Chereads / Sebuah Kata Kerinduan / Chapter 47 - 47. Telaga Dewi

Chapter 47 - 47. Telaga Dewi

Menjelang matahari terbenam, Telaga Dewi akan menjadi semakin indah. Ketenangan air yang mengenang, hingga pepohonan hijau mengelilinginya, menyajikan suasana berbeda menyulap rasa lelahmu hilang seketika. Ara duduk di pinggir telaga melipat kakinya hingga dagunya bisa bertumpu di atas lututnya.

Cuaca cerah pantulan sinar matahari bisa langsung menyentuh permukaan air menghasilkan kilauan cahaya indah. Saat sore mendekat telaga yang di warna bayangan pohon di permukaan air menawarkan keteduhan dan kenyamanan.

Ada sebuah pohon yang menjorok ke telaga. Pohon itu selalu menjadi tempat paforit bagi para pendaki untuk berfoto. Ara sendiri tidak tertarik untuk berfoto. Karena semua itu akan tertinggal di belakangnya dan menjadi kenangan. Dia hanya ingin menikmati ke indahan dan kedamaian yang nantinya tidak akan dia nikmati lagi.

Ara menghela napas. Dia kembali teringat saat Amel melihatnya lagi dan itu bersama Rian. Membuat kebencian gadis itu semakin menumpuk untuknya. Seandaninya saja mereka sedang tidak berada di gunung. Mungkin dia sudah menghajar Amel dengan jurus Karate yang di milikinya, supaya mulut gadis itu diam dan tidak berkoar-koar seenaknya.

Ingin rasanya Ara menjerit. Karena semua tuduhan yang di layangkan Amel padanya itu sangat menyakitkan. Ara tidak tahu apakah Amel sudah mengetahui identitas aslinya sebagai Ana? Tapi kata-kata Amel sangat jelas untuknya. Kepala Ara masih bertumpu di atas lututnya. Matanya memerah hatinya bimbang antara Rian dan Arka. Dia sudah mendaki gunung seperti yang di sarankan Hana tapi tetap saja dia tidak mendapatkan jawaban yang jelas.

Rian datang merangkul bahu Ara, mengajak masuk ke dalam tenda. Tapi Ara menggelengkan kepala.

"Aku, ingin di luar dulu, ada yang ingin aku tanyakan pada Ezhar," elaknya seraya menunjuk Ezhar dan Lian yang duduk setengah berbaring di dekat aliran sungai kecil.

Rian berjalan mengikutinya tanpa berkomentar.

***

Ara bergerak gelisah di dalam kantong tidurnya. Disa dan Aisyah sudah terlelap dari tadi. Suara Rian, Ezhar, Lian dan Ditto yang tadi ngobrol dengan serunya di dalam tenda, sudah tidak terdengar lagi. Mungkin sudah tidur juga. Suasana di luar begitu sepi, hanya sesekali terdengar sayup-sayup suara tawa dan perbincangan para pendaki lain. Bayangan Amel yang memakinya. Menyebutnya sebagai pembawa sial, memenuhi benaknya.

Perlahan, Ara menarik napas dalam-dalam untuk meredakan dadanya yang sesak oleh kecewa. Dalam hati dia bertanya-tanya. Apakah keputusan yang dia ambil benar? Kenapa dia masih merasa ada yang salah. Karena gelisah tidak bisa tidur semalaman.

Akhirnya Ara memutuskan keluar dari kehangatan kantong tidurnya. Meraba-raba dalam gelap kantong ransel untuk mencari termos, berharap menemukan sedikit air hangat untuk di minum, tapi gagal. Untuk sesaat Ara di landa ke bimbangan. Mau pergi ke tenda sebelah untuk minta minum ke Rian, dia segan untuk membangunkan. Tapi kalau tidak minum, dia bingung mau melakukan apa agar perasaannya lebih baik.

Karena pikirannya buntu, Ara membuka pintu tenda dan berjalan keluar, udara dingin langsung menerpa, menusuk hingga ke tulang.

Dia menengadah ke langit, dan menebarkan pandangan. Bulan bersinar redup. Kabut tebal pegunungan membungkus semua benda dan makhluk hidup yang ada di Telaga Dewi. Hanya sedikit menyisahkan bayang-bayang puncak Singgalang. Suara gemericik sungai lamat-lamat terdengar.

Ara duduk di atas rumput seraya menekuk kedua lutut. Pelupuk matanya mulai berair. Tenggorokannya tercekat. Dadanya terasa sesak. Begitu sesaknya hingga dia tidak kuat lagi menahan beban yang sudah lama menghimpitnya. Putus asa, dia menangkupkan kepala di atas lutut dan mulai menangis diam-diam.

"…Qiana..," Sebuah terguran lembut seketika menghentikan tangisnya. Cepat-cepat Ara menghapus air mata sembari menunduk dengan perasaan agak malu karena kepergok menangis.

"…Aku Arabella.. bukan Qiana..," Ara masih sempat protes dengan panggilan namanya. Membuat Rian tertawa kecil.

"Ayo, masuk. Di sini terlalu dingin," kata Rian. Mengabaikan protes Ara.

Agak lama Rian menatap tanpa suara, sebelum kemudian memutuskan untuk ikut duduk. Sementara Ara tetap menundukkan kepala seraya mencoba menahan air mata.

Semenit, dua menit berlalu. Ara masih bisa menahan diri. Kedua tangannya memeluk lutut erat-erat, mencari pegangan untuk meredakan badannya yang gemetar. Tapi bukannya mereda, pelupuk matanya semakin panas. Air matanya semakin mengenang. Dan akhirnya, pertahanannya jebol. Tangis Ara pun meledak.

Hati-hati, Rian meraih kepala Ara, menyandarkan di dadanya, memeluk bahu Ara dan membiarkannya menuntaskan tangisannya.

***

Setelah puas menangis, sesudah perasaannya tenang kembali, Ara melepaskan diri dari pelukan Rian. Dia kembali duduk memeluk kedua lutut, mengusap sisa air mata sambil setengah melamun.

"… Beberapa orang kecanduan rasa sakit, setelah hampir kehilangan. Mereka perlu menderita sampai mereka tidak tahan, dan saat itulah akhirnya mereka mengakui bahwa mereka bodoh…,"

Ara menatap Rian bingung. Apa maksud dari kata-katanya.

"..Sekarang aku tahu apa yang membuatmu ingin ke sini.." Suara Rian terdengar jauh di telinga Ara. Seakan Rian datang dari dunia yang lain. Khusus untuk menghibur dan menyembuhkan lukanya. "Aku bisa mengerti perasaanmu.." sambungnya.

Ara menggeleng lemah. "Kau tidak akan pernah tahu…"

"Aku tahu, karena aku pernah merasakannya. Dulu…" sekonyong-konyong Rian tertawa lirih. Lantas ditatapnya penuh sayang raut wajah pucat itu. "… Apa pun keputusanmu aku akan menerimanya. Jadi, kalau kau tidak keberatan, mungkin kau mau cerita pada ku.."

Beberapa saat lamanya Ara termenung. Meninbang-nimbang. Sikap Rian begitu tulus. Tapi, Rian bukan siapa-siapanya?

Seakan mengerti kebimbangan itu, Rian tersenyum. " Kita memang tidak memiliki hubungan apa-apa. Kau mungkin masih tidak mempercayai ku. Tidak apa-apa, aku ngerti kok,"

Ara menatap sepasang mata itu, yang memancarkan sempati yang begitu dalam. Berangsur-angsur, kepercayaannya mulai tumbuh. Ada sesuatu dalam hati cowok ini yang membuat Ara mempercayainya, lebih dari sekedar mantan kekasih.

"..Sepertinya aku bisa percaya pada mu," Ucap Ara sungguh-sungguh, di sambut senyum Rian.

Ara mulai bercerita. Awalnya matanya berbinar ketika menceritakan saat-saat indahnya bersama keluarga angkatnya, lalu meredup ketika masuk pada saat-saat di mana keluarga itu akhirnya mulai membenci dan menjauhinya. Termasuk perlakuan kedua kakak angkatnya. Juga tentang kecelakaan yang menimpanya tiga tahun lalu, koma, dan menemukan keluaraga kandungnya kembali. Karena ingin menyelidiki tentang kecelakaan yang menimpa dirinya dia terpaksa kembali lagi, ke tempat yang membuat hati nya sesak.

Penuh perhatian Rian mendengarkan ceritanya. Ikut tersenyum ketika Ara tersenyum tapi seketika senyumnya kaku saat pertanyaan Ara menyentuh titik lemahnya.

".. Samar-samar aku ingat ceritamu tentang kau dan tetanggamu yang memiliki tiga orang anak itu.." Ara menatap langsung ke mata Rian. "Tapi…, bukankah ada dua orang anak laki-laki kecil juga di sana? Salah satunya adalah dirimu sendiri lalu di mana anak laki-laki yang satunya lagi.."

Rian menelan ludah gugup. Malam yang dingin terasa gerah untuknya. Jantung Rian berdegup lebih cepat, perasaan takut kembali menghantuinya.

"… Sejauh apa yang kau ingat," tanya Rian menyelidik.

Ara diam. Suasana malam yang gelap menyamarkan pandangan gadis itu "… Cukup banyak.."

Rian terdiam. Dengan perasaan gamang Rian kembali menghela nafas panjang. Pergelutan batin menderanya tanpa ampun. Tidak memberinya pilihan, selain berkeinginan meraih keduanya.

"..Kau sudah bertemu dengan Arka, kan?"

Itu bukan jawaban. Tapi Ara mengangguk.

"Apa pun itu yang dia katakan pada mu. Tolong, jangan biarkan emosi menguasaimu... dan, aku juga minta maaf. Sampai detik ini aku masih saja berbohong padamu.."

Ara menahan napas, wajahnya pucat. Akhirnya dia mendapatkan apa yang di inginkan hatinya. Jawaban atas perasaannya pada Rian tidak lagi sama. Sekarang dia hanya perlu tahu apakah kecelakaan yang menimpanya tiga tahun lalu juga ada kaitannya dengan Rian?

Ara menelan ludah gugup. "… Lalu, kecelakaan itu..?"

Wajah Rian pucat, matanya bergerak gelisah mencoba mencari bantuan. Tapi tidak ada yang bisa membantunya "… Aku... itu, aku tidak begitu ingat.."

Ara menatap Rian penuh kekecewaan. Dia mengangguk mengerti tidak ingin bertanya lagi karena dia sudah bisa memahami sekilas kejadian itu, ke raguan dan ke gugupan Rian mengatakan kalau cowok itu juga terlibat dengan kecelakaan yang menimpanya. Jadi, apakah semua perhatian dan kebaikan yang di berikan selama ini juga hanya ke pura-puraan.

Lalu, bagaimana dengan Arka? Apakah dia juga terlibat dengan kecelakaan yang menimpanya?