Arka..
Bisiknya. Mata mereka beradu pandang. Ara menahan napas kaget, cowok itu menatapnya lama, sedangkan dirinya hanya terpaku tidak bergerak, beruntung maksernya kembali terpasang dengan baik di wajahnya. Ara merasa jengkel kebahagiaan yang dia rasakan sebelumnya seakan sirna begitu saja. Kenapa saat dia melihat Arka lagi perasaannya tidak begitu baik. Apakah itu pengaruh dari kata-kata Rian sebelumnya.
Hanya ada Arka tidak ada Amel di sisinya. Cowok itu hendak berjalan mendekatinya, Ara tertegun, sekonyong-konyong, teringat Rian. Matanya lalu sibuk mencari-cari sosok cowok itu di antara para pendaki yang duduk-duduk menikmati keindahan puncak Singgalang. Nihil. Yang ada hanya Ezhar dan Lian. Juga Ditto dan Disa yang duduk berduaan di atas batu besar.
Ah, itu dia, sorak Ara dalam hati. Cowok itu berdiri sedikit jauh dari pendaki lainnya memandang jauh pada kota Bukit Tinggi dan Padang Panjang dengan Gunung Merapi sebagai latarnya serta pemandangan Ngarai Sianok. Berdiri diam dalam balutan jaket biru navy. Rambutnya bergerak-gerak tertiup angin gunung. Kedua tangannya di benamkan ke dalam saku jaket.
Ara berjalan mendekat meninggalkan Arka yang berhenti melangkah ketika melihat gadis itu pergi ke sisi Rian. Pemandangan yang terasa tidak asing. Dia masih belum bisa menebak siapa gadis yang memakai masker itu. Tiba-tiba langkah kaki Ara ragu-ragu saat melihat Rian sepertinya tidak mau di ganggu. Yah, kalau begitu nanti saja.
Namun, mendadak Rian menoleh, dan pandangan mereka bertemu. Untuk sesaat, mereka saling bertatapan tanpa kata-kata. Seakan ada magnet yang tarik menarik, menguasai sedemikian kuat tanpa sanggup di tolak.
Rian menatap ke arah belakang Ara, matanya berubah tajam sesaat kemudian "Ayo, kita lihat pemandangan ini bersama-sama," kata cowok itu akhirnya, memecahkan kebisuan tanpa melepaskan tatapan.
"Hmm..," Ara melangkah pelan ke arah Rian.
Rian meraih bahu Ara seraya berkata setengah merenung "Aku tahu kau sedang menghindarinya! Apakah itu artinya kau memberiku kesempatan?" Rian melepaskan rangkulannya, duduk di atas batu besar.
Ara mengamati profil Rian dengan ekor matanya. Menatap ekpresi serius sekaligus penuh renungan dari wajah itu, mencerminkan sisi lain jiwa petualangannya yang baru kali ini Ara lihat dengan jelas. Sesuatu yang begitu jauh tapi juga begitu dekat. Bisa di mengerti tapi juga penuh teka-teki.
Lembut di genggamnya jemari Ara yang terbungkus sarung tangan. "Saat kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, tidak peduli bagaimana pandangan orang, tidak penting kita berpijak di mana, jatuh cinta tidak perlu asalan." Rian menatap mata Ara serius "Aku hanya ingin memberitahumu bahwa tidak ada aturan dalam jatuh cinta, apa yang kau butuhkan untuk mengetahui perasaanmu yang sesungguhnya, ada di sini.." Tunjuk Rian pada dadanya sendiri dimana jantungnya berada.
Ara menunduk dengan hati pedih. "Kau tidak tahu bagaimana perasaaku, apa yang aku rasain," ucapnya getir. Beberapa helai rambutnya tertiup angin gunung, jatuh membelai wajahnya seakan mencoba memberi pengiburan.
"Tidak masalah jika kau masih tidak ingin memberiku kesempatan, tapi biarkan aku berada di sisi mu." Kata Rian.
Ara menoleh ke samping tanpa sengaja matanya terkunci pada tatapan Arka. Tatapan cowok itu masih mengikutinya tanpa banyak bicara mungkin karena keberadaan Rian yang membuatnya tidak ingin mendekat. Ara melihat tatapan Arka tertuju pada tangannya yang di genggam erat.
Pelan-pelan Ara menarik tangannya dari genggaman cowok itu, membisu seraya melemparkan pandangannya ke hamparan pemandangan kota Bukit Tinggi yang terlihat jauh. Lenyap sudah kekagumannya pada alam yang barusan dia nikmati sepenuh hati. Suasana hatinya tiba-tiba buruk.
Mengerti perasaan muram Ara, Rian mengalihkan pembicaraan. "Sekarang kita turun, ya? Hari ini kita berkemah di Telaga Dewi. Besok baru kita pulang," ajaknya dengan nada lembut.
Ara mengangguk tanpa berkata-kata. Hatinya kacau kepalanya sedang tidak bisa berpikir dengan baik. Rian dan Arka. Dua cowok ini terasa sedang menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang akan mengubah mereka semuanya jika sampai dia mengetahuinya.
***
Selepas sarapan, betis Ara terasa berdenyut lagi. Dia duduk di dalam tenda, mengurutnya diam-diam sambil meringis. Kali ini Arka memergokinya.
"… Kau..," Teriak Arka tertahan. Cowok itu langsung menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa pun. Dia melihat semua teman-teman gadis itu bermain di tepi Telaga Dewi. Arka yang sudah curiga dengan Ara mengikutinya diam-diam sampai akhirnya gadis itu melepaskan maskernya. Dan benar. Dia melihat gadis itu di tenda sendirian sambil mengurut kakinya.
Ara sendiri yang terkejut juga tidak bisa berkata apa-apa. Mereka saling bertatap mata sampai akhirnya Arka memilih untuk bicara lebih dulu.
"Sakit?" atau pegal?" Tanyanya penuh perhatian.
"Agak pegal, tapi nggak begitu sakit kok," Jawab Ara kaku "… Kau, bagaimana bisa di sini," tanya Ara lagi.
"Sini aku urut." Arka mendekat tidak menjawab pertanyaan Ara.
Hati-hati Arka mengurut kaki Ara dengan minyak gosok, lalu menyuruhnya istirahat. Saat dia hendak pergi pergelangan tangannya di tahan oleh Ara. Cowok itu menatap langsung ke mata Ara. Pandangan yang entah kenapa membuat dada Ara sesak saat melihatnya.
"Apa kau butuh sesuatu, lagi?" tanya Arka.
Ara mengangguk kemudian menggeleng. Merasa sangat gugup. Gadis itu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan seperti yang sering di ajarkan oleh Lian pada nya sepanjang perjalanan pendakian.
"…Aku.., eh, ini..itu.." mata hitam Ara bergerak semakin gelisah membuat Arka tertawa kecil. Tangan cowo itu mengacak-acak rambut Ara.
"Tidak apa-apa! Kita masih memiliki waktu, meskipun aku ingin bertanya sekarang, tapi aku tidak ingin membuat kau dalam masalah. Baiklah, jaga dirimu, jika kau masih memercayaiku, aku akan menunggu mu di rumahku, ada sesuatu yang harus aku tunjukkan padamu."
Ara melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan cowok bermata biru itu. Saat Arka akan pergi lagi suara Ara kembali menghentikannya "...Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Rian..,"
Arka tersenyum lalu mengangguk "Aku tahu.." kemudian Arka pergi meninggalkan Ara dengan pikiran kacaunya lagi.
Dari balik pohon tenda mereka tidak tahu jika Rian mendengar dan melihat semuanya. Tangannya mengepal erat membentuk tinju hingga urat-urat tangannya terlihat jelas. Matanya menatap tajam pada Arka. Hatinya panas, emosi bergelora di dadanya. Dia harus menyelesaikan masalahnya dengan Arka secepatnya. Belum sempat dia melangkah suara ringisan Ara dari dalam tenda membuatnya menghentikan niatnya untuk melabrak cowok bermata biru itu.
Rian langsung masuk dan duduk di dalam tenda. Ara yang terkejut tidak sempat untuk menyembunyikan ekpresinya yang meringis sakit.
Kembali, kaki Ara di pijat menggunakan minyak gosok dan memintanya untuk istirahat. Kening Ara berkerut dia merasa Rian sedikit berbeda, meskipun cowok itu masih bersikap lembut tapi emosi di matanya tidak dapat di sembunyikan.
"Kenapa,?" tanya Ara kemudian.
Rian diam masih memijat kaki Ara dengan lembut. Karena Ara masih menunggu jawabannya Rian akhirnya mengalah "Sebenarnya sore ini aku ingin mengajakmu naik ke atas lagi, ngeliat sunset. Sayang, banget kakimu lagi sakit." Katanya seraya membenahi kotak obat.
"..Iya," gumam Ara, kecewa.
"Ya sudah, mendingan kau istirahat sekarang," Rian menepuk bahu Ara. Lalu keluar tenda sembari membawa kotak obat untuk di berikan kepada Disa yang juga pegal-pegal kakinya. Ditto yang punggungnya sudah serasa mau copot. Mereka berdua duduk-duduk di dalam tenda Ditto, terdengar berbincang serius. Entah membahas apa.
Tanpa banyak membantah Ara, masuk kedalam sleeping bag, berbaring meluruskan punggung dan kakinya. Belum lama berbaring, sayup-sayup tedengar suara orang berbicara dengan Rian yang duduk di luar tenda. Sepertinya cewek ada dua orang.
"Maaf, kak, saya boleh minta obat merah? Sama plester? Saya tadi jatuh terpeleset. Kotak obat kami entah ada di mana."
"Oh, silakan," sahut Rian ramah." Ambil aja ke tenda sebelah."
Sebentar kemudian, terdengar suara yang tidak asing "..Mana teman kecilmu itu."
"Istirahat." Suara Rian datar.
Sekonyong-konyong Ara tersentak bagaikan terkena aliran listrik. 'ya ampun itu suara Amel', desisnya dengan perasaan campur aduk. 'ya, tidak salah lagi! Pasti cewek resek itu!' kenapa mereka selalu bertemu tidak peduli dimana pun itu, bahkan di atas gunung pun mereka masih bertemu juga. Ara menghela napas sambil menggeleng kepala.
Di dorong oleh perasaan penasaran, tanpa persiapan dan pikir panjang Ara cepat-cepat bangkit dan keluar dari tenda untuk memastikan.
Benar saja. Di depan tenda. Dua orang cewek terlihat berbincang dengan Rian. 'ah, benar, itu Amel!' jerit Ara dalam hati 'kenapa? Kenapa dunianya sangat sempit?! Pertama Arka sekarang Amel?! Huh!'.
Sesaat kemudian Ara terhenyak sendiri. Sebentuk perasaan aneh menguasainya. Sebelum sempat berpikir lebih lanjut, dua orang itu terlanjur melihatnya. Amel terperangah lama nyaris tidak percaya dengan apa yang di lihatnya.
"..Kau!!"