Chereads / Sebuah Kata Kerinduan / Chapter 53 - 53. Pilihan 1

Chapter 53 - 53. Pilihan 1

Di atas meja ada dua gelas minuman yang setengah kosong. Strawberry juice milik Ara dan secangkir hot cappuccino milik Arka. Mereka duduk berhadapan di sofa hijau di samping jendela yang horizontal blind-nya di turunkan untuk melindungi pengunjung kafe dari sinar matahari sore.

Arka memandangi Ara nyaris tanpa berkedip sementara Ara terus berceloteh riang. Mulai dari soal pelajaran di kampus yang katanya harus di jalani lebih serius karena sekarang sudah semester akhir. Juga tentang Amel yang tidak datang mencari masalah dengannya. Hidupnya benar-benar terasa tenang dan damai. Dan dia juga belajar beberapa resep makanan dari Ezhar. Dengan raut muka lucu , Ara tidak lupa menceritakan beberapa ulah jahilnya ke Ezhar yang di dorong oleh ke inginan untuk membuat suasana rumah menjadi lebih hidup dengan teriakan jengkel Ezhar yang biasanya sangat tenang dan cool.

Arka tersenyum tipis, meskipun dia tidak suka mendengar Ara menceritakan Ezhar. Dia terus menyesap hot cappuccino nya hingga habis. Dia bangkit dari kursi seraya mengeluarkan dua tiket dari kantong kemejanya. "Aku punya dua tiket nonton di Cinemax. Film terbarunya Robert Pattinson, vampire. Kau nge-fans sama dia kan?" ajaknya.

"Banget!" seru Ara kegirangan. Meskipun dia tidak tahu dimana Arka bisa tahu kalau dia nge-fans sama actor barat itu.

***

Di dalam bioskop, selama film berlangsung. Arka sering menoleh menatap Ara dari samping. Mencium harum samar bedak yang menguar dari badannya. Melihat dengan jelas binar-binar mata hitamnya. Helai-helai poni yang menutupi kening halusnya.

Tangan Arka lalu kemudian bergerak ke kanan, menggenggam jemari Ara. Lembut tapi erat.

Awalnya Ara tidak sadar kalau tangannya ada dalam genggaman cowok itu. Namun, dia menyadari ada sesuatu yang aneh, hingga dia memandang tangan kirinya. Dan di lihatnya dengan jelas, tangannya sudah di genggam. Sementara Arka tetap menegakkan kepala, bersandar di kursi tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya.

Spontan, Ara berusaha melepaskan tangannya, tapi sia-sia. Arka malah semakin mengeratkan genggamannya. Raut wajah cowok itu begitu tenang, seakan tidak menyadari reaksi Ara.

"Arka…,"bisik Ara lirih, agak rikuh.

Arka diam saja.

"Arka…," sekali lagi Ara berbisik memanggilnya, tepat di telinganya.

Kali ini Arka menoleh, menatap Ara tepat di matanya. Wajah mereka begitu dekat sehingga Ara bisa merasakan hembusan hangat napas Arka menembus pori-pori kulitnya.

Ara pun lekas-lekas memalingkan wajah. Canggung sekaligus bingung.

Jadi, Arka sengaja mengenggam tangannya? Kenapa ya? Genggaman tangan Arka begitu lembut, hangat sekaligus erat. Dia tidak bisa membandingkannya saat tangannya di genggam Rian. Karena perasaan itu terasa sama.

Karena cowok itu terus menggenggam tangannya, maka Ara memutuskan untuk membiarkan. Dulu dia sangat ingin di genggam oleh tangan ini, bahkan di belai. Di penurunan saat mendaki dulu dia tidak ingat jelas bagaimana Arka merangkulnya dengan erat. Kini ke inginannya terkabul. Bukan sekali tapi berkali-kali. Ini lebih dari cukup untuk membuat hatinya senang. Dadanya yang sempat berdebar kencang berangsur tenang kembali. Di ikuti perasaan nyaman.

Jauh di dasar hatinya, akhirnya Ara mengakui perasaan sukanya terhadap Arka. Menyukai semua yang ada pada dirinya. Menyukai saat-saat Arka berada di sampingnya. Dia juga ingat hanya Arka yang bisa menyembuhkan kesedihannya. Meskipun dia sering menghindari perasaannya pada Arka pada akhirnya dia menyerah. Ara akan mencoba berdamai dengan dirinya sendiri.

Setelah pertemuan tanpa sengaja mereka di Pare waktu itu. Dan kecelakaan yang membuat ingatannya pulih kembali, dia merasakan kehilangan dan kerinduan saat berjauhan tapi keberadaan Amel membuatnya harus melangkah mundur dan menjauh. Kini dia tidak ingin mengalah lagi. Apa yang menajadi miliknya harus dia dapatkan.

Dia ingin Arka terus berada di sisinya menggenggam hangat jemarinya, hadir secara nyata dalam hidupnya.

Lalu bagaimana dengan Rian yang masih mengharapkan kesempatan kedua darinya?

Rian memang pernah menjadi kekasih pertamanya. Kata orang kekasih pertama itu sulit untuk di lupakan. Ara sudah merasakannya sendiri. Namun Rian tidak bisa di harapkan lagi. itulah kenyataannya. Rian terlalu banyak membohonginya, meskipun itu untuk kebaikannya. Lalu, Ara menoleh pada Arka. Apakah dia harus membiarkannya berjalan di sisinya?

***

Sebelum tidur. Ara berbaring telentang di atas tempat tidur menatap langit-langit kamarnya. Ingatannya melayang ke masa saat dia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dimana hungungannya dengan kakaknya Rena sangat baik.

Eleven years ago.

Waktu itu Ana datang ke kamar kakaknya. Rena duduk di depan cermin. Berbalut pakaian tidur berbahan sutera berenda, sedang menyisir rambut panjangnya. Buru-buru dia mengambil sisir dari tangan kakaknya.

"Biar aku saja, kak. Udah lama aku nggak nyisir rambut kakak," pintanya, lalu menyisir rambut Rena mulai dari kulit kepala sampai ujung rambut.

Ada kesenangan tersendiri buat Ana saat tangannya bergerak menyisir rambut kakaknya, merasakan struktur rambutnya yang tebal dan halus sambil memuji kecantikannya. Harum lembut rambut Rena juga membuat hatinya tentram. Ana sangat aman jika berada bersama kakaknya Rena dari pada Amel. Orang tuanya juga menyayanginya terutama ayahnya yang sangat memanjakannya.

"Kak Rena cantik," desis Ana spontan dengan tatapan sayang.

Rena tersenyum senang karena Ana jarang memujinya.adiknya itu selalu berdiam diri di kamar, jika tidak ada yang mengajaknya bicara dan bermain keluar selebihnya dia hanya akan berada di kamar sehari suntuk. Rena merasa senang saat Ana datang dan memujinya. Selama ini Ana lebih banyak acuh tak acuh, kalau di tanya pendapat soal dandanan, dia sering sengaja mengatakan hal-hal menyebalkan. Misalnya. 'Kak Rena cantik seperti ibu-ibu pejabat.' Atau ' make up kak Rena bagus sih, tapi ngomong-ngomong, matanya kenapa biru gitu? Habis di tonjok ya?'

Sulit di percaya, seorang Ana yang lincah bisa menyisir rambutnya begitu telaten.

"Kak, kenapa mataku berwarna hitam tidak sama dengan mata kak Rena dan Amel. Wajahku juga kenapa tidak mirip dengan ibu?" tiba-tiba Ana mengajukan pertanyaan yang mengejutkan Rena.

Rena tahu jika adiknya itu bukanlah adik kandungnya melainkan anak adopsi. Dia sendiri tidak tahu apa alasan ibunya mengadopsi Ana. Padahal dia sudah memiliki dua orang anak perempuan, seharusnya dia mengadopsi anak laki-laki bukan perempuan. Dan kenapa saat menagdopsi Ana, ibunya harus Melakukannya secara diam-diam dari ayahnya.

Rena terdiam sebentar, teringat sesuatu hal. Dia menghela napas, mencari-cari kalimat yang tepat. "Ana.. kau memang tidak mirip dengan kami, tapi kau itu mirip dengan nenek. Kalau kau tidak percaya kau bisa bertanya pada ibu?" Ana yang merasa kakaknya tidak ingin membicarakan hal itu memilih percaya. Namun sesaat kemudian pertanyaan Rena membuat tenggorokan Ana tercekat.

"Ana, menurutmu bagaiamana, kalau suatu hari Azka jadi pacar kakak, apa bisa cocok?"

Sekonyong-konyong Ana merasa di serang ribuan lebah yang berdengung keras. Suara Rena terdengar jauh di telinganya yang sedang menyisir rambut Rena sontak terhenti, berganti gemetar hingga sisir itu terlepas dan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring.

"Eh, apa itu?" tanya Rena.

Ana tersadar dan cepat-cepat mengambil sisir itu.

"Aku ini cantik nggak sih? Eh, maksudku, kira-kira apa yang bisa membuat Azka tertarik sama aku. Ya?" Rena kembali menatap bayangannya di cermin.

Tenggorokan Ana tercekat. Lehernya terasa tercekik, ingin sekali dia berteriak pada kakaknya kalau dia juga suka dengan Azka.

"Kak Rena bukankah sudah di jodohin sama Kak Rian?"

Rena mendecak kesal "Ini keinginan ibu bukan aku. Jadi aku sudah menolaknya! Aku ingin Azka menjadi tunanganku tapi ibu masih belum mau mengabulkannya! Jadi, apakah aku sudah cantik? Aku tidak ingin terlihat buruk di depan Azka besok. Ana, dia akan datang kan besok?"

Ana yang diam hanya mengangguk. Azka memang sering datang kerumahnya itu hanya untuk menemani Ana bermain. Azka tidak terlalu akrab dengan Rena apa lagi Amel tapi sepertinya dua kakaknya mengejar cinta Azka. Sedangkan Rian tidak ada pilihan selain menerima perjodohannya yang batal.

"Kak Rena udah lama tidak ke salon untuk merawat rambut. Nanti sekalian aja luluran dan manicure-pedicure biar jari-jari kakak lebih indah. Juga sekalian facial," saran Ana dengan nada berusaha riang, mengalihkan pembicaraan. "Tapi, kakak udah lama nggak ke salon tetap cantik kok," puji Ana sungguh-sungguh seraya menekan dada diam-diam dengan ujung jarinya.

"Kau masih kelas tiga sekolah pertama kenapa sangat tahu tentang kecantikan?" goda Rena.

Ana terkekeh "Karena aku suka membaca, kakak saja yang tidak tahu."

Ana keluar dari kamar tidur itu pikirannya berkecamuk. Jadi ternyata Rena menyukai Azka juga? Kenapa dia baru tahu sekarang?

Masa sekarang.

Ara berguling di atas tempat tidur matanya tanpa terasa berair kala mengingat kenangan indahnya saat-saat bersama kakaknya Rena. Tapi semuanya berubah setelah kejadian tragis itu. semuanya benar-benar berubah. Dan lebih parahnya dia harus menjalani hipnoterapis untuk menghapus ingatan buruk itu.

Jujur saja Ara rindu di panggil Ana lagi tapi dia tidak bisa membiarkan itu lagi. kini semuanya berjalan di luar kendalinya semua orang menyadari kalau dirinya masih hidup. Cepat atau lambat kabar tentang dia masih hidup akan sampai juga ke telinga ayah dan ibu angkatnya.

Ara menutup wajahnya dengan kedua tangannya berharap semuanya berjalan baik-baik saja. Semoga Rena dan Amel tidak mengulang kejadian yang sama lagi. dan tidak akan menyakiti Arka maupun Rian. Ara akhirnya tertidur dengan pikiran yang melayang antara masa lalu dan sekarang.