Chereads / Sebuah Kata Kerinduan / Chapter 45 - 45. Petualangan Dimulai 2

Chapter 45 - 45. Petualangan Dimulai 2

Selepas makan malam, Lian, Ezhar dan Rian mengobrol dengan beberapa pendaki lain, sembari menunggu kantuk menyerang. Ara, Aisyah dan Disa memilih untuk beristirahat. Rian, Ezhar dan Lian menghuni satu tenda berukuran besar, sedangkan Ara tidur bertiga dengan Aisyah dan Disa di tenda yang lebih kecil. Tetapi Ditto terpaksa tidur sendirian di tendanya yang aneh. Tenda khas anak kecil, lengkap dengan jendela dan pintu warna-warni mencolok yang miring-miring. Maka, batu bata dan tali tambang anjuran Lian akhirnya terpakai juga agar tenda tersebut kuat berdiri sepanjang malam.

Malam mulai larut. Ara berbaring gelisah. Betisnya lagi-lagi terasa tegang, sehingga terpaksa bangun dan memijit-mijit dengan obat gosok. Sembari memijit-mijit pikirannya melayang ke Amel dan Arka, dua orang itu juga naik gunung mungkin kah mereka akan bertemu. Ara harus memastikan maskernya terpasang setiap saat. Dia juga merasakan perasaan yang dulu pernah dia miliki untuk Arka kini terasa sedikit aneh, dimatanya Arka adalah cowok tampan yang sempurna dengan karakter cool-nya, dengan pesona mata biru yang indah.

Sekarang tujuannya adalah.. Rian, bagaimana dia harus menghadapi cowok tampan itu. Hatinya selalu berdebar-debar saat Rian berada di sisinya. Sepanjang pendakian perasaan Ara terhadap Rian semakin terlihat jelas tapi dia masih menahan dan terlihat biasa-biasa saja.

Besok, dia akan naik ke puncak gunung. Besok adalah hari bersejarah. Untuk pertama kalinya dia akan menyongsong matahari pagi sebagai seorang pendaki yang berhasil menaklukan sebuah gunung. Dia, yang sebelumnya terbiasa hidup nyaman. Kening Ara berkerut, sesuatu mengalir keluar dari hidungnya. Dengan cepat tangannya menyeka dan melihat darah. Buru-buru dia mengambil sapu tangan krem dengan motip bunga sakura dan menyekanya, kemudian mengambil sebutir pil dari dalam botol plastic kecil seukuran jempol kaki. Tanpa bantuan air Ara langsung menelannya.

Napasnya tersengal-sengal antara menahan sakit yang mendera kepalanya. Dia harus bertahan, dia masih belum mencapai saparuh dari tujuannya.

***

Pagi-pagi buta, rombongan kecil itu bangun dan berkemas-kemas. Ara yang tidak terbiasa bangun pagi buta, mengigil dalam balutan jaket hijau toska-nya, menguap beberapa kali topi rajut hijau tua membalut rambutnya yang di biarkan tergerai, tangannya saling menangkup, berselimut sarung tangan coklat tua.

Tangan Rian yang berbalut sarung tangan hitam menepuk halus pipi dingin Ara "Dari Telaga Dewi menuju puncak kita hanya perlu tiga puluh menit, medannya juga cukup bersahabat. Meskipun begitu jangan jauh-jauh dari aku ya?"

"Mmm…"Ara mengangguk patuh. Cuaca dingin membuat mulutnya kaku.

Trek yang harus mereka lalui cukup mengikuti kabel-kabel tiang listrik yang terhubung dengan menara yang ada di puncak. Jika di beberapa gunung kamu menemukan titik treagilasi berupa patok tiang atau tugu, di puncak singgalang kamu akan menemukan tower pemancar yang di pagari dengan kawat. Saat cuaca sedang cerah, dari puncak ini akan melihat jelas pemandangan gunung merapi yang berdiri dengan gagahnya.

Meskipun Rian mengatakan medannya cukup bersahabat tapi bagi Ara yang pemula itu sangat sulit. Jalan setapak yang curam itu harus di taklukkan kalau ingin sampai ke atas, tanpa ada pilihan lain.

"Kau duluan naik, sambil aku bantu. Ayo," Kata Rian menggigit senter dengan mulutnya sambil mencoba menerangi jalan yang gelap itu. Kemudian menuntun Ara untuk naik.

Keringat dingin mulai mengalir di pelipis Ara. Belum apa-apa, napasnya sudah memburu. Gila. Gumam Ara, mulai panik. Kalau aku jatuh, bisa patah kaki nih.

Ara berusaha tidak melihat ke bawah dan ke atas, atau sekedar mengedarkan pandangan ke sekeliling yang gelap gulita, yang hanya di terangi oleh senter para pendaki. Dia berusaha kosentrasi.

'Naik.. naik… naik.. semangat…,' dia jadi teringat Aisyah yang memilih tinggal di tenda, gadis itu mungkin masih bergelung dalam selimut hangatnya.

Ara terus mengucap berkali-kali dalam hati. Kepanikan agak berkurang karena ada tangan Rian yang memeganginya dan melindunginya. Setiap kali Ara kepayahan, dengan tenaga yang kuat cowok itu akan membantunya.

"Ayo terus, Ra. Kau pasti bisa," bujuk Rian berkali-kali.

Ara mengangguk, mencoba meredakan ketegangan dan kelelahan yang semakin terasa. Kepalanya berkunang-kunang. Tenaganya melemah. Kedua tangannya gemetar, kakinya pegal terasa di gigiti ribuan semut. Bahkan tangan Rian yang kuat terus menopangnya mulai tak terasa.

BRUK!

Ara langsung jatuh terduduk. Lunglai. Bersandar pada sebatang pohon yang melintang.

"Aku tidak sanggup jalan, Rian," bisiknya lirih, menggeletak dengan pandangan berangsur gelap. Fisiknya semakin melemah berharap penyakitnya tidak kambuh di saat sekarang.

Cekatan, Rian memeluk tubuh lunglainya dan meminta Ara mengambil napas dalam-dalam.

Ezhar dan Lian yang tiba beberapa saat kemudian, mengelilingi mereka dengan raut wajah cemas.

"Dik Ara ambil napas dalam-dalam. Hembuskan pelan-pelan," bujuk Lian, menepuk-nepuk tangan gemetar itu.

"Iya, jangan panik. Ada kita-kita kok yang selalu jagain kamu, semangat! Sebentar lagi kita sampai puncak! Kesulitan kecil ini tidak akan membuatmu menyerah, kan," Tambah Ezhar.

Ara mengacuhkan perhatian mereka. Memejamkan mata. "Aku capek…, aku mau pulang saja…," gumamnya setengah putus asa.

"Mau pulang ke mana? Naik apa? Di sini nggak ada angkot, nggak ada ojek. Kalau kau tetap mau pulang nanti aku pangggilin angkotnya ke sini, khusus buat ngankut kamu, lengkap dengan supirnya yang suka seenaknya," Tutur Rian dengan nada serius.

Mendengar kata angkot trauma dalam diri Ara kembali menyeruak, dia sontak duduk tegak.

"Aku nggak mau naik angkot lagi!" teriaknya dengan muka memerah.

"Jadi mendingan naik truk semen!" timpal Lian.

"Apa lagi truk semen!" sergah Ara, tambah jengkel.

"Naik truk semen bikin kamu jadi mati gaya, hehe…,"imbuh Ezhar.

Ara tambah merengut.

"Yang pasti kau harus tetap semangat. Puncak singgalang tinggal selangkah lagi. Sayangkan kalau kau gagal," bujuk Rian, mengusap pipi pucat itu.

Ara diam membisu seraya menengok ke atas. Langit subuh mulai terlihat di balik kumpulan daun-daun kecil dari batang pepohonan yang tumbuh pendek. Cahaya bulan meredup di gantikan semburat mentari yang indah. Awan jingga gelap terlihat beriringan di langit. Garis di cakrawala seperti lukisan abstrak yang di goreskan oleh pelukisnya, tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang.

"Kau benar, Rian. Aku harus naik apa pun yang terjadi," ucap Ara, pelan.

"Nah, gitu dong. Itu baru namanya cewek pemberani," komentar Rian tersenyum lega, melepas Ara dari pelukan dan mengajaknya berdiri. "Kisah perjalan yang belum selesai akan membuat orang yang bersangkutan menyesal seumur hidup."

"Sesungguhnya apa yang terjadi dengan dirinya Ara?" Ditto baru tiba bareng Disa, bertanya sambil memandangi teman-temannya.

"Telat! Kereta udah lewat,"celetuk Ezhar seraya berlalu.

"Dirinya kereta?" Ditto melongo.

Lian nyengir. Rian mengangkat bahu, menggandeng Ara dan melanjutkan pendakian.

***

Mereka akhirnya tiba menjelang matahari terbit di puncak Gunung Singgalang. Udara pagi menerpa wajah Ara yang kemerahan. Hatinya sangat senang, bercampur lega dan bangga. Di lemparkannya pandangan ke sekitarnya. Kota-kota nun jauh di sana ibarat kumpulan kotak warna-warni yang berdesakan dalam satu wadah maha besar. Kerlap-kerlip lampu yang belum di matikan seperti ribuan kunang-kunang bergerombol memamerkan cahayanya.

"Akhirnya aku berhasil naik Gunung Singgalaaaang…!!"

Dengan kegembiraan yang meluap-luap, Ara berteriak-teriak dan melompat sendirian. Mengepalkan tangannya ke atas, menju udara berkali-kali. Tertawa sekeras-kerasnya. Berjingkrakan. Sepuasnya.

"Hoooiiii… aku berhasil… horeeee!! Wuhuuuyyy..!!!"

Tingkah spontan Ara di saksikan oleh tiga pasang mata milik Rian, Ezhar dan Lian yang sudah belasan kali naik tempat ini.

"Anak kecil yang mengharukan," bisik Lian penuh simpati.

"Boneka hidup pertama yang berhasil mendaki Gunung Singgalang! Dan. Oooh, jika Ara mendengarmu mengatakan dia anak kecil dia akan mengigitmu seperti singa! Jadi jangan biarkan dia mendengarnya," timpal Ezhar asal-asalan.

"Adik kecil yang akhirnya berhasil meraih impiannya yang jauh lebih tinggi dari badannya sendiri," komentar Rian, tersenyum lega.

Ditto ikut-ikutan berkomentar "Sesungguhnya dirinya Ara…"

PLUK. Jaket Ezhar yang tebal dan bau keringat mendarat di wajah Ditto yang kontan gelagapan dan terpaksa menghentikan kata-katanya.

Pelan-pelan mereka menyingkir membiarkan Ara menikmati keberhasilannya dan larut dalam lautan kegembiraan. Lelah berjingkrakan, Ara terduduk diam di atas batu. Garis cakrawala di ujung langit, menandai bias jingga sinar matahari semakin meninggi. Menghangatkan kulitnya yang kedinginan serta memberi kehangatan dalam hatinya.

Sepanjang sisa hidupnya, belum tentu dia akan punya kesempatan lagi untuk melihat keindahan seperti ini. Bentangan alam yang terhampar di matanya membuat waktu terasa berhenti, kecuali sekelebat kenangan yang sekarang terasa kecil tanpa arti dalam genggaman alam bebas yang begitu luas. Ara memejamkan mata, menghirup dalam-dalam manisnya udara pagi di puncak Singgalang, menyimpan harum dan siluetnya dalam memorinya.