Seminggu sebelum hari H, Rian mengajak Ara ke rumahnya. Abe menyambutnya dengan senyum lebar dambil merentangkan tangan meminta pelukan, Ara tanpa sadar terkekeh melihat mata Abe yang memerah menahan air mata.
"Kenapa kau menangis? Hana akan menertawakanmu jika dia melihatmu seperti ini," Godanya namun tetap memeluk Abe. Pemuda yang dulu masih remaja kini terlihat semakin matang dan dewasa. ara melepaskan pelukannya dan menatap Abe dengan senyum geli.
Rian datang. Menarik Ara ke sisinya melotot pada Abe.
"Huh! Posesif!" Gerutu Abe.
"Bukan urusan mu!" Balas Rian jengkel.
"Hei, kenapa kalian bertengkar?" Ara menatap Rian "Dan kenapa kau mengajak ku ke sini?"
Dia meninggalkan adiknya di counter depan, membawa Ara menuju ruangan santai untuk berkenalan dengan teman-temannya yang akan ikutan naik gunung. Para spesies berjenis kelamin jantan berkaki dua sudah hilang urat malunya itu karuan saja heboh waktu tahu Ara ternyata datang ke rumah Rian. Karena selama ini Rian selalu menceritakan tentang Ana, setelah mereka tahu Ana masih hidup dan berganti nama menjadi Ara, mereka menjadi semakin penasaran ingin melihat langsung.
"Buseeet… Kecolongan aku," Sesal Lian, sambil mengacak-acak rambut cepaknya.
"Hahaha… nyesek dah kan!" Ledek Ezhar dari arah tangga. Ara yang mendengar suara yang tidak asing langsung menoleh. Matanya seakan bertanya 'ada apa ini? Dimana ini?'. Melihat ke bingungan di mata cewek itu. Ezhar langsung merangkul bahunya dan berbisik "Nanti aku jelaskan, tolong jangan marah.." dia mengedipkan mata dengan ekpresi memohon.
"Sesungguhnya…,"Ditto baru akan memulai pidatonya, tapi langsung di lempar Lian dengan kotak tisu, bantal sofa ruang santai, uang receh dan sebagainya.
"Dapat dimana, eh, kayak boneka idup? Mana lucu gini lagi," celetuk Lian sambil nyengir lebar.
"Dik, Ara harus hati-hati sama makhluk cepak yang satu ini, ya? Bukan nakut-nakutin tapi dia memang nakutin. Kalau tidak percaya, kapan-kapan ajak Rian ke kuburan, pasti dia bakal berubah jadi sejenis genderuwo atau wewe gombel, atau gembel sekalian." Ditto ikutan nyeletuk asal kena.
"Dia itu salah satu penunggu gunung, suka bertapa dan ngelmu macem-macem. Obsesinya tuh biar dapat gelar Ki Joko Bloon."
"Wooo…!!" teriak Ezhar keras-keras, di telinga Ditto. Sebelah tangannya masih merangkul bahu Ara. Sebelah tangannya lagi ia masukan kedalam saku celana. Gayanya yang cool. Memakai jaket jins putih lengan di lipat. Kaos hitam di bagian dalam. Memakai celana jins hitam dan sepatu kets hitam. Cara berpakaian Ezhar tidak berbeda dengan Rian. Ada kemiripan di antara dua orang itu tapi Ara tidak bisa berpikir.
Rian ngakak. Lian mencibir sebal. Ditto meringis mengusap-usap kupingnya yang mendadak budek. Sementara mata Ara masih menatap Ezhar penuh kebingungan meskipun bibirnya tersenyum lebar mendengar gurauan mereka.
"Kalian-kalian ini anteng dikit kenapa? Tidak lihat muka anak ini pucat apa? Apa lagi kau, Lian, seperti tampang raksasa yang doyan makan anak kecil," Kelakar Rian.
"Eits, tenang anak manis. Lian itu orang yang baik, pintar, rajin dan tidak suka membolos,"
"Aku juga, baik hati dan tidak korupsi." Ezhar menepuk-nepuk dadanya bangga.
"Apalagi diriku, sesungguhnya…"
"Gariiiiiing…!!" Rian, Ezhar dan Lian serempak memotong kalimat Ditto.
"Tetapi sesungguhnya…"
"Basiiii….!!!" Lagi-lagi mereka bertiga serempak menukas, terus menjitak Ditto yang malang sehingga Ara kembali tertawa lepas.
"Tapi, maaf kakak-kakak aku bukan anak kecil! Umurku sudah melewati dua puluh!" ujar Ara tapi matanya melotot marah pada Ezhar. Seakan paham dengan kemarahannya cowok itu tersenyum kaku sambil memberi kode pada Rian meminta pertolongan.
Ara tidak ingin merusak suasana jadi dia mengalihkan perkataannya "Kalian-kalian ini sebenarnya gila beneran atau bohongan sih?"
"Hehehe…, yang gila mereka tuh. Aku sih nggak."
"Oh! Rian memang nggak gila, tapi sinting!"
"Bukan sinting, lebih tepatnya sableng."
"Sableng itu masih sepupunya sinting, juga adiknya gila dan masih satu marga sama geblek, hahaha…"
Selagi mereka asyik bercanda, sebuah taksi biru berhenti tepat di depan kafe. Sesosok gadis muda cantik turun dari taksi bersama koper besarnya. Abe yang melihat itu langsung cepat menyongsong untuk membantu sepupunya.
"Datang kenapa mendadak gini sih," protes Abe. Sambil menyeret koper besar itu masuk dan langsung menuju ruang santai melewati kafe.
"Aku sudah memberitahu Kak Ezhar! Untuk apa aku memberi kabar lagi," ujar gadis itu. Langkahnya mendadak berhenti. Membuat Abe hampir menabraknya.
"Ya ampun, Aisyah! Kenapa berhenti mendadak! Dan kau harus tahu aku pemilik rumah ini wajar saja kau harus memberitahu aku lebih dulu!," Abe kembali protes.
Aisyah memandang wajah Ara lama-lama. Matanya sudah memerah, air mata perlahan turun membasahi pipinya. Dia melangkah maju. kaku menuju Ara. Tangannya terulur menyentuh wajah gadis itu untuk memastikan kalau yang di lihatnya adalah nyata.
Ara yang kembali melihat sahabatnya juga menangis namun bibirnya tersenyum manis. Kedua tangannya terentang untuk menyambut Aisyah ke pelukan hangatnya. Aisyah menangis tersedu-sedu, mulutnya meracau mengatakan kalau dia bahagia melihatnya lagi. Sebelumnya dia merasa sedih karena tidak bisa hadir di saat pemakaman. Tapi sekarang sosok yang dulu di katakan meninggal ada di pelukannya. Tubuhnya hangat. Aisyah menghela nafas lega.
"Nyata.. kau nyata..!" lirihnya dengan suara serak.
Ezhar yang melihat adiknya menangis seperti anak kecil terkekeh "Kau sangat cengeng! Baru kali ini aku melihatmu menangis seperti orang bodoh!" ledeknya.
Aisyah melepaskan pelukannya dan menatap Ezhar tajam " Kenapa kakak tidak memberitahu ku kalau teman yang kakak maksud kan itu adalah Ana.!" Teriak Aisyah marah.
Kening Ezhar berekrut menunjuk Ara "Dia bukan Ana tapi Ara..!"
"Dia Ana.." Rian membenarkan. Ezhar mengangguk pasrah. Tidak ingin menjahili adiknya lagi karena Rian sudah turun tangan membantunya. "Tidak seru,"
Ara menatap Rian, Ezhar dan Aisyah bergantian. Dia menunggu penjelasan. Apa hubugan mereka bertiga teruma Ezhar. Merasa di perhatikan pemuda itu menatap Rian meminta pertolongan lagi.
"Dia sepupuku. Ezhar dan Aisyah kakak beradik beda ibu,"Ara masih diam tapi matanya langsung menoleh ke arah Ezhar dan Aisyah "Tapi, Ibu Ezhar sudah meninggal saat melahirnya."
"Oooh…" Ara mengangguk mengerti. Tapi dia masih merasa kesal pada Ezhar. Sekarang dia mengerti bagaimana Rian bisa tahu dimana alamat rumahnya karena saat itu Ezhar ada bersamanya. "Kau menipuku!"
Ezhar mengangkat bahu cuek "Terpaksa! Dia melihat status facebook ku bersama mu! Dan memaksaku untuk memberitahukan alamat rumahmu! Jangan salahkan aku tapi salahkan dia!" tunjuk Ezhar pada Rian.
"Kalian sama saja!" Gerutunya.
***
Ara telah memutuskan untuk mendaki Gunung Singgalang. Asiyah pun juga ikut bersama mereka kecuali Abe yang harus menjaga kafe. Maka di hari ini, hari yang sama dengan jadwal mereka, petualangan mendaki gunung Ara akan di mulai. Pagi-pagi sekali Rian telah menjemput Ara dan membawanya kerumah untuk pergi bersama-sama. Tapi, kedatangan Rena hampir merusak segalanya.
Di ruang santai hanya ada Rian dan Rena. Abe di counter depan. Aisyah sengaja duduk di tangga menjadi penjaga sambil menatap tajam Rena. Dan Ara sendiri duduk di anak tangga paling atas, posisi itu tidak akan terlihat oleh orang di ruang santai tapi obrolan mereka masih bisa terdengar.
"Aku dengar dari Lian kau akan pergi mendaki hari ini, jadi aku datang membawakan mu nasi goreng. Di habisin ya? Aku khusus membuatnya untuk mu," ucap Rena, menyodorkan piring ke cowok itu. "Aku juga sudah nyiapin bekal untukmu. Roti keju isi daging dan goreng udang, buatanku sendiri."
"Thanks. Jangan repot-repot!" kata Rian datar.
"Aku seneng kok di repotin kamu! Karena selama tiga tahun ini kau selalu menghindariku, itu membuatku sedih. Sudahlah, kau bawa ini jika lapar selama perjalanan kau tinggal memakannya."
Aisyah terkikik dengan nada sinis dia berkata "Hanya untuk Kak Rian! Untuk ku tidak ada! Aku juga akan pergi mendaki loh."
Rena terkejut, dia langsung berbalik melihat Aisyah yang duduk di anak tangga sambil bertopang dagu. Sejak awal adik sepupu Rian ini tidak pernah menyukainya. Padahal dia selalu berusaha bersikap baik. Rena berusaha tersenyum manis pada Aisyah. Gadis itu sudah siap untuk pergi hanya ranselnya saja yang belum dia bawa.
"Ah.., maafkan aku Aisyah.. aku tidak tahu kalau kau juga akan pergi. Bagaimana kalau aku pergi membeli cemilan roti untuk bekalmu diperjalanan.."
"Tidak perlu!" tukas Aisyah datar "Ara sudah mempersiapkan semuanya!"
Rena menatap Aisyah dan Rian bergantian. Kebingungan terlihat jelas di wajahnya. Rasanya dia pernah mendengar nama Ara tapi kapan dan di mana. Dia lupa.
Ketika tiba waktunya Rena berniat akan mengantar Rian pergi tapi Aisyah langsung menolaknya tegas. Membuat Rena tidak bisa berkata-kata dan pamit pulang.