerbunya. Lembut sekaligus agak membingungkan, tapi juga membahagiakan.

"Hai…," sapa Ara canggung, melambaikan tangan, berjalan menghampiri.

"Apa kabar, Arabella?" balas Arka tenang.

"Baik." Ara berhenti di depan cowok itu, menggeser-geser kakinya, gugup.

Arka yang melihat itu tersenyum simpul. Dia tidak pernah menyangka jika gadis pemalu di hadapannya saat ini sangat pandai bela diri karate dan taekwondo. Dia sendiri sempat terpana saat melihat Ara menghajar penjahat waktu itu. Andai saja penjahat itu tidak curang ingin menusuk Ara dengan pisau mungkin dia akan tetap berdiri dari jauh dan menonton.

Hana yang melihat mereka saling menatap diam langsung tergagap. "Ara, aku sama Abe duluan ya? Kita mau nikah..eh, mau makan, hihihi.." katanya sambil menggandeng Abe yang tersenyum menganggukkan kepala ke Arka. "Bye, Araa..!"

Ara melambaikan tangannya, kemudian memalingkan wajah ke arah jalan raya, pura-pura memperhatikan jalan yang padat. Sementara Arka tetap menatapnya hingga Ara jadi makin salah tingkah. Ara selalu merasa jika kepribadian Arka dan Rian sangat mirip dalam hal menatapnya.

"Ra, kita jalan-jalan yuk?" ajak cowok itu.

Sejenak Ara membisu. Semburat merah kembali mewarnai pipinya yang pucat. Rikuh sekaligus senang, tapi bingung harus menjawab apa.

"Ara…"

"Eh, apa? Oh, ayo deh," sahut Ara cepat-cepat, tersenyum lebar, membuang jauh-jauh kecanggungannya.